[7] It's Really Happening
Shasa masih dalam keadaan mengantuk ketika keluar dari kamar. Semalam tidurnya tidak begitu nyenyak karena pikirannya terus tertuju pada Adiran.
Lelaki itu sudah terlalu memengaruhi isi kepalanya sampai-sampai dia berakhir begini. Matanya terasa perih akibat kantuk yang belum terbayar sepenuhnya. Ucapan Adiran benar-benar membuatnya frustasi dan harus terjaga hingga pukul dua pagi
Kondisi rumah terasa tenang. Papa dan kakak-kakaknya pergi bekerja, adik-adiknya jelas bersekolah. Mamanya mungkin sedang berbelanja. Menyisakan dirinya yang masih berstatus pengangguran sebelum menjadi seorang mahasiswi.
Masuk ke dapur, Shasa membasahi tenggorokan dengan air mineral dingin. Namun baru seteguk berhasil lolos ke tenggorokan, ada tangan lain yang langsung merebut gelasnya. Shasa nyaris tersedak begitu melihat siapa pelakunya.
Apakah mimpinya belum juga kelar setelah semalam dia berani memimpikan Adiran? Bisa-bisanya sekarang dia malah berhalusinasi lelaki itu ada di hadapannya.
“Delapan lewat tujuh. Lo baru keluar dari kamar dan langsung minum air dingin.”
Shasa mengerjap berkali-kali. Memastikan bahwa lelaki itu sedang memeriksa arlojinya sebelum menggeleng-geleng sambil menatap kembali dirinya.
Ini benar-benar Adiran?!
Melihat gadis itu melongo bodoh, Adiran justru menoyor pelan keningnya. “Jangan keseringan begadang. Jelek banget kebiasaan lo.”
“A-apa? S-siapa yang begadang?”
“Perlu gue tunjuk orangnya?” Adiran kembali mengangkat telunjuknya bersiap untuk menoyor lagi ketika Shasa langsung menarik kepalanya ke belakang.
“Gue nggak begadang!”
“Oh, ya? Tapi lo hobi banget begadang sampai beberapa kali lo jatuh sakit cuma karena hal itu.”
“Si-siapa bilang?”
“Bukti lain? Lo jadi bangun kesiangan kayak sekarang.”
“Jangan sok tahu!”
“Kenyataannya gue memang tahu.”
Shasa menarik kaki-kakinya mundur. Pasti ini kerjaan mamanya yang sudah berani bercerita pada Adiran. Ugh, terbongkar sudah satu kebiasaan jeleknya di depan Adiran!
“Kenapa datang kemari?” Shasa mencoba mengalihkan topik. Mengingatkannya pada sesuatu.
Dia sedang sendiri di sini tetapi Adiran tiba-tiba muncul?!
“Kenapa lo ada di sini?!” spontan kedua tangan Shasa menyilang di depan tubuhnya, membuat pertahanan diri.
Astaga, bagaimana bisa mamanya meninggalkan dirinya begitu saja dan membiarkan cowok ini menemui Shasa seperti ini?!
Adiran justru tergelak melihat reaksi berlebihan Shasa. Ya ampun, gadis ini memang masih polos seperti dulu. Bahkan lebih dari yang Adiran kira. Maka dia langsung mundur selangkah, memberi isyarat bahwa dia datang dengan niat yang baik.
“Ganti baju, gih. Gue mau ajak lo keluar.”
“Hah? Ke mana? Pagi-pagi begini?”
“Gue udah izin sama mama lo. Begitu beliau balik, kita berangkat.”
“Mau ke mana lagi?” ada nada menggerutu terselip di sana. Shasa tidak mengerti kenapa Adiran menjadi suka mengajaknya pergi. Shasa belum sembuh dari kejadian semalam tetapi Adiran sudah menambah penyakit jantungnya di pagi ini.
“Ke mana aja asal gue bisa ngomong dengan tenang sama lo.”
Shasa melihat raut wajah Adiran berubah serius. Firasatnya mengatakan bahwa Adiran akan mengatakan hal penting yang mungkin berhubungan dengan status pura-pura mereka ini.
“Gue nggak bisa bilang di sini karena memang butuh privasi. Tapi lo nggak perlu khawatir, kita nggak akan pergi jauh-jauh.”
Tepat setelah Adiran selesai berbicara, Shasa mendengar pintu gerbang rumahnya terbuka nyaring. Mungkin itu mamanya yang baru saja pulang berbelanja.
“Mama lo udah pulang,” ujar Adiran. Secara tersirat agar Shasa lekas bersiap-siap.
“Gue harus mandi juga?”
Adiran menggeleng singkat. “Mandinya setelah gue bawa lo balik. Sekarang ganti baju aja.”
Shasa mengangguk mengerti. Sebenarnya, dia mulai merasa malu karena melihat ada sorot geli di mata lelaki itu. Karena dengan bodohnya, Shasa menampakkan diri yang masih berantakan di depan Adiran yang sudah rapi dan wangi.
*21st*
Adiran mengemudikan mobilnya tanpa arah. Hingga akhirnya memasuki area perumahan elit. Shasa sendiri tidak bicara dan tidak berniat untuk bertanya ke mana sebenarnya Adiran ingin membawanya.
Mobil tersebut pun berhenti di tepi jalan yang cukup sepi. Dengan mesin yang dibiarkan menyala agar ruangan sempit ini tidak pengap, mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama.
Shasa mengamati Adiran yang sudah melepas pegangannya dari roda kemudi. Lelaki itu tampak berpikir keras dalam diamnya. Membuat Shasa harus menunggu dengan detakan jantung yang sudah tidak tenang. Firasatnya sedari tadi mengatakan bahwa pertemuan ini tidaklah baik.
“Akhir pekan berikutnya, orangtua gue bakal datang ke rumah.” Akhirnya Adiran membuka percakapan. “Papa dan Mama, mereka bakal datang ke rumah lo. Nanti orangtua lo juga akan dikabari,” ujar Adiran memperjelas ucapannya.
“Buat apa...?”
“Lamaran. Gue akan melamar lo nanti.”
Layaknya bom waktu, ada yang meledak di benak Shasa kala mendengar jawaban Adiran. Jantungnya mencelus hebat dan tubuhnya mulai menegang.
“Me-melamar...?”
“Ya.” Untuk kali ini, Adiran terlihat benar-benar gugup dan tidak ada ketenangan yang selalu memancar di matanya. “Gue akan menikahi lo dalam waktu dekat ini.”
[Nggak mungkin!]
Shasa sudah menjerit di dalam hati. Sedangkan bibirnya kelu seketika. Seharusnya Shasa sudah mengira ini tetapi tetap saja, Shasa masih tidak bisa menerima ketika ketakutannya benar-benar terjadi.
“Sha,” Adiran sudah memutar tubuhnya menghadap Shasa. Wajah tegasnya terlihat gusar. “Gue minta maaf. Gue harusnya bilang dari awal ke lo soal ini.”
“Maksudnya...?” Shasa melirih. Menatap gamang lelaki itu. “Dari awal lo memang udah tahu ... kalau hubungan ini bakalan sampai sana...? Dan lo biarin gitu aja...?”
Shasa menunduk. Kepalanya mendadak pening. Ini terlalu sulit diterima.
Melamar? Menikah?!
“Lo tahu kalau yang namanya menikah itu nggak bisa dibilang main-main. Dan lo mau mempermainkan itu?”
“Gue minta maaf.” Adiran terpejam kuat. Mengais keberaniannya yang terkikis banyak. “Tapi gue nggak mau mengecewakan Mama. Termasuk Papa.”
“Kenapa? Apa itu sulit buat ngaku kalau sebenarnya lo sama gue nggak ada apa-apa? Harusnya sejak awal lo nggak melibatkan gue kalau tahu akhirnya bakalan kayak gini. Kenapa lo nggak cari cewek lain yang memang suka sama lo dan lo juga suka sama dia? Bukannya malah begini.”
“Gue juga bingung, Sha. Gue nggak bisa berpikir sampai sana. Saat itu, gue terdesak. Gue berpikir dengan melibatkan lo, Mama akan berhenti tanya gue dan akan puas dengan itu.”
Shasa menghela napas kesusahan. Ada nyeri di dadanya yang mulai terasa berkat kalut yang mulai menggerayangi.
“Sebenarnya lo lagi ada masalah apa sama mama lo? Gue butuh penjelasan. Lo pernah menyinggung soal itu ke gue waktu awal kita ketemu.”
Adiran mengusap sejenak wajahnya. Terdiam beberapa saat untuk menyiapkan cerita yang harus dia beberkan pada Shasa. Karena memang, Shasa harus tahu soal ini.
“Papa sakit. Gejala stroke. Walaupun udah sembuh, Mama terus khawatir dan mendesak gue buat bisa gantikan Papa bekerja supaya Papa bisa beristirahat. Sebenarnya, Papa nggak terlalu menginginkan itu. Tapi Papa juga berharap gue bisa meneruskan usahanya nanti. Karena gue adalah anak tunggal. Dan mereka cuma bisa mengandalkan gue.
“Perlu lo tahu, Mama sebenarnya nggak begitu peduli siapa yang akan jadi pasangan gue. Mama cuma mau gue untuk segera menikah. Secepatnya. Dengan alasan, kalau gue udah menikah, Mama nggak akan kesepian di rumah. Karena memang, kesibukan gue dan Papa bikin Mama sering kelayapan karena nggak betah sendiri di rumah. Dan Papa suka marah karena kelakuannya.”
Shasa termangu mendengar penjelasan lelaki itu. Sampai di sini, Shasa cukup mengerti bahwa masalah mama Adiran pasti tidak semudah yang diceritakan Adiran. Mungkin istilah marah yang Adiran ceritakan berarti kedua orangtuanya sudah bertengkar karena masalah ini.
“Gue udah sempat pacaran sebelumnya. Dua tahun menjalin hubungan dan gue mencoba buat ngelamar dia. Terdengar konyol mengingat kita masih sama-sama kuliah. Nggak ada yang bisa gue janjikan buat dia. Tapi seakan dia takut sama lamaran gue, dia malah kabur ke pelukan cowok lain.”
Benarkah?
Shasa memang tahu kalau Adiran pernah menjalin hubungan. Karena Shasa masih diam-diam mengikuti akun media sosial Adiran. Beberapa kali lelaki itu memamerkan kebersamaannya dengan gadis itu sampai Shasa hapal dengan wajahnya.
Namanya....
“Gue sebenarnya capek dengan ini. Gue capek dengan ambisi aneh Mama dan gue nggak mau dengar orangtua gue bertengkar karena ini. Itulah kenapa, begitu gue ketemu sama lo, gue terdorong untuk menghentikan semua ini dan ide itu terlintas begitu aja di otak gue.”
“Dan lo memanfaatkan gue dengan menjadikan gue tameng buat lo saat itu,” lirih Shasa. “Lo memanfaatkan gue, dan berakhir kayak gini. Nggak cuma gue, tapi keluarga gue juga jadi terlibat,” suara Shasa bergetar. “Semuanya udah terlanjur, Adiran. Kalau udah begini, gimana gue harus mundur...?”
Adiran meraih tangan Shasa. Merasakan kulit gadis itu sudah dingin dan sedikit gemetar. Adiran tahu, ini menakuti Shasa dan dia sangat bersalah untuk itu.
“Nggak bisa mundur, Sha. Kita harus lanjutin ini, kalau nggak mau semuanya kecewa.”
“Terus, gimana dengan nasib gue ke depannya? Gue bahkan baru mau masuk kuliah. Dan lo juga tahu, gue bisa dibilang nggak normal kayak yang lain. Gue terlalu lemah buat dijadikan menantu apalagi itu mama lo.”
“Mama gue nggak peduli akan hal itu, lo lupa? Sedangkan Papa, dia sebenarnya lebih ngikutin apa yang Mama mau.”
“Lalu, lo sendiri?” Shasa menatap getir Adiran yang termangu. “Lo yakin mau sama gue? Meskipun ini cuma pura-pura, apa lo nggak salah pilih orang?”
“Itu juga nggak berlaku bagi gue. Selama gue tahu kalau itu adalah lo, gue nggak akan mempermasalahkan hal itu.”
Sulit untuk dicerna. Shasa tidak mengerti dengan jawaban Adiran. Terlebih kemudian Adiran memalingkan wajah untuk beberapa saat. Seakan dia tidak mau menjelaskan ucapannya itu.
“Jadi, apa maksud lo, ini bakalan disebut sebagai pernikahan kontrak? Berapa lama? Satu tahun?” Shasa tersenyum kecut.
Sesungguhnya, dia tidak pernah bermimpi untuk menjalankan ini. Bahkan tidak pernah terlintas di pikirannya untuk mencoba hal ini. Kalau bisa dibilang, pernikahan merupakan to do list yang akan dia sematkan di urutan akhir. Karena memang Shasa belum merasa terlalu dewasa untuk merencanakan itu.
Tapi ini....
“Gue bersedia untuk bertanggung jawab. Kalau perlu, gue akan lakukan itu mulai dari sekarang. Gue akan pasang badan kalau lo kenapa-kenapa.”
Itu bukanlah jawaban yang Shasa mau. Tapi Shasa juga tersadar, dirinya memang tidak lagi bisa menghindar maupun melarikan diri dari Adiran dan masalah ini.
