[9] Fainted
Di pukul enam pagi, Shasa keluar dari kamar dalam kondisi kantung mata sedikit menggelap disertai pening mulai menyerang. Semalam dia harus terjaga hingga pukul tiga pagi. Terlelap hanya tiga jam itupun tidak nyenyak.
Ini semua gara-gara Adiran.
Dia sungguh tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan lelaki itu. Meski dia menyadari bahwa Adiran tidaklah melakukan seperti yang bisa dilihat orang, tapi tetap saja Shasa tidak bisa melupakannya.
Adiran hampir menciumnya.
Ya. Itu bukanlah kecupan melainkan hanya hidung bangir Adiran yang menyentuh pucuk keningnya. Tapi itu sudah cukup membuat Shasa diejek habis-habisan oleh Ello yang memang mengawasinya saat mengantar Adiran ke mobil.
“Pantesan dia minta nikahin kamu cepat. Ternyata dia udah nggak kuat mental di dekat kamu. Dasar, main cium-cium aja!”
Shasa mengerang sembari memegangi kepalanya.
Kenapa Adiran selalu bisa masuk ke dalam teritorinya dan membuatnya tidak mampu mengelak?
*21st*
Padahal belum tengah hari, tetapi Adiran sudah bertandang ke rumah Shasa. Dengan penampilan sedikit rapi meski ada gurat letih di wajahnya. Kemeja putihnya sudah terlipat di bagian lengan hingga batas siku.
Awal pekan begini, apakah Adiran sedang libur?
“Kok, lo jadi senang datang ke sini? Nggak punya kesibukan lain?” Shasa bertanya dengan raut heran.
“Gue izin kerja setengah hari.”
Shasa hanya mengangguk. Masih belum terbiasa akan fakta bahwa Adiran sudah memiliki peran di samping papanya mengingat mereka seumuran.
“Terus sekarang lo mau ngapain?” lanjutnya dengan tampang bodoh. Tidak sadar bahwa dia sudah membuat Adiran ingin tertawa.
“Jemput lo.”
“Hah? Jemput? Mau ke mana lagi? Nggak capek lo ngajak gue pergi-pergi?”
“Shasa,” Adiran mendesah geli, gemas dengan cara bertanya Shasa yang polos. Tangannya tidak bisa diam lagi, mengacak-acak rambut gadis itu begitu saja. “Lo nggak lupa kalau kita harus siap-siap, 'kan?”
Adiran, bisa nggak sih, nggak bikin Shasa berdebar-debar sekali saja?
“Siap-siap apa?”
“Prewedding.”
“Hah?” Shasa melongo kaget. “A-apa? Pre—wed....”
Tidak mau mengulang, Adiran hanya berdecak sebelum menuntun Shasa untuk masuk ke dalam rumah. “Ganti baju aja, deh. Gue tunggu sepuluh menit.”
Spontan Shasa mengerucutkan bibir. Satu kebiasaan Adiran yang belum berubah, lelaki itu tidak suka yang namanya mengulang ucapannya sendiri. Sudah tahu Shasa terkadang lemot, Adiran malah berbuat sesuka hati seperti sekarang ini.
“Eh, tapi Shasa udah mandi, 'kan?”
Shasa langsung berbalik, mendelik pada Adiran yang baru saja berseru cukup nyaring. Seperti sengaja ingin mengundang penghuni rumah ini.
“Kalau belum, Diran tambahin durasinya jadi setengah jam.” Adiran menjadi-jadi, senyum jahilnya mengembang yang semakin membuat Shasa merengut keki.
“Shasa nggak separah itu mager mandinya, kok! Sepuluh menit cukup!”
Tawa Adiran pecah mengantar kepergian Shasa yang menghentak-hentakkan kaki, merasa geli akan keberhasilannya memancing emosi Shasa dengan kelemahan si gadis.
“Mau udah mandi atau belum, nggak ada bedanya, sih,” gumam Adiran setelah tawanya mereda. Berganti menjadi senyum penuh arti.
*21st*
Shasa baru paham ke mana mereka akan pergi. Terlebih lagi, mereka kini sudah berpijak di depan gedung studio fotografi cukup ternama.
Seperti yang Adiran katakan, mereka akan melakukan sesi foto pra-nikah yang sebenarnya bagi Shasa tidak butuh-butuh amat. Tapi Adiran seperti tidak memiliki pilihan lain.
“Mama mau kita adakan ini. Biar waktu acara nanti ada yang bisa dipajang.”
“Gue rasa lebih penting cari Wedding Organizer kalau mau acara ini kelihatan real.”
Adiran malah terdiam. Menatap Shasa cukup lama sampai Shasa mulai salah tingkah. Apa dia salah bicara?
“Mama punya kenalan pemilik WO yang udah pro. Dia udah hubungi ke sana. Mungkin besok atau Sabtu, kita yang datang ke sana buat negosiasi.”
Merasa cukup dengan jawaban itu, Shasa hanya mengangguk dan segera mengekori Adiran yang sudah melangkah lebih dulu. Membuka pintu gedung, lalu menunggu hingga Shasa mendekat untuk kemudian meraih tangannya. Menggandengnya masuk.
Mereka segera disambut oleh salah satu resepsionis. Adiran yang mengatakan maksud kedatangan dengan lancar sementara Shasa menyibukkan diri menilai ruangan ini.
Perpaduan putih dan emas menjadi dekorasi utama tempat ini. Properti yang menghiasi di beberapa sudut maupun sisi pun terlihat berkelas. Menunjukkan tingginya kualitas studio ini dan sepertinya mereka harus mengocek uang cukup banyak.
“Kalau begitu, silahkan tunggu di sebelah sana sementara saya panggilkan Ibu Desta terlebih dulu.”
Adiran mengangguk lalu menarik Shasa menuju ruangan lain tak jauh dari tempat mereka semula. Ruangan itu dibatasi oleh lapisan kaca di mana akses masuknya pun menggunakan pintu kaca. Tidak kalah, ruang tunggu ini pun tampak mewah meski mengusung minimalis.
Tidak butuh waktu lama, seorang wanita datang dengan senyum ramah. Usianya sekitar awal 40-an tahun. Menjabat tangan Adiran dan Shasa secara bergantian.
“Jadi ini pasangan yang mau menikah sebentar lagi? Ibu Citra terdengar bahagia sekali sampai dia menginginkan pemotretan terbaik dari yang terbaik untuk putera dan calon menantunya.” Desta tersenyum penuh arti untuk keduanya.
Wah, bahkan untuk urusan ini pun hasil dari bantuan mamanya Adiran.
“Kabarnya, persiapan pernikahan kalian dilakukan cepat. Jadi tenang saja, saya sudah meminta tiga calon fotografer profesional kami untuk mengambil jadwal ekstra untuk kalian. Nanti tinggal dicocokkan dengan jadwal yang ingin kalian ambil.”
Dilakukan cepat? Memangnya kapan? Shasa bahkan belum diberi tahu!
Fokus Shasa terbagi lantaran Desta menyerahkan tab sebagai katalog konsep pemotretan yang ditawarkan. Sementara Adiran berdiskusi dengan Desta, Shasa sibuk menggulir potret demi potret milik tim fotografer pilihan.
Semuanya sangat bagus. Sepertinya tempat ini menyimpan banyak fotograger profesional sehingga segala foto yang diabadikan terlihat indah.
“Kalian bisa pilih konsep yang nyaman untuk satu sama lain. Kami akan menyesuaikan. Bahkan, kalau Anda berdua ingin menyewa kostum, kami juga menyediakan.”
Adiran melirik sejenak Shasa yang masih sibuk terkagum-kagum melihat layar tab tersebut.
“Karena calon istri saya masih terlalu polos, ada baiknya jika kita tidak melakukan banyak skinship. Selain karena dia belum terbiasa, saya juga nggak mau kebablasan nanti.”
Bertepatan dengan Desta yang tergelak, Shasa kontan mendongak dan langsung bertemu pandang dengan Adiran yang sudah tersenyum separuh.
Haha! Bisa saja dia bicara. Pencitraan banget.
“Baik. Lebih menitikberatkan kontak mata juga sudah bagus. Lagipula saya rasa, tanpa adanya skinship pun kalian sudah kelihatan serasinya.”
Hah! Serasi apanya? Kasihan sekali Bu Desta sampai ikut termakan tipu muslihat Adiran.
Kenapa Adiran tidak masuk kuliah teater saja, ya? Siapa tahu dia jadi aktor ternama lalu dapat banyak penghargaan bergengsi!
Memilih tidak bicara, Shasa kembali menumbuk fokusnya pada layar di pangkuannya. Kepalanya semakin pening. Mengingatkannya bahwa tadi baru sempat memakan dua lembar roti dan segelas kopi putih. Sekarang dia mulai merasakan perih di perutnya sehingga suasana hatinya tak karuan.
*21st*
“Kenapa mama lo harus repot-repot pesankan ini segala?”
Shasa akhirnya mengeluarkan protesnya setelah mereka keluar dari studio tersebut. Dia cukup merasa lega setelah sedari tadi dibuat tidak nyaman dengan segala rencana yang Adiran jabarkan di dalam sana.
“Perlu lo ketahui, ini salah satu ambisi Mama yang mau nggak mau kita lakuin. Merencanakan pernikahan anaknya semaksimal mungkin.”
“Tapi seenggaknya lo bisa mengontrol supaya mama lo nggak bertindak sejauh ini. Bahkan tadi dibilang kalau pernikahan ini bakalan dilaksanakan dalam waktu dekat. Memangnya itu kapan? Gue bahkan belum dikasih tahu!”
“Satu bulan dari sekarang.”
“Apa?!”
Shasa nyaris jantungan mendengar jawaban santai Adiran. Satu bulan? Itu terlalu cepat!
“Ya. Satu bulan. Itulah kenapa orang-orang yang dipekerjakan Mama dalam rencana ini harus mengedepankan kita demi pelaksanaan acara satu bulan lagi.”
Shasa hampir tersandung kala menyusul Adiran yang sudah melangkah cepat menuju mobil.
“A-apa itu nggak terlalu cepat? Satu bulan nggak cukup buat gue siapin mental sebelum lakuin semuanya!”
“Siap nggak siap, baik lo maupun gue memang harus lakukan itu, Sha. Gue udah minta toleransi tiga bulan ke Mama tapi nggak digubris.”
“Kenapa lo terlalu nurut ke Mama padahal ini urusan lo sama gue. Yang mau nikah itu lo sama gue. Bukan mama lo!”
Adiran berbalik. Menatap tajam Shasa yang sudah panik kini berubah gamang kala mereka bersitatap. Sepertinya, Shasa kembali salah bicara sehingga kini Adiran tampak marah.
“Kalau lo bisa bujuk Mama, gue akan mengapresiasikan itu.”
Sudah cukup telak menceluskan hati Shasa. Kalau Adiran saja tidak bisa, dia mana mungkin bisa? Mau berapa kalipun protes, sepertinya ambisi Citra tidak akan bisa dikalahkan. Itu berarti, baik Adiran maupun Shasa tidak bisa melarikan diri.
Satu bulan. Hanya satu bulan. Shasa akan melepas status lajangnya bahkan sebelum dirinya memulai kuliah.
“Ayo pergi. Kita ke tempat langganan Mama. Cari cincin.”
Adiran melengos ke pintu kemudi. Lalu melihat Shasa yang ternyata belum beranjak dari tempatnya setelah perdebatan barusan. Membuat Adiran harus kembali untuk menghampiri.
“Ayo, Sha.” Adiran meraih tangan Shasa bermaksud mengajak.
Tapi tanpa diduga, Shasa tak mampu menapak kakinya lagi begitu membuka langkah hingga tubuhnya nyaris terjatuh. Adiran dengan sigap menangkapnya, merasakan tangan Shasa yang berpegangan di lengannya mulai gemetar.
“Sha?” Adiran menangkup wajah Shasa. Pucat dan mulai berkeringat. Bahkan kala mata Shasa memejam, tubuhnya lantas merosot lemas sehingga Adiran segera memeluknya.
Bisa dirasakan napas Shasa sudah tersengal di dadanya. Menggerakkan Adiran untuk menuntun tangan gadis itu ke pundaknya yang segera meremat lemah di sana.
“Pegangan sama gue. Jangan dilepas.” Lalu Adiran mengangkat tubuh Shasa ke gendongan, membawanya ke mobil dengan segera.
Sialan! Apa yang sudah dia lakukan sampai Shasa kambuh seperti sekarang?!
