Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[6] Meet Her Brother

“Gila! Gue masih nggak nyangka mereka benar jadian!”

“Sama! Nggak nyangka banget. Setelah hampir lima tahun, mereka akhirnya berlabuh juga!”

“Percaya nggak, sih, kalau sebenarnya Adiran itu emang suka sama Shasa dari dulu? Si Shasa juga! Tapi mereka tuh ngelak terus. Apa karena kita godain terus, ya, dulu?”

“Kayaknya sih, gitu. Mereka jadi nggak nyaman. Namanya juga masih remaja, masih malu-malu dulu.”

“Mereka kayaknya jodoh, ya. Bisa-bisanya pacaran sekarang. Mana kelihatannya, udah serius banget gitu.”

Sejak kepergian Adiran dan Shasa masuk ke dalam restoran, mereka belum juga beranjak dan asyik bergibah di pelataran parkir. Sejak melihat dua sejoli itu menghadap mereka sambil bergandengan tangan seperti melihat highlight news yang patut untuk diperbincangkan.

“Eh, tapi bukannya Adiran lagi pacaran sama si itu, ya? Teman satu kampusnya? Dea, lo sekampus sama Diran ‘kan?”

“Iya, tapi kayaknya mereka udah putus deh. Gue cuma tahu kalau dia pacaran sama yang namanya Dewi, anak satu fakultas sama Adiran. Tapi sejak si Adiran mulai sibuk magang, mereka nggak ada kabarnya lagi.”

“Semoga aja emang udah putus, ya. Tapi gue yakin sih, Adiran mah nggak pernah main-main kalau sama Shasa.”

“Benar! Dari dulu pun Adiran malah kelihatan hati-hati banget kalau dekat-dekat sama Shasa. Mungkin sekarang dia beneran serius jadiin Shasa pacar. Atau malah lebih dari itu.”

“Tinggal tunggu tanggal main aja, sih. Astaga, kalau beneran langgeng, benar-benar jodoh mereka tuh!”

*21st*

“Halo, Kak?”

Panggilan tak terduga dari kakaknya—Ello. Shasa sempat melirik ke depan dan tidak menemukan presensi Adiran di mana pun setelah dia mengantarkan dua porsi makanan ke meja.

“Iya. Shasa lagi sama Adiran. Sebentar lagi pulang, kok.”

“Jangan kemalaman. Meskipun kamu sama dia, bukan berarti kamu bisa pulang di atas jam sepuluh.”

“Iya, Kak....”

Selesai beberapa patah kata, Shasa pun kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas. Waktu memang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Ello sudah pasti mengkhawatirkannya karena tidak biasanya di luar rumah di waktu malam begini.

Kedatangan Adiran berhasil mengalihkan perhatian. Lelaki itu tengah membungkus sekantung es batu dengan handuk yang entah didapat dari mana sembari berjongkok di hadapannya. Lalu menempelkannya di kaki Shasa.

“L-lo ngapain?”

“Ngompres kaki lo biar nggak bengkak. Itu mulai merah soalnya.”

Bukan begitu! Tapi Shasa terkejut karena Adiran melakukannya di sini! Di mana masih ada banyak orang dan mungkin akan ada yang melihat!

“Gue nggak apa-apa. Nggak usah begini.”

“Yakin?”

Shasa langsung mengangguk begitu Adiran mendongak untuk menatap lurus dirinya. Ada yang berdesir di benak Shasa hanya karena melihat sorot mata Adiran menyimpan sirat khawatir. Atau Shasa yang salah melihat?

“Ya udah. Biarin aja di situ. Biar kaki lo adem.” Adiran pun berdiri. Melepas blazer yang dikenakannya untuk kemudian menyampirkannya di pangkuan Shasa. “Harusnya gue beli yang agak panjangan.”

Hati Shasa semakin berdesir. Kenapa Adiran begitu memerhatikannya malam ini? Padahal tidak ada lagi yang memerhatikan mereka apalagi mengenal mereka. Jadi seharusnya Adiran tidak usah begini.

Jangan terlalu terbawa perasaan, Shasa.

“Kak Ello tadi telepon. Dia bilang, gue jangan pulang kemalaman.”

Adiran memeriksa arlojinya. “Mau pulang sekarang? Biar gue minta bungkusin dulu ini.”

“Enggak. Lo makan dulu aja. Nggak usah buru-buru.” Shasa menggigit bibirnya sejenak. “Kak Ello bilang, dia mau bicara sama lo nanti.”

Adiran terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Tidak ada ekspresi berarti di wajahnya seakan itu bukanlah berita mengejutkan.

Padahal Shasa sudah ketar-ketir di dalam hati. Karena setelah diingat-ingat, hanya Kak Ello yang belum sempat bertemu dengan Adiran. Kakak laki-lakinya itu pasti akan menginterogasi Adiran nanti.

*21st*

“Sha, bersih-bersih dulu, sana.”

Tahu bahwa itu usiran dari Ello, Shasa hanya bisa mengangguk. Sejenak dia menengok Adiran yang sudah duduk di sofa ruang tamu bersama Ello yang segera menyusul. Menyadari bahwa mereka hanya ingin bicara empat mata.

Shasa hanya bisa berharap bahwa Adiran bisa meluluhkan hati Ello. Karena seperti yang Shasa ketahui, kakak laki-lakinya yang hanya terpaut tiga tahun darinya itu terbilang cukup protektif padanya.

Ingat waktu Shasa masih suka menjalani kerja paruh waktu, Ello sering menjemputnya di saat senggang dari kuliah. Dia yang paling khawatir karena Shasa sering drop dan dia juga yang akan menghubunginya secara rutin hanya untuk mengetahui keadaannya.

Jadi, Shasa khawatir Adiran akan disudutkan karena tiba-tiba menjalin hubungan dengannya. Meskipun sudah lolos dari restu kedua orangtua, bukan berarti Ello akan meloloskan restu juga.

“Jangan gitu mukanya, Kak. Kak Ello nggak bakalan galak-galak sama Kak Adiran, kok.”

Shasa menoleh, mendapati Shesa yang sudah menatapnya penuh arti sembari berbaring nyaman di tempat tidur. Mungkin adik bungsunya itu menyadari bahwa sejak masuk kemari selesai bersih-bersih, Shasa terus memasang raut gelisah.

“Kamu kayak nggak tahu Kak Ello aja. Dia mana mungkin santai-santai aja kalau ada orang asing kenal sama kita?”

“Hmm, lebih tepatnya, itu buat Kakak, sih. Kalau Shesa ‘kan udah biasa bergaul sama banyak teman termasuk cowok. Nah, kalau Kakak itu sulit buat dipercaya. Soalnya Kakak masih gampang digondol orang!”

Shasa tersungut dan langsung melemparkan bantal untuk Shesa yang sudah terkikik geli.

Ketukan pun terdengar. Shasa langsung melompat turun dari tempat tidur untuk membuka pintu dan langsung mendapati Ello berdiri di depannya.

“Dia mau pamit pulang, tuh.”

Sudah selesai? Berapa lama Ello mengiterogasi Adiran?

“Kakak nggak apa-apain Adiran, 'kan?”

“Emangnya Kakak ngapain pacar kamu? Gigit?” Ello mencebik. “Setidaknya Kakak tahu pacar kamu kayak apa. Baguslah kalau kamu pilih yang kayak Adiran.”

Shasa tidak dapat bernapas lega hanya karena ini. Terlebih begitu menghampiri Adiran dan menemukan tidak ada ekspresi berarti yang menunjukkan bahwa lelaki itu terbebani, Shasa malah semakin cemas.

“Kalian bicara apa, tadi?”

Shasa bersuara begitu mengantar Adiran menuju mobilnya. Lelaki itu menoleh untuk memberi senyum kecil.

“Urusan laki-laki. Lo nggak perlu tahu.”

“Kakak gue nggak ngomong macam-macam, 'kan?”

“Seharusnya lo bertanya sebaliknya. Bukan kakak lo, tapi gue.”

Shasa mengerjap bingung. “Emangnya lo udah bilang apa ke Kak Ello?”

Adiran malah mengusap puncak kepala gadis itu demi memberi ketenangan. “Kepo banget. Dibilangin, ini urusan laki-laki, jadi Shasa nggak perlu tahu.”

Shasa merasakan wajahnya kembali memanas. Lihat bagaimana kelakuan Adiran yang begitu mudahnya memengaruhi Shasa.

“Yang jelas mulai sekarang, persiapkan diri aja. Soalnya semua anggota keluarga lo udah setuju.”

Persiapkan diri? Untuk apa? Apa lagi yang sedang direncanakan Adiran?

“Gue pulang dulu, ya. Blazer-nya lo simpan dulu aja.”

Mengingatkan Shasa bahwa sejak Adiran memberikan blazer-nya untuk menutupi pahanya tadi, Adiran justru membiarkan Shasa mengenakannya dengan alasan udara malam semakin dingin.

Tapi pikiran Shasa semakin terasa penuh. Lupakan soal blazer. Ucapan Adiran tadi semakin menghantui pikiran Shasa sekaligus perasaannya.

[“Yang jelas mulai sekarang, persiapkan diri aja. Soalnya semua anggota keluarga lo udah setuju.”]

Wajah Shasa mulai pasi.

Tidak mungkin....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel