Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[4] Family Dinner

-flashback-

“Nggak suka acar?”

Shasa mendongak dan mendapati Adiran tengah menatapnya lalu melirik ke bawah, menunjuk secara nonverbal pada sepiring nasi gorengnya yang sudah habis setengah.

“Iya,” jawabnya pelan. Tidak disangka bahwa Adiran akan memerhatikannya yang baru saja menyingkirkan acar-acar di piringnya.

“Kenapa? Acar 'kan enak. Bagus juga buat daya tahan tubuh. Harusnya Shasa sering makan acar,” ujar Adiran sebelum menyuap sesendok nasi gorengnya sendiri. “Kalau nggak mau, Diran aja yang makan, ya.”

“Eh?” Shasa mendongak, menatap bingung lelaki itu. “Mau, emangnya?”

“Daripada mubazir.” Maka Adiran mengambil acar dari piring Shasa dengan sendoknya, memindahkannya ke piringnya sendiri.

“Ciee, Adiran perhatian banget sih, sama Shasa! Sampai acar aja mau dimakan buat Shasa!” Dian yang sedari tadi mengamati pun berseru. Mengundang gaduh teman-teman lain yang memang ikut menonton.

“Mau juga, dong, diperhatiin. Adiran nggak adil, nih, cuma perhatian sama Shasa,” sahut Salma yang juga ada di sana.

Malam ini, mereka tengah berkumpul di suatu foodcourt di sebuah mall. Setelah menonton film bersama yaitu seri terakhir Harry Potter yang baru dirilis, mereka pun berpindah kemari untuk mengisi perut.

“Buat apa Adiran perhatian sama yang lain? 'Kan pacarnya cuma Shasa,” celetuk Dea yang semakin membuat lainnya menggoda dua sejoli itu.

“Pacar apa, sih? Bukan!” Shasa mengelak.

“Ya ampun, Diran! Lo belum nembak Shasa? Mau sampai kapan lo gantungin Shasa mulu?!” Dian menggebu-gebu. Gadis yang satu ini, memang tergolong dekat dengan Adiran. Maka dari itu dia jadi seenaknya seperti ini.

“Kalau ditembak, nanti sakit,” jawab Adiran sok polos.

“Alasan aja lo! Bilang aja nggak punya nyali!” ejek Hilman yang duduk di sebelah Adiran. “Sini deh, biar gue aja yang nembak Shasa!”

“Coba aja kalau berani.”

“Tuh, ‘kan? Lihat kelakuan lo itu. Masih nggak mau nembak Shasa jadi pacar?” celetuk Salma. Membuat keadaan semakin menjadi.

“Apaan, sih? Kalian bikin selera makan orang hilang,” tegur Adiran sambil melirik gadis yang sedari tadi sudah diam menunduk.

“Ugh, peka banget sama Shasa, ya!” seloroh Dea.

Pada akhirnya Adiran terdiam. Membiarkan teman-temannya terus menggoda sampai puas. Namun matanya melirik lagi gadis yang sudah bungkam sedari tadi, tampak menyuap makanannya tanpa minat.

Shasa semakin merasa bersalah pada Adiran. Dia khawatir jika teman-temannya selalu seperti ini, maka Adiran akan menjaga jarak darinya. Dan Shasa tidak siap untuk itu. Maka dia memilih tidak merespon dalam bentuk apapun.

&&&

“Woy! Naik motor yang benar, dong! Bahayain orang, tahu!”

Semburan penuh marah milik Evan di belakang terdengar. Shasa mematung begitu saja. Setelah gerakan tak terduga dari Adiran, umpatan yang dilontarkan lelaki itu, Shasa butuh waktu untuk mencerna bahwa ternyata dirinya hampir dalam posisi bahaya. Dan Adiran menyelamatkannya, dengan memeluknya.

“Sha, nggak apa-apa?” Adiran menuntun Shasa agar kembali tegak. Begitu saja tangannya menyentuh rambut Shasa untuk diselipkan ke balik telinga.

“Kak Shasa hati-hati, dong! Tadi Kakak berdiri terlalu ke tengah. Hampir aja ditabrak motor!” Shesa sudah menghampiri dan meraih lengan kakaknya itu.

“Antar kakak kamu ke rumah.”

“Iya, Kak!”

“Sebentar—”

“Sha, balik ke rumah, ya. Sampai sini aja anterin Dirannya.”

Shasa termangu. Melihat Adiran yang tersenyum sebelum akhirnya Shesa mulai menariknya pergi.

“Hati-hati, ya, Kak Diran!”

Adiran pun masuk ke dalam mobil setelah memastikan Shasa masuk ke dalam rumah. Sementara Shasa mengamati mobil itu akhirnya melaju pergi melalui balik pagar. Lalu mata beriris cokelatnya berubah nanar.

Hanya dalam kurun waktu satu hari, Adiran sudah berhasil membuat perasaan Shasa kacau seperti ini.

Jangan berharap terlalu tinggi, Sha. Kalau jatuh, pasti rasanya sakit banget.

*21st*

Hari itu akhirnya tiba.

Acara pertemuan keluarga diadakan di restoran di sebuah mall termewah di kota ini. Shasa terus menggandeng tangan Ami di sepanjang perjalanan. Rasa percaya dirinya menciut terlebih kini dia mengenakan dress yang sebenarnya bukan terlalu gayanya. Beberapa kali dia menarik bagian roknya ke bawah karena panjangnya yang di atas lutut malah membuatnya tak nyaman.

“Kamu cantik sekali kok, Sha. Percaya deh, sama Mama.”

Ami sudah mengatakannya kesekian kali. Sebab melihat puterinya itu yang tidak percaya diri membuatnya gemas. Padahal wajahnya yang sudah dipoles dengan bantuan Shesa yang memang pandai bersolek itu seakan menyulap Shasa menjadi puteri cantik malam ini.

“Halo, Sayang! Akhirnya kita ketemu lagi!”

Citra menyambut penuh antusias. Memeluk Shasa penuh hangat sebelum beralih memeluk Ami dengan akrab, memberi sapaan ramah.

“Joy!” Pria yang sedari tadi bersama Citra pun menyambut Joy dan memberi pelukan erat layaknya bertemu teman lama.

“Astaga, Ridwan! Sudah lama sekali nggak bertemu. Nggak disangka kita akan bertemu di sini!” Joy merangkul Ridwan dengan hangat.

“Sangat nggak disangka. Bagaimana bisa anak kita yang malah mempertemukan kita?”

Joy tertawa bersama Ridwan. “Bagaimana kabarmu? Aku sudah dengar sedikit dari Adiran. Kamu sudah baik-baik saja?”

“Seperti yang kamu lihat, untuk sementara aku baik-baik saja.”

“Jangan sementara. Kamu harus selalu baik-baik saja! Kita akan sering bertemu setelah ini.”

Ketiga perempuan itu tersenyum melihat dua pria yang merupakan teman lama itu saling melepas rindu.

“Jadi ini puteri kamu, Joy?”

“Ya, ini puteriku. Yang berhasil memikat puteramu itu.”

“Hahaha! Memang cantik sekali. Halo, Nak!”

Shasa pun membungkuk sopan. Tidak lupa menyalami Ridwan yang disambut tepukan lembut di pundaknya.

“Salam kenal, Om. Saya Shasa.”

“Om senang sekali melihat kamu yang menjadi pasangan Adiran. Terlebih ternyata papamu adalah orang yang Om kenal. Sepertinya kita bisa mempercepat proses ini.”

“Ridwan, kamu bisa saja!” Joy menengahi. “Semua ada di keputusan mereka berdua. Kita mengikuti alurnya saja dulu.”

Shasa hanya tersenyum canggung. Perasaannya semakin tidak enak dan perutnya mulai terasa mual. Kebiasaannya kalau gugup bukan main. Dan Shasa harus menahan itu.

“Kamu cantik sekali, Sayang! Bagaimana? Kamu suka sama gaunnya, ‘kan?” ujar Citra.

“Suka, Tante. Terima kasih. Harusnya Tante nggak usah repot-repot belikan gaun.”

“Tante cuma mau kasih hadiah ke kamu karena udah terima Diran. Tapi gaun itu Diran sendiri yang pilih. Adiran juga yang belikan. Kayaknya, dia mau acara ini benar-benar berjalan lancar,” kikik Citra.

“Adiran dan keluarganya baik sekali. Kami jadi sungkan karena datang kemari tidak membawa apa-apa,” celetuk Ami tidak enak.

“Jangan merasa terbebani, Bu! Kami ikhlas melakukannya karena kami senang sekali dengan Shasa. Saya sudah menantikan ini dan ingin memberikan yang terbaik untuk Diran maupun Shasa.” Citra tersenyum semringah. “Ayo duduk! Meja kita ada di sebelah sana. Ah, Diran masih cari parkiran dulu. Jadi datang agak belakangan.”

Mereka pun masuk ke restoran lebih ke dalam. Dibimbing oleh salah satu pelayan, mereka berhasil duduk di meja dengan kapasitas enam kursi dan terletak dekat dengan jendela. Tidak lama setelah itu, Citra melambaikan tangan ke belakang Shasa membuat gadis itu kontan menoleh dan mengikuti Citra yang sudah berdiri demi menyambut.

Adiran melangkah pasti mendekat. Balutan kemeja putih yang dipadu blazer hitam memberikan kesan semi-formal pada penampilannya malam ini. Rambutnya yang ditata hingga memperlihatkan keningnya justru menambah aura dewasa pada lelaki itu.

Shasa harus menelan saliva, mendapati mata legam lelaki itu sudah tertuju padanya. Dan Shasa tidak mampu menebak apa yang tengah dipikirkan Adiran ketika melihat dirinya hari ini.

“Malam, Om, Tante.” Adiran langsung menyalami kedua orangtua Shasa dengan sopan.

“Ini Adiran yang pernah datang ke rumah, 'kan? Kok, beda, ya?”

“Iya, dong, Om. 'Kan mau ketemu Om lagi, jadi Adiran dandan.”

Mereka tertawa mendengar jawaban Adiran. Sedangkan Adiran sendiri melirik gadis yang terus bungkam dan tampak tengah berusaha menghindari tatapannya.

“Pacar kamu makin cantik, ya, Diran!” seakan tahu, Citra berceletuk penuh bangga. Di mana itu menular pada kedua orangtua Shasa yang ikut merasa bangga karena puterinya dipuji.

Tanpa diduga, Shasa dikejutkan dengan sentuhan hangat di tangannya. Adiran menggenggamnya, di hadapan orangtua mereka, bahkan tersenyum manis seakan mengatakan bahwa lelaki itu bangga melakukan ini.

“Shasa udah cantik. Jadi jangan gugup.”

Ingatkan Shasa bahwa ini hanya sandiwara!

Dia harus mengatur napasnya yang hampir putus-putus ketika Adiran malah merangkul pundaknya, menuntunnya duduk di kursinya sebelum kemudian duduk tepat di seberangnya.

Semua itu disaksikan oleh mereka. Dan mereka senang akan betapa serasinya Adiran dengan Shasa.

*21st*

“Adiran tahu soal ini?”

Di sela menyantap hidangan yang disuguhkan, mereka mengobrol ringan yang tak lain mengenai hubungan Adiran dan Shasa. Hingga kini, mereka tengah membicarakan kondisi Shasa di masa lalu yang membuat Shasa harus tertunduk tidak enak.

“Iya. Waktu masih sekolah Shasa sering drop. Diran beberapa kali antar dia pulang.”

“Maaf ya, Adiran, Shasa sering ngerepotin kamu dulu. Tante baru tahu kalau itu kamu yang selalu antar Shasa pulang.”

“Nggak apa-apa, Tante. Justru dengan begitu Adiran jadi mau jagain Shasa terus.”

Shasa memandang aneh Adiran. Dia tidak salah dengar, 'kan, Adiran berkata apa?

“Jadi kalian memang sudah kenal sejak sekolah, ya? Kenapa kalian baru berhubungan sekarang?”

“Kita pisah waktu lulus SMA. Adiran nggak sempat hubungi Shasa lagi karena memang begitu keluar masa sekolah, kita putus kontak. Tapi ternyata kita ketemu lagi di kesempatan ini,” kini Adiran memandang gadis di hadapannya terang-terangan, matanya seakan mendukung pengakuannya. “Dari situ Adiran baru sadar kalau ternyata belum bisa sepenuhnya lepasin Shasa.”

Selain pandai berlakon, Adiran pandai sekali membuat skenario yang meyakinkan bahwa mereka memang sepasang kekasih di hadapan mereka. Shasa harus mati-matian untuk tidak terlalu terbawa perasaan karena ini.

“Ceritanya semacam cinta lama bersemi kembali. Begitu ‘kan? Aduh, ternyata kalian manis sekali, ya!” Mama Citra terkekeh geli sekaligus kagum.

“Sebenarnya kami agak khawatir kalau saja keluarga Adiran tahu keadaan Shasa. Puteri kami baru akan berkuliah dan belum memiliki kelebihan yang bisa membanggakan kalian. Kami takut mengecewakan kalian,” jelas Ami.

“Tidak, Bu! Saya justru senang karena ada yang mau sama putera kami. Adiran juga baru akan menyelesaikan kuliahnya. Tapi lepas dari itu, Adiran akan mengikuti papanya. Kami lebih khawatir karena Adiran adalah putera satu-satunya yang kami miliki. Dan kami ingin melihatnya berbahagia dengan pasangan pilihannya.”

Kepala Shasa mulai pening. Apa yang ditakutkannya semakin terlihat jelas di sini. Melihat bagaimana kedua orangtua Adiran semakin akrab dengan kedua orangtuanya, Shasa merasa bahwa hanya dirinya di sini yang merasa dihantui oleh ketakutannya sendiri.

“Masih nggak suka acar, ya?”

Shasa terkejut karena tiba-tiba Adiran menyendok kumpulan acar dari piringnya. Lelaki itu menatap lurus dirinya.

“Diran udah pernah bilang kalau acar itu bagus untuk daya tahan tubuh. Harusnya kalau lagi makan kayak gini acarnya dimakan. Itu juga bisa buat menetralisir pencernaan.” Adiran menjelaskan sebelum kemudian menyodorkan sedikit acar pada gadis itu, “Coba dimakan.”

Wajah Shasa sontak merengut memohon pada Adiran untuk tidak melakukan ini.

“Makan, Sha,” tapi Adiran tidak peduli. Titahan halusnya terdengar tak terbantah sehingga Shasa dengan pasrah membuka mulutnya, menerima suapannya. “Enak 'kan?”

“Nggak enak.”

Rengekan tanpa sadar dari Shasa berhasil mengundang tawa geli Adiran. Lelaki itu lantas menyendok satu potong dagingnya untuk kemudian menyuapnya ke mulut Shasa lagi. Dan Shasa menerima begitu saja.

Sepertinya Shasa sudah terkena hipnotis Adiran sehingga dia mau-mau saja diperlakukan seperti ini di hadapan orangtua mereka.

“Wah, Tante malah nggak pernah perhatiin kalau Shasa nggak suka acar. Adiran kok bisa tahu, ya?”

“Dulu Adiran pernah makan bareng Shasa. Adiran perhatiin kalau Shasa suka nyingkirin acar tiap mau makan.”

“Wah, Diran, Mama nggak nyangka kamu sampai segitunya perhatiin kebiasaan Shasa.”

“Kalau nggak begitu nanti Shasa malah nolak Adiran lagi.”

Mereka tertawa berkat celetuk Adiran. Kecuali Shasa yang sudah bungkam dihiasi rona memerah di wajahnya.

Shasa tidak menyangka bahwa Adiran masih mengingat hal-hal kecil seperti itu.

Bisakah Adiran tidak bersikap berlebihan begini? Selain membuat kebohongan ini semakin menipu orangtua mereka, Adiran justru membuat harapan yang selama ini Shasa anggap sudah musnah mulai terpancing sedikit demi sedikit.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel