
Ringkasan
Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi hutan angker, hidup seorang gadis muda bernama Ratri, yang sejak kecil dijaga oleh berbagai pantangan misterius dari ibunya—terutama larangan keras untuk masuk ke hutan selatan. Namun saat ibunya meninggal dunia, satu-satunya hal yang membuat Ratri bertahan hanyalah rasa ingin tahu terhadap suara-suara aneh dan mimpi-mimpi ganjil yang memanggilnya dari arah hutan tersebut. Suatu malam, dalam keputusasaan, ia melanggar larangan itu—dan bertemu dengan Asraka, sosok misterius yang menyelamatkannya dari seekor ular raksasa. Namun, Asraka bukan manusia biasa. Ia adalah siluman ular, makhluk yang telah terikat perjanjian berdarah dengan leluhur Ratri. Kini, dengan ikatan takdir yang mulai bangkit kembali, Ratri terjebak antara kenyataan, warisan gelap, dan perasaan cinta yang tumbuh perlahan terhadap makhluk yang seharusnya menjadi musuh umat manusia. Semakin dalam ia mengenal Asraka, semakin ia terjerat dalam rahasia besar tentang jati dirinya sendiri—dan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan dunia mereka berdua.
SUARA DARI DALAM HUTAN.
Bab 1: Suara dari Dalam Hutan
Angin malam berhembus lembut, membawa serta bisikan-bisikan aneh dari balik pepohonan lebat hutan Tenggara Wana. Kabut turun dengan cepat, menutup jalan setapak yang memisahkan desa kecil ini dari kegelapan tak terjamah. Di depan rumah panggung kayu tua yang sudah mulai lapuk, seorang gadis duduk termenung sambil memeluk lututnya.
Ratri menatap kosong ke arah kegelapan hutan selatan. Matanya merah karena tangis yang belum tuntas, masih menyisakan sembab sejak pagi. Sejak ibunya dimakamkan tiga hari lalu, dunia seperti kehilangan warna. Rumah itu sepi. Aroma rempah dan kayu manis yang biasa memenuhi udara kini digantikan bau tanah basah dan dupa pemanggil roh leluhur.
“Jangan pernah masuk ke hutan selatan. Bahkan jika kau mendengar namaku dipanggil dari dalam sana—jangan pernah masuk.”
Itu pesan terakhir ibu sebelum napasnya habis. Tapi bagaimana bisa Ratri tidak memikirkan hutan itu, ketika setiap malam mimpi yang sama kembali datang?
Dalam mimpi itu, ia berdiri di tengah hutan. Udara terasa dingin, dan suara mendesis memanggil namanya dengan lembut.
“Ratri... Ratri...”
Bukan suara ibunya. Tapi suara itu seperti mengalir dalam darah, merayap di kulit, membelai jiwanya. Ia takut. Tapi juga penasaran.
Dari dulu, desa selalu menganggap hutan selatan sebagai tempat terlarang. Tak seorang pun berani mendekatinya. Bahkan anak-anak kecil sejak dini sudah diingatkan bahwa hutan itu “menelan siapa saja yang berani menginjak batasnya.” Tapi tidak ada penjelasan jelas. Hanya dongeng. Cerita tentang penunggu. Tentang ular raksasa bermata merah darah.
Dan kini, setelah kematian ibu, suara itu makin jelas. Setiap malam, suara itu membangunkannya. Mendorongnya. Memanggilnya.
---
Ratri berjalan menyusuri jalan setapak menuju batas hutan. Di tangannya tergenggam erat liontin kayu berbentuk kepala ular—warisan ibunya yang selalu tergantung di lehernya sejak kecil. Dulu, Ratri mengira itu sekadar jimat biasa. Tapi belakangan, ia merasa benda itu berdenyut pelan, seolah hidup.
Kabut makin tebal. Tapi kaki Ratri terus melangkah, meski hatinya berdebar hebat. Suasana hutan malam berbeda. Sunyi. Tapi bukan sunyi biasa. Sunyi yang penuh tekanan, seolah setiap pohon memperhatikannya.
Ia melangkah melewati batu batas—tumpukan batu kecil berlumut yang menandai wilayah yang tak boleh dilanggar. Begitu ia melewatinya, udara berubah. Lebih lembap. Lebih berat.
“Ratri... akhirnya kau datang.”
Ratri berhenti. Jantungnya berdetak liar. Itu bukan mimpi.
Ia menoleh ke kanan, ke kiri, tapi tak melihat siapa pun. Hanya kabut dan batang-batang pohon raksasa yang seolah menutup langit. Cahaya bulan hampir tak menembusnya.
Tiba-tiba, suara dedaunan bergemerisik. Dari balik kabut, seekor ular hitam besar muncul perlahan. Matanya menyala merah. Lidahnya menjulur, mencium bau udara.
Ratri mundur satu langkah. Tapi anehnya, ia tidak lari. Tubuhnya gemetar, tapi tidak membeku. Ada sesuatu... sesuatu yang terasa familiar.
Ular itu mendekat, lalu berhenti hanya beberapa meter di depannya. Dari tubuh ular itu, kabut mulai berubah bentuk. Menari, memadat, hingga perlahan membentuk sesosok lelaki tinggi berjubah hitam, dengan mata yang sama menyala merah.
Ratri menelan ludah. “K-Kau siapa?”
Lelaki itu menunduk ringan. Wajahnya rupawan tapi mengerikan—dingin dan penuh aura misteri. “Namaku Asraka. Dan aku telah menunggumu selama seratus tahun.”
Seratus tahun?
Ratri melangkah mundur. “Apa maksudmu?”
Asraka mendekat perlahan. “Kau adalah keturunan dari penjaga batas antara dunia manusia dan dunia kami. Leluhurmu membuat perjanjian denganku. Dan sekarang, ikatan itu telah bangkit kembali melalui dirimu.”
“Perjanjian? Apa maksudmu perjanjian?”
Asraka mengulurkan tangan, menyentuh liontin di leher Ratri. “Jimat ini adalah segel. Penanda. Kau adalah yang terpilih untuk membuka gerbang antara dua dunia. Tapi lebih dari itu... darahmu, Ratri, telah dipanggil oleh darahku. Kita telah terikat.”
Ratri memukul tangannya menjauh. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan! Aku hanya... hanya ingin tahu kenapa mimpi itu terus datang!”
“Karena hatimu telah bersinggungan denganku sejak kau lahir. Sejak jiwamu mengenali jiwaku.”
Suara Asraka lembut, tapi menusuk. Tatapannya tajam namun dalam. Seolah ia sedang menatap sesuatu jauh di dalam jiwa Ratri.
“Kau bohong,” bisik Ratri. “Ibu tak pernah bilang apa pun soal ini.”
“Karena ibumu mencoba melindungimu. Tapi kau sudah dipilih sejak awal. Kau adalah penjaga terakhir, dan juga... calon pasangan siluman penjaga. Pasangan ku.”
---
Ratri berlari kembali ke desa. Nafasnya terengah, tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu apakah yang baru saja ia lihat nyata atau hanya mimpi yang lain. Tapi liontin di lehernya masih terasa hangat. Dan di balik telinganya, suara Asraka masih terngiang.
“Kau tidak bisa lari dari takdirmu.”
Sesampainya di rumah, ia mengunci pintu dan menutup semua jendela. Tapi tidak bisa tidur. Bayangan mata merah itu menghantui pikirannya.
Besoknya, ia menemui Ki Pradipa, tetua desa yang terkenal menyimpan banyak pengetahuan kuno.
“Ki, aku ingin bertanya soal... hutan selatan.”
Ki Pradipa menatapnya lama, kemudian menyuruhnya duduk. “Akhirnya kau juga mencium bau darah lama itu, ya?”
Ratri mengangguk perlahan. “Aku bertemu... sesuatu di sana. Siluman. Ia bilang namanya Asraka.”
Wajah Ki Pradipa langsung berubah. Pucat. Tangannya mengepal di atas tongkat.
“Asraka... dia tidak seharusnya bangun. Ibumu berhasil menyegel hubungan kalian bertahun-tahun. Tapi sejak ia meninggal... takdir itu mulai bergerak lagi.”
“Apa maksudmu hubungan kami?” tanya Ratri.
Ki Pradipa menghela napas. “Dahulu kala, saat desa ini masih muda, ada seorang wanita dari garis leluhurmu yang jatuh cinta pada makhluk dari dunia lain. Ia menyelamatkan desa dari serangan siluman, tapi membayar mahal—dengan darahnya sendiri. Dia membuat perjanjian: bahwa setiap seratus tahun, keturunannya akan dipilih menjadi pasangan dan penjaga gerbang antara dua dunia. Dan pasangan itu... adalah Asraka, siluman ular penjaga batas.”
“Jadi... aku harus jadi miliknya?”
“Bukan harus. Tapi ikatan darah kalian akan memanggil satu sama lain. Menolak bisa membuat dunia ini seimbang... atau hancur. Tergantung keputusanmu.”
---
Malam berikutnya, Ratri berdiri di depan cermin. Ia menatap dirinya sendiri. Wajahnya masih sama—rambut hitam panjang, mata kecoklatan. Tapi ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya. Ada sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, lebih... gelap.
Ketika ia memegang liontin itu, suara itu kembali masuk ke dalam pikirannya.
“Aku menunggumu, Ratri. Dunia kita sedang runtuh tanpa penjaga.”
Dan entah kenapa, bagian dalam dirinya menjawab:
“Tunggu aku.”
---
Di dalam hutan, di singgasananya yang dikelilingi kabut abadi, Asraka membuka matanya. Untuk pertama kalinya dalam seratus tahun, ia tersenyum.
“Dia mulai merasakan ikatan itu.”
“Akhirnya... dia kembali padaku."
