Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LUKA YANG TIDAK TERLIHAT.

Bab 2: Luka yang Tidak Terlihat

Pagi datang lambat di desa Tenggara Wana. Kabut masih menggantung di ujung pepohonan, enggan pergi. Tapi Ratri sudah terbangun sejak lama, duduk di bale bambu belakang rumah sambil menatap liontin yang tergantung di tangannya. Liontin itu kini berdenyut lembut, seperti jantung kedua yang menyatu dengan dirinya.

Ia belum benar-benar memahami semua yang terjadi. Pertemuan dengan Asraka terasa seperti mimpi, tapi terlalu nyata untuk diabaikan. Dan kini, setelah Ki Pradipa menguatkan kisah itu, Ratri tak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bukan sekadar manusia biasa.

Ketika matanya menutup, ia kembali mendengar suara itu—suara lembut dan dalam yang berbisik, bukan hanya ke telinganya, tapi ke dalam pikirannya. Ia mencoba mengusirnya, tapi seperti kabut di hutan, suara itu menolak lenyap.

“Kau tidak sendiri, Ratri.”

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena dirinya sendiri mulai menunggu suara itu. Menyambutnya.

---

Hari itu, Ratri memutuskan pergi ke pasar kecil di ujung desa. Ia mencoba bersikap seperti biasa—berbincang dengan para pedagang, menyapa ibu-ibu yang sedang memilih sayuran, dan menawar tempe di lapak Pak Minto. Tapi semuanya terasa... jauh.

Mereka berbicara, tapi telinganya seperti terhalang dinding. Senyum mereka tampak palsu. Ratri sadar, mereka tahu. Mungkin bukan soal Asraka, tapi soal darahnya. Semua orang tahu bahwa keluarganya memiliki "darah penjaga", meski hanya sedikit yang tahu artinya.

Ketika ia lewat, bisik-bisik terdengar. Tatapan tajam menyelinap dari balik kerudung dan anyaman bambu.

"Anak Bu Ningsih itu... katanya suka bicara sendiri di malam hari."

"Aku dengar dia ke hutan selatan malam-malam..."

"Jangan biarkan anakmu terlalu dekat dengannya, ya."

Ratri menggertakkan gigi. Ia tak butuh dunia tahu. Dunia yang selalu memandang ibunya dengan curiga dan ketakutan. Dunia yang memuji saat butuh pertolongan, lalu menjauh saat keadaan aman.

Satu-satunya tempat yang terasa sedikit lebih normal adalah rumah Ki Pradipa.

Tetua desa itu menyambutnya dengan anggukan tenang. “Kau datang lebih cepat dari yang kuduga.”

“Aku tak bisa tidur. Suara itu... makin kuat.”

Ki Pradipa mengelus jenggotnya yang panjang dan beruban. Ia duduk di lantai, membuka gulungan kain tua penuh tulisan aksara kuno. Ratri duduk di seberangnya, memperhatikan.

“Ini naskah warisan dari penjaga pertama,” katanya. “Di dalamnya tertulis tentang Asraka. Ia bukan siluman biasa. Ia disebut Pengikat Jiwa, makhluk yang mampu menjalin ikatan batin dengan manusia pilihan—menghubungkan mereka bukan hanya dalam rasa, tapi dalam nasib.”

Ratri menelan ludah. “Jadi jika aku menolaknya...”

“Jiwamu akan tercerai. Dan bukan hanya itu. Keseimbangan antara dunia manusia dan dunia siluman bisa runtuh. Asraka bukan penjaga tanpa alasan. Dia adalah kunci.”

“Dan jika aku menerimanya?” tanya Ratri pelan.

Ki Pradipa menatapnya dalam. “Kau akan menjadi penghubung dua dunia. Tapi itu bukan jalan mudah, Ratri. Banyak yang tidak akan mengerti. Bahkan kau bisa kehilangan segalanya—kehidupanmu sebagai manusia, cintamu, bahkan tubuhmu.”

---

Malam turun cepat, seperti kain hitam yang dijatuhkan dari langit. Ratri duduk di kamar, menatap bayangannya sendiri di cermin. Rambutnya jatuh kusut, matanya tampak lelah. Tapi di balik sorot matanya, ada sesuatu yang baru: semangat, atau mungkin kegilaan?

Ketika angin dingin masuk dari celah jendela, ia tahu Asraka datang. Dan benar saja, kabut tipis merayap ke dalam kamarnya, membentuk siluet perlahan hingga menjadi sosok pria berambut panjang dan bermata merah yang familiar.

“Asraka,” bisiknya.

Ia berdiri, menatap makhluk itu dari dekat. Kali ini, ia tak mundur.

“Aku tahu siapa kau,” katanya. “Aku tahu tentang ikatan kita.”

Asraka tidak menjawab. Ia hanya menatapnya—tatapan yang tak bisa diartikan antara kekaguman, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih gelap.

“Aku tidak bisa lari darimu, kan?” tanya Ratri.

“Bahkan jika kau lari ke ujung dunia,” jawab Asraka, “jiwamu akan selalu menemukanku. Kita sudah ditandai oleh takdir, jauh sebelum kau lahir.”

Ratri menarik napas dalam. “Kalau begitu... kenapa aku?”

Asraka mendekat. “Karena hatimu adalah cermin dari duniaku. Karena hanya kau yang bisa menjinakkan bagian tergelap dariku. Dan karena kau... adalah cahaya yang kutunggu dalam ratusan tahun kegelapan.”

Suara itu, meski dingin, menyusup ke dalam hatinya. Ratri ingin marah. Ingin membenci. Tapi entah mengapa, ia merasa... damai. Seolah suara itu telah menyatu dengan denyut nadinya sendiri.

“Aku tidak tahu harus percaya atau tidak,” katanya lirih. “Tapi... aku tidak ingin sendiri.”

Asraka menyentuh pipinya, jemarinya dingin seperti embun dini hari. Tapi sentuhannya lembut, sangat lembut. “Kau tak akan pernah sendiri lagi.”

---

Beberapa hari berlalu. Ratri mulai terbiasa dengan kehadiran Asraka. Ia tidak muncul setiap malam, tapi ketika ia datang, selalu dalam keheningan. Ia tidak banyak bicara. Kadang mereka hanya duduk di bawah pohon di belakang rumah, memandangi bintang.

Tapi malam kelima sejak pertemuan mereka, Asraka datang dengan wajah gelisah.

“Kita harus pergi,” katanya tiba-tiba. “Ada siluman lain yang mulai mencium keberadaanmu. Mereka tahu kau adalah penjaga.”

“Apa yang mereka inginkan?”

“Jika mereka bisa menghancurkanmu sebelum ikatan ini sempurna, maka gerbang antara dunia akan tetap tertutup. Dunia siluman akan bebas merajalela, tanpa penjaga. Dan aku... tak akan bisa menahan mereka semua.”

“Ke mana kita harus pergi?”

Asraka menggenggam tangannya. “Ke tempat di mana semuanya dimulai. Ke gerbang utama, di jantung hutan selatan.”

---

Perjalanan itu dimulai malam itu juga. Ratri mengenakan jubah hitam milik ibunya, membalut tubuhnya dengan scarf tebal. Ia membawa tas kecil berisi liontin, buku catatan, dan secarik surat dari ibunya yang baru ia temukan pagi tadi di bawah peti kayu.

Surat itu hanya berisi satu kalimat:

“Jika waktumu tiba, jangan takut pada kegelapan. Karena di sanalah kau akan menemukan cahaya milikmu sendiri.”

Dari desa, mereka masuk ke hutan selatan. Asraka berubah wujud, menjadi ular raksasa yang membalut tubuh Ratri dengan tubuhnya—melindungi dan membawanya melintasi jalur rahasia yang hanya bisa dilalui makhluk dunia lain.

Pohon-pohon seperti bergerak, menciptakan lorong. Udara berubah. Tidak hanya dingin, tapi penuh gema suara aneh, seperti tangisan dan bisikan.

Beberapa kali Ratri melihat sosok-sosok kabur di antara pepohonan. Wajah-wajah tanpa mata. Bayangan yang menyentuh tanpa tubuh.

“Jangan lihat mereka,” kata Asraka. “Mereka adalah jiwa-jiwa tersesat, korban dari penjaga sebelumnya yang gagal.”

“Penjaga sebelumnya?” tanya Ratri.

Asraka diam. Tapi sorot matanya menjawab cukup. Bahwa ini bukan pertama kalinya. Bahwa sebelum dirinya, sudah ada perempuan lain yang mencoba menjalani takdir ini—dan gagal.

Ratri menggenggam liontin erat-erat. Ia tidak tahu apakah ia cukup kuat. Tapi ia tahu satu hal—ia tidak bisa mundur sekarang.

---

Setelah berjam-jam perjalanan, mereka tiba di sebuah lembah tersembunyi. Di tengah lembah itu berdiri gerbang batu setinggi pohon kelapa, tertutup lumut dan akar. Di atasnya terukir simbol-simbol kuno, dan di bawahnya, terdapat kolam kecil dengan air sebening kristal.

Asraka menurunkannya perlahan. “Inilah gerbang antara dunia. Jika kau membuka segel ini, kau akan menjadi penjaga sepenuhnya.”

“Apa yang akan terjadi setelah itu?”

“Asal-usulmu akan terbuka. Kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya. Tapi juga... kau tak akan bisa kembali menjadi manusia biasa.”

Ratri menatap gerbang itu lama. Lalu menoleh ke Asraka.

“Dan kau?”

“Aku akan tetap menjadi pelindungmu. Atau... jika kau menolakku, aku akan kembali tidur seratus tahun lagi. Menunggu jiwa berikutnya yang bisa terhubung denganku.”

Hening. Angin malam membawa aroma tanah dan anggrek liar. Ratri menutup mata. Ia bisa merasakan denyut liontin semakin cepat. Ia bisa merasakan darahnya membara, seolah tubuhnya mengenali tempat ini.

“Kalau aku memilih untuk membuka gerbang ini...” katanya lirih. “Apa yang akan terjadi dengan hatiku?”

Asraka mendekat, menyentuh keningnya. “Hati kita akan menyatu. Kau akan melihat dunia melalui mataku, dan aku melalui matamu.”

Ratri membuka mata. “Kalau begitu... mari kita buka bersama.”

---

Dengan gemetar, ia menyentuhkan liontin ke batu tengah gerbang. Cahaya biru menyala, menyilaukan mata. Tanah bergetar. Suara-suara dari dunia lain mulai terdengar—ratapan, jeritan, dan nyanyian kuno yang menggema dalam bahasa yang tak ia mengerti, tapi jiwanya paham.

Dan dalam cahaya yang meledak ke seluruh penjuru lembah, Ratri tahu satu hal:

Takdirnya telah dimulai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel