Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB: 3. DARAH DAN JANJI.

Bab 3: Darah dan Janji

Langit lembah mulai memucat ketika cahaya dari liontin Ratri perlahan meredup. Di hadapannya, gerbang batu yang semula tertutup rapat kini terbuka sedikit, memperlihatkan kabut berwarna ungu pekat yang berputar perlahan di baliknya, seperti pusaran dunia lain yang tak pernah tersentuh manusia biasa.

Ratri berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena sesuatu di dalam dirinya baru saja terbuka. Sejak menyentuhkan liontin itu ke batu segel, ia merasakan perubahan. Napasnya menjadi berat, telapak tangannya menyala dalam rona perak samar, dan detak jantungnya seperti mengikuti ritme asing dari dalam gerbang.

“Asraka…” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Siluman ular itu berdiri di sampingnya, dalam wujud manusia. Mata merahnya mengawasi kabut dari gerbang tanpa berkedip. “Gerbang telah menerima darahmu. Tapi ini baru permulaan.”

Ratri menoleh, napasnya terengah. “Apa yang terjadi padaku? Aku merasa... berbeda.”

Asraka menyentuh punggung tangannya. “Karena kau telah menjadi bagian dari dunia kami. Darahmu telah terikat dengan batas antara dunia manusia dan dunia siluman. Kini, kau bukan hanya manusia... tapi juga penjaga.”

Perlahan, Ratri menjatuhkan diri ke tanah, meremas rumput basah di sekelilingnya. Suara-suara di kepalanya belum hilang. Ia mendengar bisikan yang bukan berasal dari Asraka—bisikan dari entitas-entitas lain di balik gerbang, suara-suara yang memanggil namanya dalam berbagai bahasa dan nada.

“Kenapa mereka memanggilku?”

“Mereka mencium kekuatanmu,” jawab Asraka. “Dunia siluman penuh dengan makhluk yang haus kebebasan. Sebagian akan memujamu. Sebagian akan memburumu.”

Ratri memejamkan mata. Ketika ia membukanya, pandangannya tak lagi sama. Ia bisa melihat jalur-jalur energi di sekelilingnya, cahaya samar yang membentuk pola seperti urat nadi bumi. Ia menatap tangannya sendiri—uratnya menyala seperti tali perak bercahaya.

“Apa ini... kekuatanku?”

Asraka mengangguk. “Kekuatan yang diwariskan padamu oleh leluhurmu. Tapi itu baru sebagian kecil. Untuk menguasainya, kau harus melewati Ujian Penjaga.”

“Ujian?”

“Gerbang akan membukakan jalur ke tanah leluhur—tempat di mana semua penjaga dilahirkan kembali. Di sana, kau akan diuji. Tidak hanya oleh kekuatan luar, tapi oleh bayangan dalam dirimu sendiri.”

Ratri berdiri, tubuhnya masih terasa ringan, seolah udara yang ia hirup mengandung energi murni. Ia menatap gerbang itu, dan untuk pertama kalinya, tak ada rasa takut.

“Aku siap.”

---

Mereka memasuki gerbang saat malam sepenuhnya menelan langit. Cahaya di dalam lorong tidak berasal dari api, melainkan dari akar-akar bercahaya yang menjuntai dari langit-langit. Langkah mereka terpantul di permukaan tanah yang lembap namun kokoh.

“Tempat ini... seperti hidup,” gumam Ratri.

“Karena ini bukan tempat biasa,” jawab Asraka. “Ini adalah perut dunia. Tempat di mana jiwa terlahir dan kembali.”

Di ujung lorong, mereka tiba di sebuah pelataran luas dengan batu-batu bulat yang membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran, berdiri sebuah altar dengan mangkuk batu besar yang berisi air bening, tapi jika ditatap dalam, tampak seperti memantulkan langit malam dan bintang-bintang yang tidak dikenal.

“Letakkan tanganmu di atas altar,” kata Asraka.

Ratri melangkah mendekat. Ia menatap refleksinya di air: matanya sendiri memantulkan rona cahaya perak, dan wajahnya tampak berbeda—lebih dewasa, lebih tegas. Ia menaruh tangannya di permukaan air. Segera, air itu mulai berputar, dan bayangan-bayangan muncul dari kedalamannya.

Bayangan pertama: ibunya, Bu Ningsih, sedang duduk di ruang tamu, menangis diam-diam sambil memegang foto Ratri kecil.

Bayangan kedua: Ratri berlari dalam gelap, dikejar oleh sosok-sosok hitam yang menjeritkan namanya.

Bayangan ketiga: dirinya sendiri, berdiri di antara dua dunia, di satu sisi manusia yang dicintai, di sisi lain siluman yang menunggu pengakuan.

Semua bayangan itu membakar dadanya dengan rasa bersalah dan ketakutan. Ia ingin menarik tangannya, tapi kekuatan dari dalam altar menahannya.

“Hadapi mereka,” terdengar suara Asraka. “Mereka adalah luka yang harus kau sembuhkan sendiri.”

Ratri memejamkan mata. Ia menyelami rasa sakit itu. Menerima ketakutan dan keraguannya. Dan dari dalam, perlahan muncul suara lain—bukan bisikan asing, tapi suaranya sendiri.

> “Aku bukan hanya keturunan. Aku adalah pilihanku. Dan aku memilih untuk tidak mundur.”

Air dalam mangkuk batu mendadak bersinar terang, dan semburan cahaya melonjak ke langit-langit gua, menciptakan gema yang mengguncang seisi ruang.

Ratri terjatuh ke belakang, terengah-engah. Tapi di wajahnya kini ada senyum tipis—senyum kemenangan.

“Ujianmu selesai,” kata Asraka, menolongnya berdiri. “Kau telah diterima.”

Ratri berdiri tegak. “Apa sekarang aku sudah jadi penjaga sepenuhnya?”

Asraka mengangguk. “Ya. Tapi itu juga berarti, kita tidak lagi aman.”

---

Ketika mereka kembali ke dunia luar lewat lorong cahaya, waktu telah bergerak aneh. Ratri merasa mereka hanya beberapa jam di dalam, tapi ketika mereka melintasi lembah kembali, matahari sudah tinggi.

Dan di sana—di pinggir lembah—seorang pria tengah menunggu.

Pria itu berpakaian seperti pendekar, dengan rambut putih yang diikat tinggi dan mata tajam seperti pisau. Di belakangnya, beberapa bayangan hitam melayang, tanpa bentuk pasti.

Asraka segera berdiri di depan Ratri. “Tirta,” desisnya.

Ratri mengenali nama itu. Pernah disebut oleh Ki Pradipa sebagai salah satu siluman tinggi yang dulunya bersumpah akan menolak segala bentuk penggabungan antara manusia dan dunia siluman.

“Kau terlambat, Asraka,” kata Tirta, suaranya sejuk namun mengandung ancaman. “Penjaga baru sudah lahir. Kini waktunya kita ambil kembali dunia yang telah dirampas manusia.”

Ratri maju, menatapnya lurus. “Kau tak bisa menghentikanku. Aku telah menjalani ujian.”

Tirta tersenyum sinis. “Ujian hanyalah pembuka. Dunia ini tidak akan mematuhi seorang gadis yang bahkan belum tahu siapa ayah kandungnya.”

Ratri terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti badai. Ia memang tidak pernah tahu siapa ayahnya. Ibunya selalu menghindari pertanyaan itu. Tapi apa hubungannya dengan semua ini?

Asraka berdiri kaku. “Jangan bawa masa lalu ke sini, Tirta.”

“Bukankah masa lalu-lah yang menghubungkan kita semua?” ujar Tirta tajam. “Kau, sang penjaga ular yang pernah gagal menjaga perempuan pertama—dan kini mengikat diri pada darah yang sama. Kau tidak belajar, Asraka.”

Ratri merasa napasnya tercekat. “Apa maksudmu?”

Tapi sebelum jawaban datang, Tirta mengangkat tangan. Dari balik bayangannya, siluman-siluman lain muncul—berbagai bentuk mengerikan, tubuh berasap, taring panjang, dan mata membara. Mereka bergerak seperti kabut yang bertekad melahap segala yang hidup.

“Pergi, Ratri,” bisik Asraka.

“Tidak!” Ratri berteriak. “Aku penjaga! Aku harus—”

Tapi Asraka sudah berubah wujud. Tubuhnya menjulang, sisik emasnya bersinar di bawah matahari. Ia melompat ke depan, melingkari Ratri, dan menerjang barisan siluman yang menyerbu.

Pertempuran itu berlangsung sengit. Asraka bertarung dengan kekuatan yang luar biasa, tapi jumlah musuh terlalu banyak.

Ratri menoleh ke sekeliling, mencari apa yang bisa ia lakukan. Ia tahu kekuatannya belum sempurna, tapi darah penjaga di dalam dirinya kini bergejolak, seperti bara yang menunggu dinyalakan.

Ia mengangkat tangannya, mengingat pola yang ia lihat saat di gua—urat energi bumi. Ia menyentuhkan telapak tangannya ke tanah, dan dari dalam dirinya, ia menyeru:

> “Darahku, tanah ini. Jiwaku, penjaga batas. Bangkit dan lindungi!”

Tanah bergetar. Dari bawah kakinya, akar-akar bercahaya mencuat, membelit siluman-siluman itu, menghentikan gerak mereka. Cahaya perak memancar dari tubuh Ratri, dan dalam sekejap, ia berdiri sebagai pusat kekuatan yang memaksa para siluman mundur.

Tirta menyipitkan mata. “Jadi... darah itu benar-benar hidup dalam dirinya.” Ia melangkah mundur. “Pertarungan ini belum selesai, penjaga. Akan ada lebih banyak yang datang.”

Dan dengan sekejap kabut hitam, ia menghilang bersama para pengikutnya.

---

Asraka kembali ke wujud manusianya, tubuhnya luka-luka, tapi matanya tetap waspada. Ia menatap Ratri, kagum dan penuh pertanyaan.

“Kau... mengendalikan energi bumi.”

Ratri mengangguk, masih terengah. “Aku tidak tahu bagaimana. Tapi saat aku mendengarkan suara dalamku... semuanya terasa masuk akal.”

Asraka menatapnya lama. “Kau bukan hanya penjaga biasa, Ratri. Darahmu... darah penjaga tertinggi. Kau adalah kunci yang selama ini dicari oleh dua dunia.”

Ratri duduk di tanah, memejamkan mata. Suara-suara di kepalanya kini hening. Tapi ia tahu, ini bukan akhir.

Ini baru permulaan dari perang panjang—dan hatinya, kini terikat pada siluman yang seharusnya ia takuti... tapi justru ia percayai.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel