[1] Reunion
“Kak, Shasa di Gramedia, ya.”
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Shasa mengakhiri panggilan dan mulai melangkah masuk ke toko buku tersebut. Setelah mengurus pendaftaran ulang di kampusnya yang akan menjadi tempatnya berkuliah, Shasa bertandang kemari dan mamanya akan menyusul bersama kedua saudaranya.
Penantian yang begitu lama, akhirnya dia akan merasakan yang namanya berkuliah. Menginjak usia 20 tahun bahkan menuju ke-21, Shasa merasa sudah renta sekali karena baru memulai kuliah.
Yah, habisnya mau bagaimana lagi? Ketika dia lulus SMA, kondisi keuangan keluarganya belum stabil. Kak Ello sudah di semester akhir jadi Shasa memilih mengalah untuk rehat satu tahun agar kakaknya itu bisa meraih Sarjana. Lalu masih ada kedua adiknya yang masih bersekolah juga. Pengeluaran mereka banyak dan Shasa tidak mau menjadi beban tambahan.
Sepanjang rehat pun, Shasa mencari kegiatan entah menjadi pekerja paruh waktu atau sebatas volunteer. Sayangnya, Shasa tidak bisa bekerja penuh waktu. Tubuhnya yang memiliki imun lemah selalu merepotkan banyak orang. Alhasil, dia hanya bisa bekerja satu setengah tahun, kemudian berdiam diri di rumah sebelum akhirnya dia dibawa berobat sekaligus bimbingan untuk persiapan tes masuk universitas negeri.
Ya, Shasa diterima di universitas negeri ternama. Masih diingat bagaimana keluarganya langsung berteriak heboh seakan Shasa baru saja memenangkan sebuah undian besar.
Berbekal hasil terapi maupun berobat yang diharapkan memulihkan keadaan, tapi Shasa merasa tubuhnya lebih bugar dan sangat siap untuk menyambut masa kuliahnya. Terlebih kini, keadaan keluarga mereka sudah stabil setelah papanya diangkat menjadi General Manager di perusahaan hi-tech ternama di kota ini. Kak Ello juga sudah mendapat pekerjaan yang layak.
“Kenapa kamu repot-repot kuliah? Mama jodohin aja, gimana?”
“Mama! Jangan gitu, dong! Shasa juga harus punya title sebelum berpikir buat menikah! Memang Mama mau kalau Shasa diremehin mertua?”
“Hahaha! Iya, sih. Jelas Mama nggak mau anak Mama yang satu ini diremehkan. Tapi Mama selalu berdoa supaya kamu dapat laki-laki yang mau menerima dan menjaga kamu.”
Masih diingat perdebatan kecil dirinya dengan Mama. Tentu saja, Shasa ingin seperti teman-temannya yang sudah maju lebih dulu di luar sana. Setidaknya, Shasa ingin bisa memiliki pekerjaan tetap, menghabiskan masa mudanya dengan semestinya sebelum memikirkan yang namanya menikah!
“Aduh!”
Secara tidak sengaja Shasa menjatuhkan novel yang baru saja dipegangnya. Seperti biasa, kalau masuk ke toko buku, destinasinya adalah ke buku fiksi. Padahal seharusnya dia mencari peralatan untuk berkuliah nanti.
Tapi sepertinya niat untuk pindah dari tempat itu harus diurungnya. Ketika menegakkan tubuh, dia hampir menubruk seseorang yang sudah berada di sampingnya. Lalu tubuhnya mendadak kaku.
Wajahnya begitu mirip dengan lelaki yang cukup dia kenal di masa sekolahnya dulu. Bahkan masih Shasa ingat jelas. Tiga tahun berlalu dan tidak disangka kemunculannya membuat jantung Shasa langsung berdebar kencang secara ajaib.
Mana mungkin....
“Shasa?”
Bahkan suaranya masih tersimpan dengan baik di ingatan Shasa. Gila. Shasa bahkan sudah lupa wajah teman-teman sekolahnya dulu tetapi lelaki ini?
“A-Adiran...?”
Nama yang sudah lama tidak Shasa sebut. Hatinya bahkan berdesir hanya dengan mengeja nama yang pernah singgah di benaknya.
“Masih ingat gue, ternyata,” Adiran tersenyum kecil.
“Lo juga ... masih ingat gue,” gumam Shasa agak kaku.
“Iya. Soalnya muka lo gitu-gitu aja.” Adiran terkekeh sejenak. “Apa kabar?”
Gitu-gitu aja.
Jawaban yang terlalu abu-abu dan malah membuat Shasa kepikiran. Tapi segera dia tepis dengan menjawab, “Baik. Lo sendiri, apa kabar?”
“Baik juga. Lo sendirian?”
“Oh, enggak. Gue sama keluarga. Lagi pada nyusul ke sini. Lo, sendirian?”
“Enggak. Sama Mama.”
Wah, anak yang manis. Pasti Adiran tipe anak yang sayang sama Mama. Shasa hampir tersenyum geli kalau tidak melihat ada sirat tak nyaman kala Adiran menjawab demikian. Terlebih cara menjawabnya barusan seakan dia tidak merasa senang dengan itu.
Tapi satu hal lain yang membuat hati Shasa berdecak kagum; Adiran sudah menjadi lelaki dewasa. Perawakannya yang tegas semakin kental di postur tubuh juga lekuk wajahnya. Tinggi badannya juga kelihatannya bertambah. Teringat dulu kalau Shasa berdiri di sebelah Adiran, kepalanya masih sejajar dengan mata lelaki itu. Tapi sekarang, Shasa harus mendongak penuh untuk bisa melihat wajahnya.
Sepertinya, Adiran menjalani kehidupan selepas SMA dengan sangat baik. Mungkin, dia juga pasti sudah menggandeng pasangan.
Oh, benar juga, Shasa ingat ... Adiran memang sedang menjalani hubungan dengan seorang perempuan—
“Diran!”
Panggilan lain menginterupsi mereka. Menemukan wanita paruh baya yang tampak cantik dengan penampilan cukup modisnya. Dia bahkan langsung merangkul lengan Adiran dengan manja. Yang mana bisa Shasa lihat kalau itu membuat Adiran semakin tak nyaman.
“Ternyata di sini! Mama cari kamu di sampai ke depan BR, kok, nggak kelihatan?”
“Diran udah sempat chat Mama. Diran ke Gramed. Nungguin Mama ke toilet kelamaan.”
Wanita itu terkekeh lucu. “Maaf ya, Mama betulin make up dulu soalnya.” Barulah dia menaruh atensi pada Shasa. “Siapa dia, Diran? Kenalan kamu? Nggak mau kenalin ke Mama?”
Hampir saja Shasa memilih pamit undur diri kalau dia tetap diabaikan. Tapi ternyata wanita itu langsung memberi senyum ramah meski ada sorot menyelidik mengamati wujud Shasa.
“Namanya Shasa, Ma. Pacarnya Diran.”
Eh...?
Hah?!
PACAR?!
