Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

Bel pulang berbunyi nyaring, menandakan akhir jam pelajaran. Suara tersebut menjadi isyarat bagi siswa untuk segera meninggalkan kelas dan bersiap pulang.

Zaira bergegas membereskan buku yang berantakan di meja dan segera membersihkan kelas karena memang ia piket hari ini yang membuat dia menjadi terlambat pulang ke rumah tetapi ia tak masalah dengan hal itu walaupun tak balik juga orang tuanya tidak akan mencarinya kecuali kembarannya.

“Gue balik dulu ya, RENO! Jagain Ira, kalo sampe dia luka, abis lo sama gue,” ucap Natasya mengancam Reno teman kelasnya yang juga piket hari itu.

“Iya-iya santai aja, dikira gue buas kali,” ucapya sambil membersihkan papan tulis yang kotor.

Zaira tersenyum melihat mereka tanpa sadar Handphonenya berdering seperti ada yang menelponnya dan benar saja Farrel menelponnya, dan segera ia angkat.

“Halo kak, aku boleh minta tolong nggak?” ucap Farrel dari seberang sana.

“Minta tolong apa?” tanya Zaira dengan penasaran.

“Besok malam sekolah aku ada acara annivesary jam 7, ayah belum balik, jadi gue minta tolong buat anterin gue sampai di depan sekolahan aja pake motor lo, kalau bisa lo ikutan sama sekolah gue,” Ucap Farrel di telpon

Zaira mengernyit “emang bakal diizinin?”. Tanya Zaira yang tidak yakin ibunya bakal kasih izin

“Tenang, aku bakal minta izin sama ibu,” Jawab Farrel.

“Ya udah tapi kakak gak ikut, ya kali acara sekolah kamu masa kakak harus ikut,” Ucap Zaira

“Ya udah,” Ucap Farrel seraya mematikan teleponnya.

#

Setiap langkah pulang dari sekolah terasa berat bagi Zaira. Baginya, rumah bukanlah tempat beristirahat—melainkan seperti neraka yang membungkam tawa dan merantai kebebasan. Suasana rumah yang dipenuhi pertengkaran, tekanan, dan tuntutan membuat hatinya lelah sebelum sempat melepaskan seragam.

Namun, satu-satunya alasan yang membuatnya tetap melangkah pulang adalah Farrel—saudara kembar yang selalu menunggunya di balik pintu kamar mereka. Farrel adalah cahayanya di tengah gelap, pelindung sunyi yang memahami luka-luka tanpa perlu kata. Bersama, mereka menciptakan dunia kecil yang lebih hangat, tempat di mana mereka bisa tertawa, menangis, dan bermimpi tanpa takut.

Meski rumah terasa seperti neraka, kehadiran Farrel membuatnya percaya bahwa bahkan di tempat paling gelap pun, masih bisa ada cahaya.

Setelah sampai depan kamarnya, Zaira membuka pintu, tubuhnya langsung roboh ke atas kasur, seolah semua beban hari ini menumpuk jadi satu di pundaknya yang kecil. Tanpa melepas seragam, ia menatap langit-langit kamar dengan mata kosong, lalu perlahan mengangkat tangannya sendiri terlihat goresan merah yang mulai mengering di kulitnya. Setelah beberapa menit termenung, ia akhirnya bangkit dengan malas, menyeret langkah menuju kamar mandi. Air dingin mengalir membasahi tubuhnya, sejenak membawa kelegaan, seolah ingin mencuci bersih rasa lelah dan perih yang menempel sejak pagi. Tak ada suara, tak ada tangisan hanya keheningan yang menemaninya di bawah guyuran air. Selesai mandi, ia kembali ke kamarnya, mengganti pakaian tanpa semangat, lalu merebahkan diri ke kasur yang masih berantakan. Tanpa menyentuh ponsel, matanya perlahan terpejam. Tidur menjadi satu-satunya pelarian, tempat di mana dunia tak bisa menyakitinya untuk sementara waktu.

Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan tidurnya yang belum benar-benar dalam. Mata yang masih berat terbuka perlahan, lalu terdengar suara lembut namun tegas yang sangat dikenalnya Farrel, saudaranya. “kak, bangun… makan yuk kak,”. bisiknya dari balik pintu. Seketika perutnya terasa bergejolak, bukan karena lapar, tapi karena rasa enggan. Baginya, makan malam bukan momen keluarga yang hangat, melainkan sesi tegang yang penuh teguran, dan tatapan tajam dari sang ibu yang sulit mengerti dirinya. Namun, saat pintu terbuka sedikit dan wajah Farrel muncul dengan senyum menenangkan, Zaira tahu ia harus bangkit. Bukan karena ingin, tapi karena ada satu-satunya alasan yang selalu membuatnya kuat.

Saat makan malam mulai tenang, Farrel membuka suara lebih dulu, suaranya pelan namun terdengar jelas. “Ma, tadi diumumin hasil UTS... Aku dapat peringkat dua. Nilai rata-rataku 93,56,” katanya sambil tersenyum manis.

Maryam langsung menoleh dengan senyum mengembang. “Bagus, Farrel! Mama bangga. Kamu memang rajin, enggak nyusahin. Pasti kamu benar-benar usaha, ya” Farrel hanya tersenyum tipis, menoleh sebentar ke arah Zaira, yang masih diam di sampingnya.

Beberapa detik hening, sebelum Farrel kembali bicara—kali ini lebih hati-hati. “Tapi... Ma, kak Ira dapat peringkat satu loh. Nilainya 97,87.” Ia tahu kemampuan kembarannya jauh melampauinya. Ia tahu Zaira seharusnya yang duduk di sana menerima pujian, bukan dirinya.

Namun, ekspresi Maryam berubah drastis. Senyum memudar, tergantikan dengan wajah kaku yang penuh penilaian. “oh” ucapnyanya dingin, menatap Raya. “Jangan cepat puas. Nilai tinggi tapi sikap kamu ke Mama enggak pernah benar. Percuma dapat 97, kalau kelakuan kamu bikin sakit hati. Kamu pikir nilai kamu itu cukup buat nutupin semua?” Zaira menunduk, bibirnya bergetar menahan kata-kata yang tak berani keluar. Rasanya seperti ditampar di depan orang banyak, padahal hanya ada mereka bertiga.

Di sampingnya, Farrel menggenggam tangannya di bawah meja erat dan penuh kode diam. Sebuah isyarat kecil bahwa dia ada di sana, bahkan saat dunia seolah tidak berpihak.

Sendok Zaira hanya berputar-putar di piring tanpa menyentuh makanan. Hatinya seperti diremas. Kata-kata ibunya terus menggema. “Percuma nilai tinggi kalau sikapmu…” Kalimat itu menusuk lebih tajam daripada pisau.

Di setiap langkah menuju kamar, ucapan ibunya terus terngiang. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada bentakan. Baginya, rumah ini tak pernah terasa sebagai rumah. Pintu kamarnya menutup dengan pelan, tapi di dalam dadanya, perih itu berisik sekali.

Zaira menuju meja belajarnya ingin membaca beberapa materi besok, tetapi dia malah termenung melihat foto keluarga dia yang sudah 10 tahun, betapa bahagianya dia saat melihat dirinya 10 tahun lalu dan dia langsung beranjak dari bangkunya untuk pergi ke kamar Farrel sekedar mengobrol.

Zaira membuka pintu kamarnya yang tak tertutup rapat tanpa sepengetahuannya dan mengintipnya yang sedang menulis sesuatu. Sepertinya dia sedang belajar. Batinnya dan memustuskan untuk balik ke kamarnya kembali tapi tiba-tiba Maryam datang dan menarik tangannya yang luka.

“Ah...sakit Bu...” Zaira meringis kesakitan karena tangannya sedang di cengkram oleh Maryam membuat Farrel kaget dengan spontan dia langsung menyembunyikan bukunya dibawah laci dan menghampiri apa yang terjadi.

Farrel memisahkan tangan ibunya dengan kakanya yang sedang meringis kesakitan. “Sudah bu, kenapa ibu memarahi kak Ira?” tanyanya dengan raut wajah sedih.

Maryam langsung memegang pundak Farrel. “Maafin Ibu ya, sudah mengganggu waktu belajar mu. Karena kakak mu bukannya belajar malah ngintip kamu dari balik pintu jadi ibu hanya menegurnya supaya kamu bisa tenang,” ucap Maryam sambil mengusap kedua pundaknya.

“Sudah ya bu, aku mau bicara dengan kak Ira sebentar doang, lagian aku nggak keganggu kok,” ucap Farrel sembari melepaskan tangan Maryam dari kedua pundak dan langsung menuntun Zaira ke kamarnya.

Farrel membuka laci lemarinya dan mengambil sebuah kotak P3K.

“Maaf,” Satu kata yang keluar dari mulut Zaira melihat adiknya yang sedang mengobati lukanya ditangan karena merasa bersalah telah mengganggu adiknya

Farrel mengernyit. “Untuk?” tanyanya sambil mengoleskan salep dilengannya.

“Tadi,” Ucapnya dengan nada sendu.

Farrel beranjak untuk menaruh kota P3K di lemari.“Kenapa minta maaf, kakak nggak salah kok,” Ucap Farrel tersenyum hangat.

Zaira merasa tersentuh dengan adiknya, lalu ia langsung memeluknya. Zaira termenung dalam pelukan dan melihat baju olahraga yang digantung dilemari Farrel. “rel, kamu ada dua baju olahraga?” tanyanya setelah melepas pelukan.

“oh itu baju temen, aku tadi...pinjam...karena...baju sekolah ku basah,” ucapnya dengan senyum kaku.

Zaira mengernyit. “Kenapa basah?” yang membuat Farrel terdiam.

“Emm...itu...aku kepeleset di Toilet,” jawab Farrel kaku.

“Tapi ada yang luka nggak?”

Farrel menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak.”

Zaira menghela napas. “Ya udah, kakak mau ke kamar dulu,” ucapnya sebelum ia membalikkan badan. “makasih ya, udah salepin tangan kakak,” Ia pun melangkah keluar dan menutup pintu dengan hati-hati.

Di dalam kamarnya, Zaira duduk di meja belajarnya. Jemarinya baru saja menyentuh pinggiran buku yang rapat, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara. Tin. Mobil ayahnya baru saja berhenti di depan rumah. Dari balik jendela, ia melihat sang ayah turun gerakannya lambat, tapi cukup untuk membuat tangan gadis itu gemetar. Saat mata mereka bertemu, tubuhnya menegang. Tatapan itu masih sama seperti yang selama ini ia hindari. Dengan napas tercekat, ia buru-buru menutup tirai dan mengunci pintu kamar rapat-rapat dan Ia membenamkan diri di balik selimut, tubuhnya gemetar. Ingatan-ingatan lama menyeruak sekilas, tapi cukup tajam untuk membuat dadanya sesak dan trauma itu kembali mengendap di benaknya.

#

Seorang gadis SMP berdiri gemetar di sudut gudang, rambut panjangnya terurai berantakan, tatapannya dipenuhi rasa takut saat ayahnya menatapnya tajam—penuh intensitas yang membuat bulu kuduknya meremang, seolah ia adalah mangsa dalam pandangan pemangsa. Ayahnya mendekat dan menghirup lehernya dengan gairah, "Ibumu selalu menginginkan anak laki-laki… jadi kalau ayah menyentuhmu, sepertinya dia pura-pura tak melihat. Seolah-olah kamu tidak ada," bisik sang ayah yang membuat dia merinding dan semakin ketakutan.

“Ibu… hiks… tolong aku…” tangis gadis tersebut yang nyaris tak terdengar. Ketakutan merayap di sekujur tubuhnya, merasa terjebak dalam rumah yang seharusnya melindungi—namun malah melukai. Tiba-tiba, sang ibu muncul dari belakang yang membuat gadis itu merasa lega. Ibunya langsung mencengkeram kerah baju ayahnya, lalu menampar wajahnya dengan keras. "Mas, kamu ini gila?!" teriaknya dengan mata membelalak, hatinya terbakar cemburu sekaligus jijik—karena suaminya mengkhianatinya dengan darah daging mereka sendiri

“Kenapa?” Ucap sang ayah dengan polosnya.

"Dari sekian banyak perempuan di luar sana, kamu malah milih dia?!" seru sang ibu dengan suara penuh kemarahan, telunjuknya menuding dirinya tanpa ragu. Dunia gadis itu hancur dalam sekejap. Bukan pelukan atau pengertian yang ia terima, melainkan tatapan penuh tuduhan—seolah dirinyalah perusak segalanya.

Bukannya gentar, sang ayah malah menyeringai. "Terus, kamu mau apa?, pisah? sana, kalau berani. Tapi ingat, semua yang kamu punya uang, rumah, hidupmu datang dari aku," ucap sang ayah yang langsung keluar dari gudang tersebut, suaranya tenang namun menusuk. Istrinya menegang, wajahnya berubah kesal, dan tanpa berkata-kata ia melayangkan tatapan tajam pada anaknya sendiri. Tak ada pelukan, tak ada perlindungan yang ada hanya pengkhianatan diam-diam. Gadis itu pun sadar… ibunya tidak akan membelanya. Karena bagi sang ibu, mempertahankan suami jauh lebih penting daripada menyelamatkan anak dari kehancuran.

“ Dan kamu.” Sembari menunjuk dirinya. “Jangan pernah bilang apa-apa, walau ke saudara kembarmu,” ucap sang ibu dingin tanpa ekspresi, suaranya datar tapi berat seperti batu. Gadis itu menatapnya dengan harapan yang memudar, tapi yang didapat hanyalah tatapan kosong penuh penolakan.

“Kalau kamu berani, kamu sendiri yang rugi,” tambah ibu singkat, lalu berbalik, meninggalkannya dalam keheningan yang mencekam. Hati gadis itu remuk, bukan karena kata-kata yang panjang, tapi karena ketidakpedulian yang membekukan dari orang yang seharusnya melindunginya. Di situ, ia tahu: dia sendirian, terluka tanpa siapa pun yang mau mendengar atau membelanya.

Gadis tersebut terkulai lemas di lantai dengan suara isakan tangisnya yang terdengar halus dan menyakitkan. Matanya kini menatap sebuah tali tambang yang sedang mengikat benda supaya tidak runtuh membuat ia berpikir kalau suatu hubungan yang baik itu memiliki ikatan yang baik jika hubunganmu runtuh kemungkinan besar tali itu putus atau lepas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel