[8] Interrogation
“Sumpah, Shesa masih nggak percaya kalau Kakak akhirnya dilamar!”
Shasa hanya tersenyum kecil. Sementara di dalam hati, dia sudah menangis akan godaan Shesa.
Setelah pemberitahuan beberapa hari lalu, Adiran membuat rencana. Bahkan, mereka diam-diam membuat surat kesepakatan. Bahwa semua ini adalah pura-pura dan akan berakhir satu tahun sejak pernikahan nanti dilaksanakan.
Miris sekali, memang. Shasa benar-benar merasakan apa itu namanya pernikahan kontrak dan dalam kurun waktu satu tahun nanti, dia akan mendapat predikat ‘janda’ di belakang namanya.
Tapi mau menolak pun, Shasa tidak mau mengecewakan keluarganya apalagi keluarga Adiran. Mereka sudah memberikan lampu hijau sejak pertemuan makan malam minggu lalu. Terlebih keluarga Adiran terutama mamanya sudah sangat menginginkan hal ini terjadi.
“Gimana rasanya dilamar tadi, Kak? Deg-degan? Apalagi tadi Kak Adiran kelihatan ganteeeeng banget pakai black suit itu. Kalau Shesa yang di posisi Kakak, kayaknya Shesa bakalan langsung ajak Kak Adiran kawin lari! Hahaha!”
Shasa mencebik kesal. “Imajinasi kamu itu berlebihan banget!”
“Nggak apa-apa, dong! Namanya juga mengkhayal. Kayak mengkhayal Shesa nikah sama Wonu Oppa. Huhuhu, kalau Kak Adiran orangnya, Shesa tetap mau, lah, diajak nikah!”
Shasa memicing, mulai tidak suka pada arah pembicaraan adiknya. “Kamu naksir sama Adiran, ya?”
“Kalau iya, kenapa? Cemburu, ya? Ciee cemburu nih yee!”
Shasa langsung salah tingkah ditembak seperti itu oleh Shesa. Wajahnya mendadak memerah dan ia segera membuat jarak dari adiknya. Tapi sang adik justru memeluk sebelah lengannya dengan gemas.
“Shesa emang naksir sama Kak Adiran, sih. Sedikiiit! Tapi Shesa malah lebih bahagia karena cowok seganteng Kak Adiran sama Kakak. Kalian itu serasi, lho! Jadi kakak iparnya Shesa juga bakalan mau banget Shesa tuh!”
Benarkah begitu? Benarkah Shasa dan Adiran terlihat serasi? Apa karena penampilan mereka hari ini yang sedang bagus?
“Cuma, kayaknya habis ini Kakak harus menghadap Kak Nesya sama Kak Ello dulu deh. Harus minta izin kalau Kakak mau nikah duluan. Hihihi!”
Benar. Bagaimanapun juga, Shasa akan melangkahi kedua kakaknya. Padahal selama ini, hanya Shasa yang tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis. Tetapi seperti kejatuhan komet, hanya dalam waktu dua minggu, Shasa sudah mengumumkan memiliki kekasih lalu akan menikah!
“Yuhuu, Kak Shasa!!”
Pintu kamar mereka menjeblak terbuka dan langsung menampakkan sosok pemuda yang baru saja berseru nyaring.
“Evan!! Bisa nggak sih, nggak asal masuk kemari? Ini kamar cewek!!” sewot Shesa. Si saudara yang hanya berjarak satu tahun darinya—namun kadang masih lebih kekanakan saudaranya itu—hanya cengengesan.
Evan sudah duduk di sebelah Shasa, merangkul kakaknya itu penuh suka cita. Siapa yang habis lamaran, siapa yang berbahagia.
“Akhirnya, Kakak dilamar sama Kak Adiran. Itu berarti...,” Evan membuat jeda untuk menarik napas sebelum berseru, “Evan bakalan punya teman main PS yang sepadan!! Woohoo!! Yeaaaaahh!!!”
Sambil berjingkrak-jingkrak, Evan pun berlari kegirangan keluar kamar.
Hanya itu.
Meninggalkan keduanya yang melongo sebelum menggeleng-geleng heran.
*21st*
Benar yang dikatakan Shesa. Kini Shasa harus duduk menghadap kedua kakaknya di dalam kamar. Hanya mereka bertiga, dan Nesya bersama Ello sudah bertingkah layaknya hakim di hadapan Shasa.
“Kakak bukannya melarang kamu untuk mengambil keputusan ini. Tapi apa kamu benar-benar siap untuk menikah? Ini bukan yang namanya pacaran lagi, Sha. Menikah itu tanggung jawabnya besar, nggak cuma buat kamu tetapi Adiran juga.”
Ya, Shasa tahu apa yang dikhawatirkan Ello.
“Ingat juga usia kamu. Dua puluh tahun itu masih terbilang muda buat kamu memilih menikah. Kamu juga baru akan berkuliah. Jangan gegabah kalau memang ini sebatas kamu sama Adiran udah merasa cocok. Kalian masih punya banyak waktu untuk saling mengenal dan yakin.” Nesya menimpali.
Shasa menarik napas berat, menatap kedua kakaknya secara bergantian. “Shasa memang mau kok, Kak. Shasa udah siap buat menikah sama Adiran. Kita memang udah yakin dengan hubungan ini dan kita udah sepakat buat berumah tangga.”
“Sha, begini, menikah itu bukan dijalankan setahun atau dua tahun aja. Tapi seumur hidup. Kamu yakin kalau Adiran itu memang pilihan tepat buat kamu? Kamu yakin kalau Adiran akan menanggung hidup kamu?”
“Masalahnya, kamu itu belum bisa dipercaya untuk dilepas begitu aja. Selama ini kamu selalu di bawah pengawasan kita. Kita belum bisa percaya kalau kamu akan baik-baik aja tinggal sama laki-laki pilihan kamu nanti. Apalagi kita baru kenal dia beberapa minggu lalu.” Ello menyugar rambutnya gusar. “Jujur, Kakak masih ragu kalau dia memang serius sama kamu, Sha.”
“Kalau Kakak masih ragu, kenapa Kakak nggak tanya langsung aja ke Adiran?” Shasa memberanikan diri membalas. “Untuk Shasa sendiri, Shasa yakin kalau Adiran orang yang tepat. Shasa sama Adiran memang mau hidup sama-sama. Mungkin ini terlalu cepat, tapi kita punya prinsip menjalin hubungan setelah menikah itu akan lebih baik. Keluarganya bahkan udah menerima Shasa.”
Shasa sudah meremas kuat dress merah muda yang masih dikenakannya sejak acara lamaran tadi. Jantungnya berdetak kuat ketakutan. Dia khawatir, ucapannya yang jelas penuh kebohongan ini akan diketahui oleh kedua kakaknya.
Tapi seakan keberuntungan berpihak padanya, pintu kamarnya yang memang sedari tadi dikunci pun terketuk. Suara nyaring si bungsu terdengar dari luar.
“Kak Shasa, ada Kak Adiran, tuh!”
Kenapa di waktu yang tepat sekali?
“Itu anak kayaknya ngebet banget ya, sama adik gue!” gumam Nesya seraya berdiri. “Kamu tunggu di sini. Biar Kakak yang ketemu sama dia dulu.”
Baik Nesya bersama Ello pun keluar dari kamarnya. Keduanya seakan siap untuk bertarung dan itu mengkhawatirkan Shasa. Dia pun mengikuti di belakang. Menemukan Adiran sudah menunggu di ruang tamu dengan raut tak terbaca.
“Wah, Kak Diran!! Datang lagi, rupanya! Ayo kita main!”
“Evan!!” Shera langsung menarik Evan menjauh ke ruang tamu. Tidak menghiraukan kakak beda setahunnya itu meronta-ronta dan keduanya pun masuk ke dalam kamar pemuda itu.
“Kakak—”
“Kamu nggak dengar? Tunggu di kamar, Sha!”
Teguran Ello sudah cukup menciutkan nyali Shasa. Melihat Adiran yang tersenyum kecil padanya, itu tidak cukup untuk membuat Shasa tenang seraya kembali ke dalam kamar.
*21st*
Tiga puluh menit berlalu dan Shasa hanya bisa mondar-mandir di dalam kamarnya. Beberapa kali mencoba mencuri dengar melalui daun pintu, tetap saja tidak terdengar suara percakapan mereka di ruang tamu sana.
“Kak, tenang. Kak Adiran nggak bakal diapa-apain, kok!” Shesa yang memang sudah berada di kamar, sedari tadi hanya bisa menonton kegusaran kakaknya itu. “Shesa yakin, Kak Adiran udah tahu soal ini dan udah siapin banyak hal dengan matang. Buktinya dia sampai rela bolak-balik begini buat memastikan kalau dia itu sepenuhnya direstui.”
Terkadang Shasa tidak percaya kalau adik bungsunya itu bisa berpikir seterbuka itu. Sebab Shasa sendiri harus membenarkan apa yang dikatakan oleh Shesa.
“Yang terpenting nih, selama Kakak nggak meragukan Kak Adiran, semuanya pasti bakalan baik-baik aja. Apalagi Papa sama Mama udah restuin kalian di lamaran tadi. Kunci utama udah dibuka sama Kak Adiran. Jadi Kakak tenang aja!”
Entah mengapa, ucapan penuh yakin dari Shesa justru menumbuhkan rasa bersalah di benaknya. Bukankah ini berarti dia berhasil sampai menipu adiknya?
Dan melihat Nesya yang akhirnya masuk kemari, dengan ekspresi pasrah, membuat rasa bersalah Shasa semakin menjadi.
“Kamu nemu dia di mana, sih?” tanya Nesya sedikit jengkel.
“Ke-kenapa, Kak...?”
“Dia itu masih seumuran kamu, tapi nggak disangka otaknya udah seumuran anak bisnis papan atas. Katanya, karena sering bantuin papanya, dia jadi ngerti sama yang namanya main saham dan segala macam strategi pasar. Pantas aja papanya banggain dia banget tadi.”
Oh, wow....
Jadi curahan hati Adiran di kala itu memang bukan tipu-tipu.
“Tapi bukan berarti Kakak bakalan sepenuhnya lepasin kamu ke Adiran, ya! Kalau ada apa-apa, kamu harus aduin semuanya langsung ke Kakak! Biar Kakak buat perhitungan ke dia nanti. Ngerti?”
Shasa mengangguk-angguk. Pikirannya mendadak kosong sejak Nesya mendumal sedari tadi.
Itu berarti, Adiran sudah berhasil membuka pintu hati kedua kakaknya, bukan?
*21st*
Keluar dari kamar, Shasa merasa adanya perubahan atmosfir di ruang tamu ini. Ello tampak semringah menyambut kedatangan Shasa bahkan merangkulnya penuh hangat.
“Kakak harus usir calon suami kamu karena ini udah malam. Nanti orangtuanya mikir aneh-aneh karena anaknya betah banget datang kemari.”
Adiran terkekeh. “Santai aja, Kak. Gue udah mandiri. Apalagi bentar lagi mau bawa Shasa ke rumah.”
“Mulai besar kepala ya, lo.”
Shasa tidak percaya, Adiran begitu mudahnya membuat seorang Ello tertawa lepas hanya karena candaan kecil seperti ini. Sebenarnya sihir apa yang Adiran kerahkan sampai membuat seluruh anggota keluarganya luluh padanya?
Setelah pamit, Shasa pun mengantar Adiran keluar. Menuju mobilnya yang terparkir di seberang. Meski begitu, pikirannya justru melayang tanpa arah. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Dan Shasa mulai merasa pusing dengan semua ini.
“Lo kelihatan capek,” tegur Adiran menyadari raut wajah Shasa yang lumayan letih. “Sorry, ya.”
Shasa menggeleng pelan. Tersenyum getir. “Lo kelihatan udah siapin semuanya. Gue sendiri kaget.”
“Karena gue harus buat semua ini kelihatan dipercaya. Jadi nggak boleh ada satupun yang terlewat. Termasuk meyakinkan kedua kakak lo yang memang protektif itu.”
Helaan napas menjadi respon Shasa. Tapi setidaknya, keseriusan Adiran dalam membuat rencana ini dengan matang benar-benar membantunya. Shasa tidak bisa membayangkan kalau Adiran tidak kembali datang dan harus berbohong lebih jauh lagi sendirian.
Tiba-tiba, Shasa dikejutkan sentuhan hangat yang merengkuh pipinya. Menyadari tangan besar Adiran yang melakukannya. Dan itu di luar ekspektasinya.
“Harusnya lo nggak nganterin gue ke sini. Masuk, sana. Istirahat.”
Adanya nada khawatir di balik suara berat Adiran membuat hati Shasa berdesir. Tapi Shasa tidak boleh terlena. Maka dia segera menarik kakinya untuk mundur hingga sentuhan itu lepas. Melihatnya menggantung di udara sepersekian detik sebelum diturunkan oleh empunya.
“Lo juga. Langsung pulang. Istirahat.”
Gumaman pelan menjadi jawaban Adiran. Lalu Shasa mengangguk sebelum pamit.
Namun Shasa belum sempat berbalik ketika tangan besar itu lebih dulu menahannya. Tubuh menjulang itu mendekat dan Shasa hanya mampu melihat kerah kemeja yang sudah terlepas kancingnya kala sentuhan lembut itu mengangkat pelan dagunya. Lalu gesekan halus berasal dari pucuk keningnya berhasil menyengat sekujur tubuhnya.
Adiran ... menciumnya...?
