BAB 4
Zaira tergelonjak kaget dari kasur dengan napasnya yang memburu. Ia sangat ketakutan oleh mimpi buruknya yang membuat dunianya seperti neraka. Zaira memutuskan bangkit dari kasur untuk siap-siap pergi ke sekolah. Ia dikejutkan lagi dengan kertas-kertas yang robek dberhamburan di lantai, dengan sigap ia membereskan kertas-kertas tersebut dan segera mandi.
Pantulan cermin menampilkan Zaira yang sedang melihat sendu, seolah melihat tubuh yang sangat kotor dengan sentuhan-sentuhan yang sangat menjijikan. Sesekali ia menyentuh lehernya bayangan itu terus kembali dengan jelas. Dia menampar-nampar lehernya dengan sekuat tenaga. Seolah jika kuat, sentuhan itu menghilang. Matanya memerah, bukan hanya karena tamparan, tapi karena air mata yang ia tahan mati-matian. Bibirnya bergetar, menggumam lirih yang hanya bisa ia dengar sendiri. “Aku kotor… aku nggak pantas…” Ucapannya hilang ditelan suara detik jam dinding.
Zaira melihat lehernya memerah yang dibuatnya sendiri, segera ia mengambil jaket dan menarik resletingnya sampai menutupi leher. Dengan spontan ia langsung menenteng tas dipundak kanannya.
Tiba-tiba Zaira mendengar suara ketukan di pintunya. “Kak, sarapan yuk?!” seru Farrel dari balik pintu.
Zaira menghembuskan napas dan membuka pintu kamar yang menampilkan seseorang sedang tersenyum hangat kepadanya dengan seragam SMA yang berbeda. Farrel menggapai tanganya. “Ayo turun kak,” Ucap Farrel sambil menuntun tangan kirinya dengan lembut.
Saat tiba di meja makan, ia melihat dari balik punggung adiknya, sang ibu tersenyum hangat pada Farrel. Senyum itu tak ditujukan padanya namun entah kenapa, hatinya ikut terasa hangat, seperti disentuh oleh cahaya yang nyaris padam.
Tapi kehangatan itu sekejap berubah menjadi dingin ketika ia menangkap tatapan ayahnya. Sebuah senyum miring bukan kebanggaan, bukan cinta melainkan sesuatu yang perlahan menghancurkannya dari dalam. Dunia yang sempat terasa utuh, kembali runtuh. Dan kali ini, benar-benar hancur sehancur-hancurnya.
Zaira melepas genggaman Farrel dari tangannya membuat adiknya menoleh. “Aku berangkat duluan ya?” ucapnya dengan suara pelan dan langsung bergegas pergi.
Tapi Farrel meraih tangannya tepat saat ia membalikkan tubuh. “Kak makan dulu. Nanti sakit perut loh,” ucapnya dengan sangat halus.
“Udahlah rel, kamu nggak usah repot-repot perhatian ke kakakmu, toh dia juga nggak akan mati,” Ucapan kejam yang keluar dari mulut sang ibu. Zaira menatap ibunya sendu dengan bola mata yang berkaca-kaca.
Zaira melepas genggaman Farrel ditangannya dan langsung beranjak pergi keluar tanpa sepatah katapun. Farrel hanya menatap punggungnya yang lama kelamaan menghilang dari pandangannya dengan mata tersendu.
Tatapan itu membekas sampai ke hati. Bahkan setelah ia sudah melewati pagar rumah, bayangan mata ibunya masih menempel, membuat dadanya semakin berat. Zaira menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa perih, tapi justru membuat matanya panas.
Di perjalanannya ke sekolah entah berapa kali ia menyeka air matanya yang terus-menerus turun tanpa henti untuk meredam kesedihan yang mendalam di hatinya.
#
Zaira duduk terpaku di bangkunya, tangannya memegangi perut yang sejak pagi terasa perih. Ia menundukkan kepala, menenggelamkan wajah di atas meja, berharap rasa sakit itu segera mereda. Dalam hatinya, ia berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Di luar kelas, suara riang anak-anak masih terdengar, membawa kehangatan yang tak bisa ia rasakan sepenuhnya. Tak lama kemudian, Natasya muncul di koridor dengan semangat seperti biasa, namun langkahnya terhenti begitu melihat sahabatnya itu dalam keadaan tak biasa. Hatinya langsung dipenuhi kekhawatiran.
Natasya segera menghampirinya. “Ira?, lo kenapa?” tanyanya dengan mengusap kepala Zaira.
“Gue laper,” ujarnya dengan cemberut.
“Oh...gue kira kenapa,” Natasya merogoh tasnya, “Nih gue ada roti,” Tambahnya sambil menyodorkan sebuah roti.
Zaira langsung mengambil rotinya. “Makasih ya, makanannya,” ucapnya sembari membuka bungkusan rotinya.
Natasya langsung duduk di kursinya. “Lo emang nggak sarapan dulu?” tanyanya.
Zaira terhenti memakan rotinya ia mengingat ayahnya menatapnya penuh intens. Natasya menyadari perubahan wajah Zaira. “Hmm...Ra, nanti pulang sekolah, ada waktu nggak?” tanya Natasya untuk mengganti topik karena takut menyinggungnya
“Rumah yang seharusnya menjadi pelindung bagi kita,” Zaira berhenti sejenak, menatap langit dari jendela disampingya. “Malah menjadi sumber penyakit yang sesungguhnya,” Ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Ia langsung menyeka air matanya yang hampir menetes dan menoleh kearah Natasya. “Apa?, tadi lo ngomong apa?” tanyanya.
Natasya tersenyum hangat kepadanya. “Lo nanti ada waktu Nggak pulang sekolah?” tanyanya.
Zaira termenung. “Kayaknya nggak bisa. Maaf ya?” ucap Zaira yang teringat punya janji kepada Farrel.
“Iya gapapa,” Ucapnya sebelum bel berbunyi.
#
Di dalam kelas Farrel, anak-anak tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing berceloteh riang, bercanda, dan menjalani aktivitas seperti biasa. Namun, Farrel hanya duduk diam di bangkunya, tenggelam dalam sebuah buku di meja, seolah-olah tempat itu adalah kastil sunyi yang nyaman. Lembar demi lembar ia buka, tak menghiraukan di sekitarnya. Tapi ketenangan itu runtuh seketika saat Fikri masuk bersama teman-temannya. Tubuh Farrel langsung gemetar, seolah udara di dalam kelas berubah menjadi dingin dan mengancam.
Fikri menghampirinya. “Selamat pagi Farrel Putra buku,” Sapanya dengan mengejek namanya menjadi putra buku. Farrel mendongak sebentar melihat wajahnya yang begitu kejam.
Fikri memegang kedua pundaknya yang seolah-olah memijat melainkan menyakitinya yang membuat Farrel meringis kesakitan. “Nanti jam istirahat ker rooftop ya? Sebentar aja kok,” ujar Fikri dengan melepas tangannya dan langsung menuju ke bangkunnya.
Setelah jam pelajaran selesai yang menandakan waktu jam istirahat, Farrel berjalan menuju rooftop dengan jantung yang berdegup kencang, entah apa yang dilakukan mereka kepadanya tapi yang pasti ini bukan hal baik.
Langkah kakinya terhenti melihat Fikri dan teman-temannya yang sedang merokok. “Fik, tuh bocah dah nyampe,” Tegur raka sembari menepuk pundak Fikri yang sedang melihat keramaian dibawah.
Fikri langsung berbalik dan melangkah mendekat, hingga ia mundur perlahan. “Lo nanti tau kan, nanti malem bakal ada acara?” tanyanya dengan mengisap sebuah rokok.
“I-iya, emang kenapa?” tanya Farrel dengan sangat kaku.
“Nanti bawain kita makanan ya?, kan Farrel banyak duit jadi nggak masalah dong kalu traktir kita makanan, hmm?” tanya Fikri dengan lembut tapi menusuk mental.
“Gue mau sosis Kenzler yang pedes,”sahut bayu di belakang.
Raka memukul kepala Bayu. “kalo mesen tuh jangan nanggung-nagggung,” Ucapnya.
“Kami mau kripik balado cristine hakim yang ori dari padang,” ucap raka sambil mengangkat tangannya.
Fikri tersenyum. “Jangan dengerin dia, beli apa aja asal jangan nggak bawa apa-apa. Kalo lo nggak bawa apa-apa gue buat lo lebuh tersiksa,” Ucapnya mengancam.
“Ngerti?” tanyanya dengan menghembuskan asap rokok ke wajahnya.
Farrel menganggukan kepalanya dengan keringat yang terus mengalir didahinya dan jantung yang berdegup kencang.
“ngerti nggak?!” tanyanya sekali lagi dengan meninggikan suaranya ynag membuat ia semakin menciut didepannya.
Farrel menganggukan kepalanya. “I-iya,” Jawabnya dengan sangat gugup dan gemeteran disekujur tubuhnya.
Fikri menggapai tangannya dengan spontan ia menyodorkan puntung rokok ke tangannya yang membuat meringis kesakitan. Farrel berusaha melepaskan tangan Fikri yang terus menekan puntung rokok tersebut sampai bara apinya menghilang membuat tangannya menjadi melepuh.
Fikri menendang Farrel sampai tersungkur di tanah. “Dah sono!,” Usinya dengan begitu kasar.
Farrel beranjak bangun dan langsung membalikkan badannya. “Tunggu!,” Sahut Fikri yang membuat langkah dia terhenti.
Farrel membalikkan badannya. “Nanti malem, temuin kita di ruang kosong di samping toilet lantai 3,” Ucap Fikri untuk memberitahu dimana ia harus menemuinnya.
Saat langkah kakinya meninggalkan atap sekolah, Farrel menunduk dalam-dalam. Setiap anak tangga terasa lebih berat, seperti menuruni jurang yang tak ada dasarnya. Tangannya masih terasa perih karena puntung rokok, namun jauh lebih sakit adalah rasa takut yang terus menghantui pikirannya. Tanpa disadari ada orang yang mendengar percakapan mereka.
