
Ringkasan
Zaira Ratu Maheswara hidup di tengah keluarga yang timpang kasih sayang. Kembarannya, Farrel Putra Maharaja, selalu jadi kebanggaan orang tua, sementara dirinya hanya dianggap bayangan. Di sekolah, Zaira dikenal pintar dan cantik, tapi di balik itu ia menyimpan luka batin dan rahasia kelam tentang keluarganya. Farrel, adiknya, juga bukan tanpa beban. Di balik prestasi dan keceriaannya, ia menjadi korban perundungan yang semakin hari semakin brutal. Zaira berusaha kuat, tapi justru terlambat menyadari bahwa Farrel selama ini berjuang sendirian. Ketika tragedi merenggut satu-satunya cahaya dalam hidupnya, dunia Zaira runtuh. Ia harus menghadapi kebenaran pahit: cinta keluarga yang tak pernah ia dapatkan, pengkhianatan yang menorehkan luka terdalam, dan misteri di balik kematian adiknya yang tak sesederhana bunuh diri. Novel ini adalah kisah tentang luka keluarga, bullying, pengkhianatan, dan perjuangan seorang gadis menemukan arti bertahan hidup ketika dunia sudah tidak berpihak padanya.
PROLOG
Malam itu begitu menusuk tulang. Angin malam berhembus dingin hingga bulu kuduk siapa pun yang merasakannya berdiri. Sekolah HSS tampak lebih hidup dari biasanya, lampu-lampu sorot berwarna-warni menari di udara, musik menggema dari panggung utama. Malam ini adalah perayaan anniversary sekolah yang ke-53.
Suasananya ramai. Siswa-siswi berkumpul dalam kelompok kecil—ada yang bercanda sambil tertawa lepas, ada yang mengobrol serius sambil menyeruput minuman, bahkan ada pula yang berduaan di sudut gelap, memanfaatkan momen pesta sebagai ajang kemesraan. Bagi sebagian besar orang, pesta ini adalah malam yang ditunggu-tunggu. Malam di mana semua tekanan sekolah, tugas, dan aturan dilepaskan untuk sementara.
Namun, di balik gemerlap itu, ada satu jiwa yang tak merasakan kebahagiaan sama sekali. Farrel.
Ia bukan bagian dari tawa itu. Justru di malam yang seharusnya penuh sukacita ini, ia menjadi sasaran permainan paling kejam dari teman-temannya.
“Dasar pecundang!” teriak salah satu dari mereka sambil mendorong Farrel ke dinding.
Tawa mereka menggema seperti jeritan iblis, memenuhi ruangan kosong di lantai tiga.
Beberapa dari mereka menendang perut dan punggungnya, ada yang memukul bahunya dengan balok kayu kecil yang entah darimana mereka dapatkan. Setiap pukulan membuat tubuh Farrel meringkuk kesakitan, setiap hinaan menusuk lebih dalam dari sekadar luka fisik.
“Ngapain sih lo hidup? Cuma bikin malu doang!” ejek yang lain, diikuti derai tawa menjijikkan.
Farrel mencoba menahan tangisnya, tapi matanya tetap basah. Tubuhnya lemas, terhuyung lalu jatuh ke lantai berdebu. Nafasnya berat, seperti setiap tarikan napas adalah perjuangan. Yang tersisa hanyalah rasa sakit—di tubuh, dan terutama di hatinya.
Mereka meninggalkannya begitu saja, terbahak-bahak saat keluar ruangan, seakan penderitaannya adalah hiburan yang mengasyikkan. Pintu tertutup, menyisakan keheningan. Ruangan kosong itu terasa semakin mencekam. Hanya ada Farrel yang tergeletak, tubuhnya bergetar menahan sakit, wajahnya sembab oleh air mata.
Ia menatap langit-langit ruangan, berusaha mencari sesuatu untuk menggantungkan harapan. Tapi yang ia temukan hanya kehampaan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara yang bisa menenangkannya. Hatinya pun kosong, seakan tak ada lagi alasan untuk tetap bertahan.
Saat itulah ia berusaha bangkit sekuat tenaga dengan sekujur tubuh yang terasa menyakitkan, sampai tiba-tiba...
BRAK!!
Suara pintu yang dibobrak dari arah depan membuat Farrel tersentak, tubuhnya refleks kembali ke posisi semula. Sosok berjaket abu-abu masuk dengan langkah berat. Ia menarik turun masker yang menutupi wajahnya, dan seketika Farrel tergelincir kaget—matanya membesar, napas tercekat. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, orang itu melesat maju, menendang tepat ke pelipisnya. Pandangannya berputar, dunia menggelap, lalu semuanya lenyap dalam sekejap.
