Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[2] Grilfriend

“Pacar?!”

Mama Adiran bahkan sampai terkaget-kaget. Memandang tidak percaya Shasa yang sama terkejutnya sebelum tiba-tiba bertepuk tangan antusias.

“Ya ampun! Ini pacar kamu yang sering dibicarakan?” wanita itu langsung semringah sembari memberi pelukan hangat. “Halo, Sayang! Ini mamanya Diran, panggil aja Tante Citra, ya!”

Untuk beberapa detik, Shasa hanya bisa mematung dengan pandangan kosong. Mencerna apa yang baru saja terjadi dan sangatlah jauh dari akal sehatnya. Apalagi ketika melirik ekspresi Adiran, lelaki itu malah hanya tersenyum paruh penuh tega.

Pacar?! Mereka bahkan baru bertemu setelah tiga tahun berpisah dan ini pun secara tidak sengaja! Apa yang sedang Adiran rencanakan?!

“Salam kenal, Tante ... saya Shasa,” tepat setelah Citra mengurai pelukan, Shasa mau tidak mau mengerahkan senyum ramahnya yang disambut penuh bahagia oleh wanita itu.

“Astaga, cantik sekali! Gimana kalian bisa ketemu? Teman magangnya Diran, ya? Wah, nggak disangka ada anak kantoran semanis ini!”

“Bu-bukan, Tante. Saya—”

“Teman SMA Diran dulu, Ma.” Adiran menyelamatkan. Berdiri di samping Shasa seakan memasang badan sebelum kembali berkata. “Interogasinya di tempat lain aja, ya. Mama terlalu heboh. Nggak enak sama pengunjung yang lain.”

Citra terkikik. Tanpa merasa bersalah, dia justru memukul pelan lengan puteranya itu sebelum kemudian menggandeng lengan Shasa. Entah menyadarinya atau tidak, perbuatannya malah membuat Shasa ketar-ketir dalam hati dan meminta pertolongan pada Adiran melalui tatapan.

Tapi sepertinya, Adiran tidak memiliki niatan untuk membantunya.

Situasi macam apa ini?!

“Teman SMA, ya? Kalian satu kampus?” Citra bertanya setelah mereka keluar dari toko buku itu.

“Enggak, Tante. Saya beda kampus sama Adiran.”

“Oh ya? Wah, gimana caranya kalian bisa ketemu lagi? Bahkan sampai pacaran begini?”

“Reuni, Ma. Diran ketemu lagi sama Shasa dari situ.”

“Langsung kamu deketin, ya? Bau-baunya ini kisah cinta lama bersemi kembali,” goda Citra antusias. “Jadi kamu kuliah di mana, Shasa?”

“Saya di UI, Tante. Baru mau kuliah.”

“Oh ya? Wah, hebat sekali! Masuk sana susah banget, lho! Diran aja sampai nyerah. Untungnya dia dapat beasiswa di Trisakti. Makanya bisa kuliah sampai tuntas. Sekarang dia lagi magang sambil nuntasin skripsi.”

Shasa tersenyum. Dalam hati merasa takjub setelah mendengar cerita Citra. Adiran sudah secepat itu? Kalau dihitung-hitung, ini bahkan baru mau masuk tahun ketiga dia berkuliah. Sudah bisa bekerja dan memulai skripsi?

“Jadi tiga tahun ini kamu ambil jeda, ya? Ambil kegiatan apa aja?”

“Saya ambil beberapa kerja paruh waktu, Tan—”

“Ma, nggak usah tanya-tanya kayak gitu.” Adiran menyela cepat. Membuat mamanya merengut tidak terima.

“Kenapa? Mama ‘kan mau tau pacar kamu kayak gimana. Shasa juga nggak keberatan!”

“Jawab bukan berarti nggak keberatan. Shasa bukan orang yang blak-blakan. Dia itu nggak enakan buat nolak orang.” Adiran lantas menarik Shasa agar lepas dari rangkulan mamanya. “Kalau Mama masih tanya yang aneh-aneh, ketemuannya sampai sini aja.”

Tidak tahukah Adiran bahwa tindakannya ini membuat Shasa menahan napas? Sebab tangan lelaki itu sudah melingkari pundaknya dan Shasa tidak siap dengan serangan ini!

“Huh, protektif! Nggak kayak biasanya kamu begitu. Sama yang dulu aja kamu nggak segininya,” cibir Citra sambil memalingkan wajah.

Yang dulu....

“Mama.”

Citra berdecak. Tahu bahwa itu merupakan teguran. “Iya, iya. Nggak Mama bahas! Oke? Jadi, sekarang kita mau pergi ke mana? Oh, sebentar! Kalian pasti sebenarnya udah janji ketemuan, ya? Aduh, harusnya Tante nggak perlu ikut kalau ternyata Diran mau jalan sama kamu, Sha.”

“Enggak kok, Tante! Ini, kita kebetulan ketemu aja. Hari ini saya jalan sama keluarga saya.” Berharap dengan begini, Shasa akan segera lepas dari situasi tak diinginkan ini dan pergi secepatnya.

“Oh, bagus, dong! Kita bisa sekalian ketemu sama keluarga Shasa di sini. Iya ‘kan, Diran?” Citra malah bertepuk tangan antusias. “Di mana keluarga kamu? Ayo kita ke sana!”

Habislah dia.

Tidak ada cara lain. Shasa harus mengatakan yang sebenarnya sebelum masalah ini berbuntut panjang. Masa bodo dengan Adiran. Shasa tidak mau berbohong terlalu lama.

“Maaf, Tante, sebenarnya saya bukan pa—”

“Kak Shasa!”

Panggilan yang entah apakah ini menyelamatkan Shasa atau malah akan membawa masalah lain. Sebab ketika adiknya yang akhirnya datang itu mendekat, Shasa bisa melihat sirat menyelidik bercampur curiga langsung dikerahkan olehnya.

“Kakak dihubungi susah banget. Untung aja belum pergi jauh dari tempat ketemuan! Sama siapa?” Shesa, adiknya yang baru berumur 15 tahun itu melirik Citra dan Adiran bergantian.

“Kamu pasti adiknya Shasa, ya?” serobot Citra. “Halo! Kenalkan, mamanya Adiran, pacarnya kakak kamu.”

“APA?”

“Pacar?!”

Shasa hanya bisa menunduk pasrah. Sepertinya sepulang dari sini, Shasa akan diinterogasi besar-besaran oleh seluruh anggota keluarganya.

*21st*

Kini mereka sudah duduk di salah satu restoran ternama di mall ini. Nesya—kakaknya—terlihat santai meladeni ocehan Citra. Wanita itu nampak semakin antusias bisa berbincang-bincang dengan kedua saudara Shasa. Apalagi Shesa yang memang mudah membawa topik pembicaraan meski tidak penting.

Mereka terlihat akrab dan itu semakin mengkhawatirkan Shasa.

“Shasa nggak pernah bilang kalau dia sedang menjalani hubungan. Jadi kita cukup kaget,” ucapan Nesya berhasil membuat Shasa semakin menunduk.

“Sama kayak Diran. Dia nggak bilang apa-apa. Tante juga baru tahu hari ini. Hebat sekali, ya, mereka ternyata backstreet.” Citra terkikik.

“Kalian pacaran berapa lama?” tanya Nesya dengan senyum ramah.

Tapi Shasa tahu, kakak sulungnya itu sedang mencoba mengorek informasi.

“Tiga bulan yang lalu. Itu belum termasuk kita lakukan pendekatan.” Adiran menjawab seraya menatap Shasa. Matanya seakan berkata agar Shasa setuju dengan jawaban itu. Dan Shasa segera mengangguk meyakinkan Nesya.

Tiga bulan? Mereka bahkan baru bertemu kurang dari tiga puluh menit yang lalu!

“Berarti selama kursus, Kak Shasa kencan diam-diam sama Kak Adiran, ya? Wah, ternyata Kak Shasa bisa PDKT juga sama cowok,” ujar Shesa sembari menaik-turunkan alis. “Kalian benar teman SMA? Jadi, ini kayak hubungan yang belum selesai gitu, ya? Waktu SMA, kalian sempat pacaran juga?”

“Shesa,” tegur Nesya sambil menyikut lengan adik bungsunya itu.

“Hehe! Shesa penasaran. Soalnya ‘kan, kita nggak pernah tau kalau Kak Shasa bisa pacaran. Apalagi waktu SMA, Kak Shasa jarang yang namanya pulang terlambat. Yang ada, kita serumah uring-uringan kalau Kak Shasa pulang lewat dari jam seharusnya.”

“Oh ya? Kayaknya kalian perhatian sekali sama Shasa, ya?”

“Iya, Tante. Soalnya ‘kan, Kak Shasa itu gampang jatuh sakit. Kita suka takut kalau dapat panggilan dari sekolah, pasti nggak jauh-jauh dari Kak Shasa yang jatuh ping—aduh!” Shesa harus mengusap lengannya yang baru saja mendapat cubitan dari Shasa. Bibir gadis belia itu langsung cemberut.

“Jatuh pingsan?” sayangnya Citra sudah mengerti. Matanya berpindah pada Shasa. “Semacam anemia, ya? Sekarang gimana keadaan kamu?”

“Udah baikan kok, Tante. Setelah berobat, saya jadi sering perhatikan keadaan tubuh saya. Setidaknya sedikit olahraga dan makan teratur.”

“Baguslah, kalau begitu! Kamu memang harus makan teratur. Badan kamu kelihatan kurus. Kesannya jadi kayak kamu nggak bahagia sama Diran,” celoteh Citra. “Diran, kamu juga sering-sering perhatikan Shasa, ya! Jagain pacar kamu kalau lagi jalan berdua!”

Adiran hanya mengangguk. Lalu matanya kembali bertamu pada Shasa. Mengamati gadis itu sempat tertawa akan guyonan Citra sebelum akhirnya tatapan mereka bertemu.

Senyum Shasa dipaksakan melebar. Meski dalam hati, dia harus menekan jantungnya yang terus berdebar ketakutan.

*21st*

“Kak Fira percaya nggak, sih, kalau cowok itu emang pacarnya Kak Shasa?”

Dua kakak-beradik itu sudah duduk di dalam mobil. Nesya menyetir dan Shesa duduk di sebelah, mulai berceloteh.

“Percaya nggak percaya. Kamu tahu sendiri kalau kakak kamu yang satu itu hampir nggak pernah interaksi sama orang luar.”

“Iya kan! Shesa juga bingung. Sejak kapan Kakak ada gelagat punya pacar? Padahal selama ini Kak Shasa lebih sibuk fangirling di kamar sama Shesa kalau lagi nganggur!” Shesa mengerut bingung. “Atau, mereka tuh memang jadian, tapi Kak Shasa nggak kelihatan aktif. Mungkin aja selama ini mereka lebih sering pacarana lewat chatting-an aja? Atau mungkin mereka sering ketemuan waktu Kak Shasa kursus.”

“Ya, bisa jadi.” Nesya memainkan roda kemudinya. Dengan mata menerawang.

“Tapi, kalau dilihat dari gelagat si Kak Adiran, kelihatan sih, kalau dia itu bersikap layaknya pacar Kak Shasa. Shesa perhatiin baik-baik kalau kakak itu hampir nggak pernah beralih natap Kak Shasa.”

“Oh ya?”

“Iya. Matanya itu lho, kayak ngelihat Kak Shasa penuh kagum gitu. Huh! Malah Shesa yang baper diam-diam! Tapi ya udah lah! Kalau emang mereka pacarana, Shesa dukung banget. Soalnya Kak Adiran juga ganteng banget, sih! Hihi!”

Nesya menyempatkan diri untuk menoyor kepala adik bungsunya itu. “Jangan kecentilan!”

“Ih, Kakak, mah!”

*21st*

Sulit dipercaya.

Shasa sudah duduk manis di dalam mobil bersama Adiran yang mengemudi di sebelahnya.

Setelah acara pertemuan tadi, mereka pun berpisah. Adiran mengatakan kalau dia akan mengantar Shasa pulang. Di mana itu membuat Citra kesenangan dan membiarkan mereka pergi berdua. Sedangkan Shasa harus menerima pesan chat dari Nesya agar dirinya tidak pulang malam.

Mobil yang ditumpanginya tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Ini bahkan masih di sekitar mall. Adiran sepertinya hanya berputar keluar dari area mall lalu melajukan mobilnya tanpa arah.

“Maaf. Gue terpaksa libatin lo ke masalah ini.” Adiran akhirnya bersuara.

“Kenapa tiba-tiba lo bilang begitu? Gue sama lo bahkan baru ketemu tadi.”

Adiran tampak menarik napas gusar. Barulah dia menengok keadaan Shasa. Gadis yang baru ditemuinya ini, terlihat gelisah dan bingung.

“Mungkin setelah ini, gue sama lo bakalan terus ketemu. Mama gue kelihatan udah suka sama lo, jadi udah dipastikan dia akan memperpanjang masalah ini.”

“Kenapa gue...?” Shasa tersenyum kecut. “Kalau yang lo maksud itu, gue harus jadi pacar pura-pura lo, kayaknya nggak bisa. Jadi, lebih baik sampai di sini aja, ya.”

“Tapi mama gue udah lihat lo. Dan dia menerima lo. Gue minta maaf, Sha, kita nggak bisa berhenti di sini.”

Kita....

Astaga, Sha, jangan berpikir berlebihan! Itu ‘kan kata yang umum diucap!

“Mungkin ke depannya, kita bakalan ketemu sampai ke keluarga. Jadi biar kompak, gue maupun lo harus tahu informasi satu sama lain.”

Tunggu sebentar. “Keluarga?”

Adiran terlihat menghela napas berat. “Gue lagi ada masalah sama Mama. Jadi, gue benar-benar minta maaf karena bakal melibatkan lo seterusnya.”

“A-apa itu masalah serius?”

“Ya. Cukup serius.”

Padahal sedari tadi Shasa tidak melihat ada yang janggal di antara Adiran dengan mamanya. Mereka bertindak layaknya ibu dan anak yang akur. Shasa berpikir, mungkin Adiran yang terlihat jengah itu karena mamanya terlalu menempel padanya dan terlalu memanjakannya.

Tapi, setelah Adiran berkata demikian barusan, ketenangan Shasa mulai menghilang.

Firasatnya mengatakan bahwa ini akan menjadi masalah yang besar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel