Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

Langkah kakinya terdengar pelan di lorong sekolah yang panjang. Dinding putih di sisi kanan dan kiri seakan memantulkan suara sepatunya yang berdecit. Sesekali ia menoleh cepat, memastikan tak ada sosok yang mengintai dari belakang. Udara di lorong terasa dingin, tapi telapak tangannya basah oleh keringat. Ia memeluk erat buku-bukunya, seolah itu bisa menjadi tameng. Setiap suara tawa dari kejauhan membuat jantungnya berdegup lebih kencang—takut kalau itu adalah tawa geng yang sering mengganggunya. Pandangannya tertuju ke lantai, berusaha tidak menarik perhatian, sambil berharap ia bisa sampai ke kelas tanpa ada yang menghadang.

Farrel melangkah masuk ke kelas, mencoba mengatur napas setelah perjalanan tegang di lorong tadi. Suara gaduh langsung menyambutnya kursi bergeser, tawa meledak, dan suara sepatu berlari di lantai keramik. Belum sempat ia duduk, suara itu datang.

“Eh, nih bocah dateng... mau kemana lo? Duduk? Lewat dulu lah, bayar tol!” Ucap Raka dari bangku belakang. Beberapa anak menoleh, ada yang ikut tertawa. Mahesa berdiri sambil menyambar tas Farrel, lalu mengaduk-aduk isinya di depan teman-teman.

“Wih, liat isinya... buku doang! Gila, hidup lo bosen banget,” katanya sambil melempar buku ke lantai.

Farrel membungkuk cepat untuk memungutnya, mencoba menahan getaran di tangannya. Saat ia hendak kembali duduk, Bayu menendang kaki kursinya pelan, membuatnya tersandung. Tawa kembali pecah. Farrel hanya diam. Pandangannya tertuju ke meja, mencoba mengabaikan panas yang merayap di wajahnya.

Tangannya sibuk mengumpulkan buku yang berserakan, sementara tawa teman-temannya masih menggema di telinga. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan, agar tidak perlu memperlihatkan wajahnya yang memerah. Di dalam hati, ia hanya berdoa bel cepat berbunyi.

Bel berbunyi semua murid langsung menuju ke tempat duduknya masing-masing. Akhirnya pak Budi datang dengan kertas hasil ulangan tengah semester yang mereka kerjakan dua minggu lalu. Pak budi adalah wali kelasnya yang mengajar mata pelajaran fisika.

“Pagi anak-anak,” Ucap pak Budi menyapa

“PAGI PAK,” Jawab anak-anak serentak.

“Baik anak-anak, bapak akan berikan kertas hasil ujian yang dua minggu lalu kalian kerjakan, bapak membagikannya sesuai peringkatnya ya, dari mulai peringkat pertama......hmmm Arumi Anindya dengan rata-rata 95,32,” Ucap pak Budi sembari memberikan kertas hasil ujiannya dan tepuk tangan para murid. Arumi mengibaskan rambutnya dan berjalan sangat angkuh.

“Peringkat kedua...Farrel Putra Raditya, dengan nilai rata-rata 93,56,” Ucap pak Budi dan tepuk tangan para murid kecuali para perundung di kursi belakang yang menatapnya dengan dingin.

Farrel melangkah pelan ke depan kelas ketika menyebut namanya sebagai peringkat 2. Kertas di tangannya bergetar ringan, entah karena gugup atau canggung tetapi mereka para perundung mentapnya dengan tajam, seperti menilai memangsa baru. Tangannya yang menggenggam kertas nilai berkeringat, tulisan angka-angka itu bergetar di matanya. Senyum tipisnya tidak bisa menutupi rasa takut saat ia kembali duduk. Ia tahu, tatapan dingin di belakang kelas bukan sekadar tatapan, itu janji ancaman.

“Peringkat ketiga...Alexandra, dengan rata-rata nilai 93,55,” Ucap pak guru serta tepuk tangan para murid.

“Oke anak-anak, kita sudah bagikan kertas hasil ujiannya semoga kalian puas...eh iya bapak lupa, besok malam ada acara di sekolah, pesta anivesary sekolah kita yang ke-50, semoga kalian datang ya, kurang lebih kita sampai jam 11, dan...besoknya diliburkan!” Ucap pak Budi semangat.

“YEY!” jawab anak-anak serentak dengan semangat.

“pastiakan kalian datang ya, kalau gak datang besoknya sekolah sendiri” Ucap pak Budi serta senda guraunya.

“IYA PAK” Jawab anak-anak semangat. Fikri tersenyum miring mendengar kabar berita yang baru disampaikan oleh pak Budi sehingga mereka tak sadar kalau Alexandra melihat dan menebak apa yang akan dilakukan oleh Fikri.

#

Bel istirahat baru saja berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Dengan semangat, Zaira segera membereskan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Wajahnya tampak ceria, seolah sudah tak sabar untuk keluar kelas. Ia menoleh ke arah Natasya yang duduk di bangku sebelah.

“Ke kantin yuk, gw laper,”Ucap Zaira sambil berdiri dan Rani mengangguk setuju.

“Yuk!” Jawabnya sambil beranjak bangun. Lalu mereka berjalan berdampingan keluar kelas, menyusuri koridor yang mulai ramai oleh siswa lain. Langkah mereka ringan, penuh semangat khas anak sekolah yang menantikan waktu istirahat untuk bercanda dan menikmati jajanan kantin favorit.

Setelah sampai mereka langsung mengantre tanpa pikir panjang. Begitu giliran mereka tiba, Zaira dan Natasya dengan sigap memesan makanan yang diinginkan. Setelah membayar, mereka membawa nampan masing-masing dan mencari tempat duduk kosong. Mereka menemukan bangku di pojok kantin, duduk berdampingan, mereka mulai menikmati makan siangnya. Suasana kantin yang ramai tak mengganggu kebersamaan mereka—justru menambah keceriaan di waktu istirahat itu.

“Eh iya, tadi pagi ceritanya gimana?” tanya Zaira sambil mengunyah makanannya.

“Oh, tadi tuh...” ucap Natasya menggantung.

Suasana kelas dipenuhi tepuk tangan ketika wali kelas mengumumkan peringkat pertama dalam daftar nilai semester ini.

“Dan peringkat pertama kali ini diraih oleh… Zaira, dengan rata-rata nilai 97,85,” Ucap pak bono dengan bangga.

Tepuk tangan pun menggema di seluruh ruangan. Namun di tengah kegembiraan itu, Natasya, hanya diam. Ia menoleh ke sisi bangkunya yang kosong. Zaira belum juga kembali sejak izin ke toilet tadi.

“Kenapa belum balik juga, ya…” gumam Natasya, bibirnya nyaris tak terdengar.

Baru saja ia hendak berdiri, BRAAAK! — suara kaca pecah yang keras dan mengejutkan terdengar dari arah kamar mandi perempuan. Suasana kelas langsung hening. Beberapa siswa berdiri kaget, sementara Natasya langsung merasa jantungnya jatuh ke perut.

Tanpa pikir panjang, Natasyai berlari keluar kelas, melewati kerumunan siswa yang mulai penasaran. Langkahnya panik, nafasnya memburu. Di dalam kepalanya hanya ada satu pikiran: Jangan-jangan itu Zaira...

“Ouh...tapi gue kalo habis pingsan yang sebentar kayak tadi, rasanya lebih plong gitu,” Ucap Zaira.

“Hah?, itu bukan pertama kali?” Tanya Natasya.

Zaira menggelengkan kepalanya. “Bukan, pertama kali tuh pas waktu masih kelas 9 SMP, makanya gue kalau udah ngerasa pusing dikit langsung ke toilet,” Ucap Zaira yang dijawab anggukan oleh Natasya.

#

Saat bel istirahat berbunyi dan siswa-siswi lain berhamburan ke kantin atau halaman sekolah, Farrel justru tetap duduk di bangkunya. Tangannya sibuk membuka buku catatan, matanya fokus membaca ulang materi pelajaran. Ia memang lebih suka memanfaatkan waktu istirahat untuk belajar daripada bermain. Namun, pilihan itu rupanya menarik perhatian yang salah. Tanpa disadari, Mahesa dan dua temannya, Guntur dan Raka, mendekat dengan senyum mengejek.

“Anjay belajar!” ejek Mahesa sambil menepuk keras meja Farrel.

Sebelum Farrel sempat merespons, ketiganya sudah menarik paksa lengannya. Ia berusaha melawan, tapi tubuhnya tak mampu mengimbangi kekuatan mereka. Mereka menyeretnya ke kamar mandi dengan tawa yang keras dan penuh ejekan.

“Biar pinter sekalian mandi air dingin!” ucap Guntur sambil membuka tutup bak air.

Dengan kasar, mereka menyiramkan air ke tubuh Raka berkali-kali. Seragamnya basah kuyup, wajahnya pucat, dan matanya menahan malu serta marah. Cacian seperti “anak mami,” “pengecut,” dan “bocah cengeng” terus keluar dari mulut mereka.

Air dingin mengalir menetes dari rambut ke wajahnya, menetes ke seragam yang berat. Farrel merapatkan giginya agar tidak terdengar gemetar. Dalam hati ia ingin berteriak, tapi suara itu hanya tersangkut di kerongkongan. Yang ada hanya suara tawa mereka yang membekas lebih lama daripada siraman air.

Namun tiba-tiba, terdengar langkah cepat mendekat. Pintu kamar mandi terbuka lebar, dan Alexandra muncul di ambang pintu. Sosoknya tegak, dengan mata tajam menatap Mahesa dan kawan-kawannya.

“WOI! lu pikir lu keren, ngeroyok satu orang?!” ucap Alex, nadanya tegas dan penuh keberanian.

“Lo siapa dia emang hah?, lo itu babu masyarakat,” ucap Fikri sambil tersenyum remeh dan menunjuk dadanya, dan langsung pergi dari toilet tersebut.

“Lo gapapa?” tanya Alex. Sambil melihat bajunya yang basah

“Gapapa,” jawab Farrel

“Tungguin sebentar, gue ngambil baju olahraga dulu di loker,” ucap Alex yang langsung beranjak berdiri dan keluar kamar mandi.

Di tengah basahnya seragam dan luka harga diri, Farrel merasa sedikit lebih hangat. Ia tak sendiri. Alexandra datang seperti pahlawan di saat yang paling ia butuhkan.

“Nih bajunya, langsung ganti, keburu bel masuk. Gue langsung ke kelas dulu ya,” ucap Alex yang langsung beranjak dan pergi.

Farrel menatap punggung Alexandra yang menjauh. Dalam hati kecilnya, ada rasa kagum bercampur lega. Jarang sekali ada orang yang berani melawan Fikri cs. Ia menggenggam erat baju olahraga yang baru diberikan, seperti menggenggam secuil keberanian yang bukan miliknya sendiri.

Farrel menatap dalam baju yag ia pegang dan beranjak dari lantai langsung masuk ke toilet untuk menggantinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel