Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[10] Too Much

Kening di balik poni Shasa mulai menunjukkan reaksi. Matanya mencoba membuka perlahan-lahan dan membiasakan diri. Lalu termangu mendapati dirinya sudah duduk setengah berbaring di dalam mobil yang tengah melaju konstan.

Rentetan memori itu pun berputar. Sesaat setelah berdebat dengan Adiran, kepala Shasa semakin berdenyut sakit bersama perih di perutnya malah memperparah. Shasa bahkan sampai takut untuk beranjak karena tahu tubuhnya akan jatuh jika memilih bergerak. Benar saja, begitu Adiran menariknya, pandangan Shasa langsung menggelap.

“Mendingan?”

Sepertinya gerakan tangannya yang memegangi kepala menyadarkan Adiran yang tengah mengemudi. Begitu saja tangan kirinya mendarat di kening Shasa, hanya untuk mengusap perlahan yang mana malah membuat Shasa kembali memejam. Nyaman.

“Lo nggak bilang kalau capek. Sebelum gue datang tadi, udah makan atau belum?”

“Makan roti.” Lalu memakan gumpalan frustasi berkat segala fakta persiapan pernikahan yang dibeberkan Adiran tadi.

“Perut lo itu nggak cukup cuma makan roti. Kebiasaan lo itu belum berubah, ya.”

Shasa menoleh, mendapati wajah tegas Adiran terlihat kesal. Kebiasaan? Sejauh mana lelaki itu memerhatikannya dulu, memang?

“Gue nggak nafsu makan. Terlalu banyak pikiran.”

Giliran Adiran yang menoleh. Mendapati Shasa yang langsung memalingkan wajah ke jendela seakan tidak membiarkannya melihat seperti apa ekspresi gadis itu saat ini. Membuatnya seketika meremat kuat roda kemudi demi menahan diri.

“Banyak pikiran pun lo harus tetap isi tenaga. Jadi lo harus makan sekarang juga.”

Adiran membelokkan kendaraan ini memasuki lahan sebuah restoran cepat saji. Shasa hanya menurut ketika Adiran menitahnya turun. Bahkan lelaki itu segera menghampirinya untuk membantunya keluar dari mobil.

“Gue bisa jalan sendiri.”

Tahu bahwa itu merupakan penolakan, Adiran tidak mengangguk. Dia tetap menggenggam tangan Shasa dan menuntunnya masuk ke dalam restoran itu dengan langkah pelan.

Tapi baru saja melewati pintu masuk, Adiran tiba-tiba berhenti. Shasa pun mendongak, melihat adanya perubahan raut wajah Adiran yang membuatnya tertegun. Rahang tegas lelaki itu mengeras disertai sorot mata berubah nyalang, memancing Shasa untuk mengikuti arah pandangnya ke depan.

Mendapati sosok gadis cantik berdiri di sana, menatap ke arah mereka.

Tunggu, bukankah dia—

Shasa merasakan genggaman Adiran mengerat di tangannya sebelum kembali membuka langkah, mengajak Shasa untuk mengikuti langkah-langkahnya. Bahkan melewati gadis itu begitu saja.

“Adiran.”

Shasa mengikuti Adiran yang berhenti, lalu berbalik yang lagi-lagi harus diikuti Shasa. Menemukan gadis di hadapannya sudah mengulas senyum manis.

“Apa kabar? Udah lama nggak ketemu. Kamu udah jarang kelihatan di kampus.”

Dia cantik sekali. Bahkan lebih cantik dari yang pernah Shasa lihat di media sosial.

Ya. Shasa tidak salah mengira. Gadis ini yang pernah beberapa kali masuk di unggahan foto di akun media sosial Adiran.

“Sibuk. Ngejar wisuda, soalnya.”

“Oh, benar juga. Skripsinya berarti lancar, ya?” lalu dia melirik Shasa. “Kamu datang sama siapa?”

Ketika Shasa bermaksud membuat jarak, Adiran justru menariknya semakin dekat. Mengeratkan genggamannya.

“Sama kayak lo.”

Karena tak lama, seseorang datang dan langsung merangkul mesra gadis itu dari belakang.

“Hai, Sayang! Maaf ya, kamu jadi nunggu lama.” Lelaki itu kemudian berlaga terpana mendapati kehadiran Adiran. “Oh, hei, Diran! Lama nggak ketemu. Ke mana saja, lo? Wah, jadi lo udah move on dari cewek gue? Selamat, ya!”

“Indra,” tegur gadis itu mulai tidak nyaman. Terlebih lelaki yang dipanggil Indra itu malah semakin menempel padanya.

“Ya. Karena lo, gue udah dapatin yang lebih cocok buat gue,” jawab Adiran dingin. Bibirnya tertarik membentuk seringai tipis.

“Jangan gitu, dong. Kesannya lo malah ngeremehin cewek gue.” Indra terkekeh sebelum meneliti gadis di samping Adiran. “Lebih cocok, ya? Sebaik apa sih, cewek baru lo itu?”

Menohok Shasa yang tidak siap dengan keadaan ini. Dia semakin mengeratkan genggaman Adiran sebagai pegangan. Semakin dekat pada lelaki itu lantaran tubuhnya mulai limbung. Dan itu segera disadari oleh Adiran.

“Sebaik apa? Cukup gue aja yang tau. Yang jelas, lo nggak perlu merasa bersalah lagi. Gue udah relain semuanya.” Adiran pun berpaling mengamati wajah Shasa yang masih pucat. “Ke tempat lain aja, ya. Tempatnya nggak nyaman.”

Lalu Adiran kembali mengajak Shasa keluar dari tempat itu. Meninggalkan dua orang itu tanpa pamit dan menyisakan kecanggungan yang menyambar pada Shasa.

*21st*

Untuk kali ini, Shasa merasa tidak nyaman dengan keterdiaman di antara mereka. Sejak pertemuan tak terduga itu, Adiran seolah menutup mulut dan Shasa harus mengikuti alur tanpa berani berkomentar sampai mereka berhasil makan bersama baru saja.

“Kalau ada yang mau lo tanya, tanyain aja.”

Tiba-tiba Adiran memecah keheningan. Menggerakkan motorik Shasa untuk menoleh lalu kembali berpaling.

“Tadi itu ... teman kuliah?”

“Iya.”

“Dia mantan lo?”

Adiran menoleh. Hanya untuk melihat tampak samping wajah Shasa sebelum menjawab, “Iya.”

“Apa dia yang pernah lo ceritain itu? Dia yang takut karena lo lamar dan pergi ke cowok lain?”

“Iya.” Adiran memainkan setirnya sebelum melanjutkan, “Dia nolak gue dan lari ke cowok itu.”

Shasa menangkap adanya nada kecewa di sana. Terlebih kala dia mencoba memeriksa raut wajahnya, Shasa tertegun melihat rahang tegas itu kembali mengeras.

“Tapi gue bersyukur. Berkat cowok itu, gue nggak bego-bego amat buat pertahankan cewek kayak dia.”

Shasa tahu itu adalah sarkasme. Sudah dipastikan bahwa Adiran masih merasakan sakit hati akan terkhianati. Namun dengan lancangnya, Shasa mulai merasa iri karena gadis itu bisa memengaruhi perasaan Adiran hingga sejauh ini.

“Maaf....”

Adiran kontan menoleh dengan kening berkerut. “Untuk?”

“Untuk kelancangan gue dalam bertanya. Kayaknya gue udah bikin lo ingat kenangan yang nggak menyenangkan ... soal cewek itu.”

Satu tarikan kembali muncul di bibirnya, disusul dengan tangannya yang kembali berulah. “Gue juga minta maaf.”

Shasa terhenyak berkat sentuhan lembut di puncak kepalanya. Mulai gelagapan berkat perlakuan tiba-tiba lelaki itu. “Ke-kenapa lo ikutan minta maaf?”

“Gue udah bikin lo suntuk hari ini.”

Shasa menarik kepalanya dari tangan Adiran, memicing bingung. “Gue nggak nyangka lo bakalan minta maaf cuma karena masalah sepele semacam itu.”

Hanya senyum yang menjadi respon Adiran sebelum beralih, “Gimana perasaan lo sekarang?”

“Perasaan gue setelah mendengar cerita lo barusan?”

Langsung saja Adiran melemparkan tatapan gemasnya pada Shasa. Gadis ini, kenapa lemot banget, sih? Karena lagi sakit, ya?

“Kondisi lo, Sha. Udah mendingan atau belum?”

“O-oh...,” Shasa menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Gue udah membaik, kok. Makasih udah mau nyuruh gue makan banyak....”

Adiran mengangguk mengerti. “Lain kali kalau mulai merasa nggak enak badan, bilang ke gue. Jangan diam aja. Lo begitu kayak tadi justru bikin gue kaget.”

Shasa mengangguk sebelum menunduk dalam. “Maaf karena gue selalu bikin lo repot ... Dari dulu sampai sekarang.”

Adiran masih bisa mendengarnya. Dan dia tidak suka dengan permintaan maaf Shasa kali ini.

*21st*

Mobil Adiran berhenti di seberang rumah Shasa. Hari sudah petang di mana lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan. Pekerjaan mereka hari ini selesai dengan cukup baik.

“Makasih buat hari ini. Lo hati-hati di jalan, ya.”

Adiran mengerti bahwa Shasa tidak ingin diantar. Maka dia mengamati gerak-gerik Shasa yang keluar dari mobil.

Namun ketika Shasa hendak membuka pintu gerbang rumah, dia mendengar suara pintu mobil ditutup. Membuatnya menoleh dan mendapati Adiran ternyata turun dari balik kemudi dan menghampirinya.

Apa ada yang tertinggal?

“Oh iya, lo mau ambil blazer-nya, ya? Biar gue ambil dulu—”

Suara Shasa tertelan. Jantungnya seakan jatuh ke dasar perutnya dan bergejolak di sana. Berkat Adiran yang tiba-tiba memeluknya, merasakan ada yang merengkuh belakang kepalanya dengan gerakan lembut, menimbulkan riak geli di benak Shasa.

“Happy Birthday.”

Adiran membisikkan kalimat itu di dekat telinga Shasa. Bahkan, dia terpejam lantaran mencium aroma wangi surai Shasa. Hingga tanpa sadar, dia semakin mengeratkan dekapannya.

“Hadiahnya nanti nyusul.”

Ya ampun....

Adiran tahu bahwa ini adalah hari kelahiran Shasa?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel