BAB 1
“Aku lahir bersamaan dengan adikku Farrel Putra Maharaja, dengan kata lain kami adalah kembar tidak Identik. Farrel lahir dengan dewa keberuntungan yang selalu bersamanya, aku sangat bersyukur mengenai hal itu walau tidak dengan diriku, karena farrel adalah salah satu sebab aku ingin hidup.” Zaira
Matahari pagi menembus tirai tipis, memantulkan cahaya lembut ke meja makan. Uap dari teh manis masih mengepul, berpadu dengan aroma roti bakar dan telur mata sapi. Rendi atau biasa dipanggil oleh anaknya adalah Ayah, duduk dengan Handphone digenggamannya sesekali menyeruput kopi panas. Maryam atau Ibunya mondar-mandir dari dapur, menambahkan irisan tomat ke piring Farrel, sambil terseyum hangat medengar celotehnya tentang pertandingan bola semalam. Farrel makan lahap, sesekali tertawa. Diujung meja, Zaira duduk dengan tatapan kosong, mengaduk-aduk bubur ayamnya yang mulai dingin. Suara sendoknya beradu pelan dengan mangkuk, kalah oleh riuh percakapan antara ayah, ibu, dan Farrel. Meski duduk bersama, ia merasa seperti tamu yangg tak diundang di meja itu. Diluar jendela, terdengar kicau burung, tapi di hati Zaira hanya ada sunyi yang menggatung.
“Aku berangkat,” Ucap Zaira yang beranjak dari tempat duduknya membuat tiga orang didepannya menatap dengan tatapan aneh, sinis bahkan ada yang menatap dengan harapan. Farrel menggapai tangan kakanya yang begitu amat lembut.
“Kak, gk mau berangkat sesekali aja sama aku?” ucapnya dengan tatapan berharap.
Zaira menatap mata Ibunya bagaikan laser yang menghantam hatinya begitu keras. “Gk ah, kan juga beda sekolah. Lagian kalo naik motor juga seru adem kena angin pagi-pagi.” ucap Zaira sambil berjalan keluar ruangan.
Begitu keluar rumah, udara pagi langsung menyergap wajahnya. Suara motor tetangga yang baru dinyalakan bercampur dengan teriakan anak-anak kecil yang berlarian menuju warung. Zaira menarik napas panjang, berharap angin pagi mampu mendinginkan dadanya yang terasa sesak sejak tadi.
Zaira dan Farrel berbeda sekolah setelah mereka bersama di SMP. Farrel ditempatkan disekolah terbaik yang mendapatkan peringkat ke 5 nasional HIGH SCHOOL SMART, orang-orang menyebut dengan singkatan HSS, sedangkan Zaira ditempatkan di sekolah SMA QUALITY yang tak kalah juga dengan HSS. Farrel memiliki kulit yang putih dengan rambutnya yang sealis. Sedangkan Zaira tak kalah putih dan memiliki tubuh yang sedikit pendek dari adiknya dengan rambut lurusnya yang sebahu.
#
Lorong sekolah itu dipenuhi cahaya matahari yang masuk lewat jendela besar di sisi kanan. Derap langkah kaki bercampur riuh suara tawa para murid yang bercengkrama, saling melempar candaan, dan bercakap hangat. Beberapa siswa bersandar di loker, sebagian lagi duduk di lantai sambil berbagi camilan. Di tengah keramaian itu, Zaira berjalan perlahan, langkahnya menyusuri lorong seakan terpisah dari keriuhan di sekeliling. Matanya hanya menatap lurus ke depan, sementara gelombang tawa dan keceriaan murid-murid lain mengalun seperti musik yang tidak ia ikuti iramanya.
Suara sepatu hak seorang guru terdengar cepat menghentak lantai, bercampur dengan tawa murid-murid yang berlarian. Zaira melirik kaca jendela besar di samping lorong bayangannya sendiri tampak begitu asing, seakan ia sedang melihat orang lain.
“IRA!” suara lantang menggema, memanggilnya di antara kerumunan. Zaira menoleh melihat siswi yang sedang lari menuju ke arahnya dengan kardigan dan tas berwarna pink tidak lain adalah Natasya teman sebangkunya yang celotehnya hampir setara dengan ibu-ibu yang menceramahi anak-anaknya yang bandel. Tapi dia sudah biasa dengan kelakuannya mau bagaimana pun Natasya adalah teman baiknya.
Natasya langsung menggandeng tangan Zaira. “Ra, lu udah ngerjain tugas Pak bono belum?” tanyanya.
“Udah, emang kenapa?” jawab Zaira.
Natasya menyengir. “Hehe, liat dong....susah banget sumpah gw udah berusaha tapi yaa otak gw gk nyampe,” ucapnya sembari menggandeng tangan Zaira yang ditutupi jaket biru.
“Ya sabar, ini kita masih jalan,” jawabnya.
Mereka sampai di kelas XI IPA 1, dimana kelas tersebut adalah kelas yang memiliki persaingan nilai yag sangat ketat. Zaira dan Natasya berjalan menuju meja mereka yang posisinya barisan pertama dari sebelah kiri dekat jendela dan barisan kedua dari depan guru.
“Mana?” tanya Natasya sambil mengulurkan tangannya.
Tiba-tiba Zaira tersenyum Jail “Tapi ada syaratnya,” ucap Zaira. Wajah Natasya berubah drastis menjadi cemberut.
“Apa?” tanya Natasya dengan raut masam.
“Bilang cantik dulu,” ucap Zaira sembari tersenyum membuat Natasya menghela napas pasrah.
“Zaira Ratu Maheswara yang CANTIK, boleh tidak Natasya yang imut ini meminjam buku matematika kamu,” ucap Natasya sembari eskspresi imut yang dibuat-buat. Walaupun sebenarnya memang Zaira adalah salah satu yang tercantik di sekolahnya bahkan .
“Hehe, nih,” ucapnya sambil terkekeh dan mengulurkan tangannya.
Zaira membuka bukunya perlahan, aroma kertas yang lama menemaninya sesaat. Di luar kelas, suara burung gereja terdengar riuh, tapi justru membuat kepalanya semakin pening.
“Gw ke toilet dulu ya,” ucapnya memberitahu Natasya. Dan langsung buru-buru beranjak pergi keluar kelas.
“Eh tapi lu masih nenteng tas,” Ucap Natasya yang tak sempat memberitahunya.
Langkah kakinya tergesa, hampir berlari menembus lorong di sekolah. Nafasnya terasa berat, keningnya berdenyut nyeri. Ia merapatkan genggamanya pada tasnya sambil menahan rasa mual yang mulai menyerang. Begitu pintu toilet terbuka, ia segera masuk dan berdiri di depan westafel. Tangan gemetarnya memutar keran, membiarkan air mengalir deras. Tanpa pikir panjang, ia membasuh wajahnya berulang kali. Namun, baru saja ia mengangkat wajah dari genangan air yang menetes didagu, rasa berputar itu kembali mengahantam. Pandangannya mulai mengabur, membuat langkahnya goyah. Ia berpegangan pada pinggiran wastafel, mencoba menstabilkan diri, tapi tubuhnya terasa semakin lemas. Dengan sisa tenaga, ia menyeret kaki menuju bilik toilet terdekat. Pintu digedor pelan agar tertutup rapat, lalu ia menjatuhkan diri di dudukan toilet. Nafasnya tersengal, keningnya berdenyut, dan telinganya berdengung. Dunia di sekitarnya terasa semakin jauh… hingga akhirnya kelopak matanya terpejam, dan tubuhnya terkulai tak bergerak di dalam toilet yang sunyi.
Zaira tergelonjak kaget mendengar suara ketukan pintu kamar mandi dan mendengar ada yang memanggilnya
“RA, IRA, IRA!” suara Natasya sambil mengetuk pintu toilet.
Cklek
“Kenapa?” Tanya Zaira setelah keluar dari toilet dengan raut muka polos.
Natasya memutar tubuh Zaira.“Lo gapapa, ada yang luka gak?” Tanyanya dengan memegang kedua pipi Zaira.
Zaira langsung menyembunyikan tanganya yang terluka entah kenapa, agar Natasya tidak terlalu khawatir “gapapa kok, cuma pingsan sebentar di toilet, emang kenapa?”, “hah, itu kenapa kaca bisa pecah?!” Sambarnya dengan raut wajah yang terkejut.
“Nanti istirahat gw ceritain, ke kelas yuk udah masuk,” Ucap Natasya sambil menggandeng tangan Zaira dan keluar dari kerumunan yang berkumpul di depan toilet.
