Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[3] Little Touch

-flashback-

“Lagian, ini udah jam terakhir dan Pak Dirman nggak datang ke kelas. Jadi nggak masalah kalau lo pulang duluan, Sha.”

Shasa terduduk lesu di brangkar UKS bersama beberapa temannya. Hari ini, imunnya drop dan dia hampir jatuh pingsan kalau tidak segera dibawa kemari. Jadwal olahraga yang cukup berat dan tidak diimbangi dengan makan berat pula, membuatnya tumbang dan sekali lagi membuat teman-temannya panik.

“Maaf, ya, gue udah bikin kalian repot,” lirih Shasa tidak enak.

“Siapa yang nggak panik lihat lo jatuh kayak tadi? Untungnya aja baru sampai lantai dua. Gue udah ngeri kalau lo masih di tangga terus tumbang kayak tadi, gimana?”

“Lo pasti capek banget, ya? Emang sih, olahraga tadi gila banget. Marathon keliling komplek sekolah tiga kali, jelas lo nggak kuat. Gue aja mau muntah, tadi.”

“Benar! Tadi aja, gue mampir dulu ke warung belakang sana waktu putaran kedua. Nggak kuat banget! Tau gitu tadi gue bareng Shasa biar sekalian gue ajakin rehat di sana.”

Shasa hanya tersenyum lemah mengamati celotehan teman-temannya. Ada rasa haru di benaknya lantaran mereka masih peduli padanya. Padahal, entah sudah berapa kali mereka direpotkan oleh Shasa, tapi mereka rela menemaninya memulihkan diri di sini.

“Woy, Shasa! Siap-siap, gih! Oh, iya, udah dibuatin surat izin, belum?” Dian, gadis yang baru datang itu tampak terengah-engah sembari masuk mendekat.

“Lagi dibuatin sama Salma. Gimana? Ada yang mau?” sahut Dea lebih dulu.

“Oh, jelas ada! Tuh, orangnya nyusul di belakang gue!”

Setelah Dian berkata demikian dengan semangatnya, seseorang muncul dan ikut masuk ke dalam ruangan. Shasa bahkan tidak mau percaya kalau orang yang bahkan sudah membawakan tas miliknya itu kini tengah menatap lurus dirinya. Tak terbaca.

“Gue yang antar Shasa pulang,” ujar Adiran datar.

&&&

Kini, Shasa sudah duduk di ruang tengah. Bersama Nesya, Shesa, dan Ami—mamanya.

Setelah diantar pulang oleh Adiran, Ami jelas melihat wujud lelaki itu. Mereka berbincang sebentar sebelum akhirnya Adiran pamit pulang. Sepertinya lelaki itu tahu kalau Shasa akan diinterogasi setelah ini.

“Dia benar pacar kamu?”

Shasa mengangguk kaku untuk Ami. Wanita yang sudah terlihat berumur itu lantas bersedekap memandangi puterinya yang tampak menghindari tatapannya.

“Kok, nggak pernah cerita ke Mama? Bahkan mamanya Adiran udah tahu sampai kelihatannya udah akrab sekali sama kamu. Kamu pacaran diam-diam? Kenapa?”

“Shasa ngerasa hal kayak gini nggak perlu diceritakan, Ma.”

“Tapi kamu bersikap terbuka dengan mamanya Adiran.”

Shasa menggigit bibir sebelum memberanikan diri mendongak. “Shasa nggak mau bikin orang rumah khawatir. Selama ini, kalian selalu protektif sama Shasa dan Shasa nggak mau kalau kalian tahu soal ini, Shasa malah dilarang.”

“Kamu sendiri tahu kalau kita semua memang selalu khawatir karena keadaan kamu, Sha. Tapi bukan berarti kamu menyembunyikan hal ini.” Ami menghela napas cepat. “Bukannya melarang, tapi Mama akan lebih senang kalau kamu terbuka soal ini. Lagipula selama ini kamu selalu menurut jadi Mama nggak akan melarang selama itu nggak merugikan kamu.”

“Lagipula kita juga tahu pasti akan ada masanya kamu lakukan ini. Itu nggak masalah, asalkan kamu mau bicara kalau terjadi apa-apa,” imbuh Nesya. “Tapi yang bikin kita mulai cemas, mamanya Adiran tadi telepon ke Kakak dan bicara sama Mama.”

“A-apa?” Shasa mendelik bingung. “Bicara apa, memangnya?”

“Mamanya Adiran kayaknya udah memilih kamu. Dia senang sekali karena kamu berhubungan dengan Adiran.” Ami memijit pelipisnya. “Mama jadi bingung gimana caranya bilang soal ini ke Papa.”

“Kenapa harus bilang ke Papa? Nggak usah! Shasa ‘kan cuma pacaran sama Adiran!” Shasa langsung merasa bersalah. Dia terlalu panik sampai suaranya meninggi dan langsung mendapat tatapan menghakimi dari sang mama.

“Pacaran kalian itu udah serius di mata mamanya Adiran. Dia bahkan mau adakan pertemuan keluarga. Mama, Papa dan kamu harus hadir untuk bertemu dengan orangtua Adiran.”

“Kak Shasa kayaknya mau dilamar sama Kak Adiran, deh!”

“HAH?”

Mereka langsung menghujami Shasa dengan tatapan aneh. Bagaimana tidak? Melihatnya yang sampai berjengit saking kagetnya itu merupakan reaksi berlebihan menurut mereka.

“E-enggak mungkin! Mamanya Adiran nggak akan sampai ke sana!”

“Kenyataannya begitu. Kamu pikir pertemuan keluarga yang dimaksud itu apa kalau bukan untuk mempererat hubungan kamu dengan Adiran?” Nesya memicing curiga. “Memangnya kamu belum dengar ini dari Adiran langsung?”

Sayangnya tidak. Adiran tidak mengatakan apapun perihal ini. Saat di mobil tadi pun, mereka hanya saling bertukar informasi tanpa menyinggung soal rencana pertemuan ini. Bukankah itu berarti Adiran juga tidak tahu?

“Mama nggak tahu harus gimana. Jadi mungkin akan menunggu jawaban dari Papa.” Ami pun berdiri dari duduknya. “Kita bicarakan ini nanti. Sekarang, kalian beres-beres dulu.”

Shasa hanya menunduk pasrah. Kepalanya semakin terasa berat dan ketakutan semakin menggerayangi.

Mungkinkah ini firasat yang dimaksud tadi? Pertemuan keluarga yang sepertinya akan semakin membuat kebohongannya tak lagi menemukan kata berhenti.

*21st*

Baru saja selesai mandi dan masuk ke dalam kamar, ponselnya yang tergeletak di meja berdering panjang. Menerterakan nama kontak yang baru disimpannya itu tengah meneleponnya dan Shasa harus ketar-ketir sendiri.

Setelah memastikan Shesa belum masuk kemari—lagipula adiknya itu juga baru pergi mandi—Shasa pun mengangkat panggilan tersebut.

“Halo...?”

“Udah dengar kabar dari mama lo?” Adiran to the point. Yang mana segera Shasa pahami maksudnya.

“Soal pertemuan keluarga itu ‘kan...? Gue baru aja dikasih tahu.” Shasa menelan saliva. “Apa itu harus?”

“Kalau mama gue udah minta, gue nggak bisa nolak. Papa gue juga udah setuju.”

“A-Adiran...,” Shasa menggigit bibirnya. “Sebenarnya lo lagi ada masalah apa sampai kita harus begini...?”

Adiran tidak menjawab di seberang sana. Menyadarkan Shasa, bahwa sepertinya ada masalah serius menimpa Adiran namun lelaki itu tidak siap untuk menceritakan.

Dan itu semakin menakutinya.

“Gue ke rumah lo besok.”

“Ya? B-buat apa?”

“Ada titipan dari Mama buat lo.”

“Titipan?”

“Iya. Ditunggu aja. Gue datanng jam sepuluh. Jadi lo jangan sampai bangun kesiangan.”

Shasa hanya menggumam sebagai jawaban. Sadar bahwa Adiran tidak mau membahas soal itu dan Shasa terpaksa menyimpan kembali rasa penasarannya.

“Kabarin lagi besok, ya.”

“Hm. Sampai besok, Sha.”

Panggilan berakhir. Menyisakan Shasa yang harus menekan dadanya yang berdebar kencang. Perasaannya semakin kacau.

*21st*

Esok hari tiba. Shasa sudah berkutat di dapur membantu Ami memasak. Juga membuatkan minuman untuk tamunya yang baru saja datang.

Gelisah seakan sudah menjadi teman akrabnya sejak kemarin. Apalagi sekarang, Shasa harus menerima kenyataan bahwa Adiran sedang menghadap papanya di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi yang jelas, Shasa takut untuk mendengar sampai akhirnya dia berlama-lama di dapur.

“Nah, akhirnya datang juga!”

Shasa disambut oleh Joy—papanya—dengan semringah. Sebuah ekspresi yang tidak diharapkan Shasa sehingga dia sontak melirik Adiran yang hanya tersenyum menyambut kedatangannya.

“Saya justru kaget karena puteri saya ini punya pacar. Bahkan kamu yang jadi pacarnya. Astaga, kenapa rasanya dunia menjadi sempit sekali?”

“Saya juga nggak menyangka, Om. Sepertinya, Papa akan senang kalau tahu Om adalah papanya Shasa.”

Apa?

Apa yang sudah Shasa lewatkan?

“Kemari, Sayang, duduk sini.”

Joy seakan menyadari kecanggungan Shasa dan menarik puterinya agar duduk di sebelahnya. Lalu dia kembali mengobrol pada Adiran.

“Jadi, bagaimana keadaan Ridwan sekarang, Diran? Sudah membaik?”

“Sudah. Papa sudah pulang ke rumah dan sekarang masih beristirahat. Dokter bilang kalau ke depannya Papa nggak boleh lakukan kerja berat lagi. Apalagi, minggu depan Papa ingin mengikuti pertemuan kita, jadi Papa ingin beristirahat total supaya bisa pergi nanti.”

“Om tidak menyangka. Kami memang sudah lama sekali nggak berkabar. Om juga nggak tahu nomor kontaknya karena HP Om sudah ganti.”

“Nanti Diran kabari Papa dan minta buat hubungi Om. “

Shasa semakin kebingungan. Apa maksudnya ini? Papanya mengenal papanya Adiran? Bagaimana bisa? Apa karena hal ini maka papanya menjadi cepat akrab dengan Adiran?

“Ya sudah, karena Shasa sudah di sini, waktunya Om menyingkir dulu. Anggap saja ini rumah kamu sendiri. Kita nggak akan ganggu, palingan cuma mengawasi.”

Adiran tertawa pelan menanggapi candaan Joy. Dia mengangguk dan mengantar kepergian Joy dengan tatapan ramahnya. Di mana itu diperhatikan lekat oleh Shasa. Bagaimana lelaki itu tampak lepas berekspresi dan itu membuatnya takjub.

“Papanya Shasa ternyata kenal sama papa Diran. Katanya mereka teman akrab waktu SMA.”

Seakan tahu kebingungan yang bersarang di kepala Shasa, Adiran mengatakannya.

“Teman SMA?”

Adiran mengangguk. “Kebetulan banget, ya.”

Jadi karena itu, papanya terlihat begitu akrab dengan Adiran dengan mudah? Hanya karena papa mereka berteman?

Apakah ini pertanda baik atau buruk?

“Rambut Shasa masih basah.”

“Y-ya?”

“Sinian, dong.”

Shasa kehabisan ide. Apa yang tengah Adiran lakukan? Kenapa baik ekspresi hingga cara bicaranya terkesan berbeda? Bahkan, caranya memandang Shasa agak....

Adiran terkekeh. Lucu sekali melihat pipi yang sedang polos milik Shasa menunjukkan ronanya. Gadis itu tersipu malu dan itu malah terlihat menggemaskan.

“Lucu banget.”

“A-apanya yang lucu?”

Adiran hanya tersenyum sebelum akhirnya mengambil sesuatu di dekat sofa yang didudukinya. Menyerahkan sebuah bingkisan yang cukup besar pada Shasa.

“Nih, titipannya. Mama kasih pesan kalau Shasa harus pakai itu minggu depan nanti.”

“Emang ini apa?”

“Lihat aja nanti. Jangan dibuka sekarang. Soalnya Diran nggak mau Shasa ke-distract sama itu.”

Eh? Maksudnya?

“Mamanya Shasa nyuruh Diran tunggu di sini. Katanya Diran harus ikut makan bareng.” Adiran memeriksa arlojinya. “Tapi karena masih jam segini, mendingan kita ngapain?”

“Um..., nggak tau.”

Adiran menopang dagu dengan bertumpu pada lengan sofa. Menatap lurus-lurus Shasa.

“Apa Diran harus ngelihatin Shasa sampai jam makan siang nanti? Nggak apa-apa, sih, Diran mah bakalan betah-betah aja.”

Ada yang memanas di pipi Shasa seketika. Ya ampun, kenapa Adiran harus bersandiwara sampai seperti ini? Shasa tidak siap untuk mengimbangi cara lelaki itu berpura-pura.

“A-apa, sih? Nggak usah gombal gitu.”

“Gombal gimana? Diran serius, kok.”

Shasa merasakan jantungnya mencelus sampai ke dasar perut. Baiklah, Adiran sudah keterlaluan dan Shasa menyerah. Maka Shasa segera berdiri, berkata, “Shasa ambil camilan dulu, ya,” lalu berlari masuk ke dalam.

Meninggalkan Adiran yang tersenyum penuh arti mengantar langkah-langkah Shasa.

*21st*

Shasa pikir kedatangan Adiran di rumahnya hanya akan memakan waktu sebentar.

Tapi nyatanya, Adiran malah keasyikan bermain dengan adik laki-laki Shasa—Evan namanya—dan tanpa diduga mereka memiliki ketertarikan sama dengan playstation. Sedari tadi mereka berseru kesenangan di kamar anak laki-laki itu yang malah membuat Shasa terheran-heran.

“Kayaknya Evan udah nemuin lawan yang lebih tangguh daripada Kak Ello!” ujar Evan dengan bangganya begitu mereka selesai bermain karena Adiran hendak pamit pulang.

“Kalau gitu, kapan-kapan kita main lagi, ya.”

“Berarti Kak Diran harus sering-sering datang kemari. Siapa tahu kita bisa main bertiga sama Kak Ello nanti!”

“Oke, deh!”

Bukankah ini justru membuat Adiran menjadi lebih dekat dengan keluarga Shasa? Jadi sampai kapan dia harus berlakon menjadi pacar Adiran?

Firasat Shasa semakin tidak karuan kala menemui kemungkinan yang bisa terjadi dalam kurun waktu seminggu dari sekarang. Tepat ketika pertemuan keluarga itu akan terjadi nanti.

“Kakak lo yang namanya Ello kerja?”

Suara Adiran membuyarkan lamunan Shasa. Mereka sudah keluar dari rumah, Shasa mengantar Adiran menuju mobilnya yang diparkir agak jauh dari rumah. Dan Shasa menyadari, cara bicara lelaki itu sudah berubah.

“Iya. Dia kerja di stasiun TV. Jadi Minggu nggak selalu libur.”

“Kak Nesya?”

“Nginap di rumah temannya. Dari kemarin.”

Adiran mengangguk paham. “Ternyata benar, ya, lo lima bersaudara. Pantas aja rumah jadi kerasa ramai.”

Shasa hanya menggumam canggung. Setelah bertukar informasi kemarin, Shasa tahu kalau Adiran merupakan anak tunggal. Kini Shasa sedikit memaklumi betapa lelaki itu cukup menikmati waktunya berkumpul di rumahnya tadi.

Terlepas dari mereka yang tengah berpura-pura, sesungguhnya Shasa merasa senang karena Adiran begitu cepat akrab dengan para saudaranya. Namun di sisi lain, ini juga menakuti Shasa. Bagaimana kalau dia malah menjadi nyaman dengan keadaan ini? Keadaan pura-pura ini....

“Kak Shasa, awas!!”

Teriakan dari Shesa menyadarkan lamunan singkatnya. Namun Shasa terlambat menghindar. Beralih dengan tubuhnya ditarik kuat hingga jatuh ke dekapan tak terduga. Matanya segera membeliak kala wajahnya membentur pundak Adiran, dan merasakan tangan-tangan lelaki itu mendekap kuat dirinya.

“Sialan!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel