Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

JEJAK AYAH YANG TERLUPAKAN.

Bab 4: Jejak Ayah yang Terlupakan

Hening pagi menyelimuti hutan di kaki Gunung Kendaga. Embun masih menempel di dedaunan, dan angin berhembus ringan membawa aroma tanah basah. Namun, bagi Ratri, alam tak lagi sekadar latar yang indah—melainkan tempat pertempuran batin dan kenyataan yang mengguncang jiwanya.

Sejak pertempuran melawan siluman-siluman bayangan yang dipimpin Tirta, pikirannya terus dihantui satu kalimat.

> “... bahkan belum tahu siapa ayah kandungmu.”

Ia duduk di atas batu datar di dekat aliran sungai kecil, tatapannya kosong. Di tangannya, liontin pemberian ibunya kini bersinar lebih terang, seolah merespons kesadaran baru yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

“Kenapa Ayah tak pernah diceritakan padaku, Bu?” gumamnya lirih.

Asraka muncul dari balik semak, mengenakan jubah hitam tipis dan rambut panjangnya tergerai, masih basah oleh embun pagi. “Karena ibumu melindungimu dari kebenaran.”

Ratri menoleh cepat. “Kau tahu siapa ayahku?”

Asraka duduk di seberangnya. “Aku tahu… sebagian. Tapi kisah itu rumit. Tidak hanya soal cinta, tapi juga soal pengkhianatan dan janji yang dilanggar.”

Ratri menarik napas dalam-dalam. “Katakan.”

Asraka menatap air sungai, seolah mencari cermin waktu di permukaannya. “Dua puluh tahun lalu, sebelum kau lahir, ada seorang penjaga perempuan bernama Ayunda. Dia kuat, keras kepala, tapi penuh cinta. Dialah ibumu.”

“Aku tahu itu,” sela Ratri pelan.

“Tapi kau tidak tahu bahwa Ayunda dulu mencintai seorang siluman—seorang siluman ular yang juga sahabatku. Namanya Ranggala.”

Ratri membeku. Nama itu seperti gaung asing yang terasa familiar di hatinya. “Dia… ayahku?”

Asraka mengangguk pelan. “Ranggala bukan siluman biasa. Ia adalah darah bangsawan dari ras ular putih, pelindung gerbang barat antara dunia siluman dan manusia. Ia jatuh cinta pada ibumu saat dia ditugaskan sebagai penjaga lembah Kendaga. Mereka bertemu, melanggar aturan, dan memilih untuk hidup bersama… meski tahu risikonya.”

Ratri menggigit bibirnya. “Lalu… apa yang terjadi?”

“Dewan Siluman menganggap hubungan mereka sebagai ancaman. Ranggala dihukum, dijatuhi kutukan. Ia menghilang tanpa jejak—ada yang mengatakan dia dibunuh. Tapi aku tidak percaya. Aku rasa… dia masih hidup. Bersembunyi.”

Ratri mengepal tangannya. “Kenapa Ibu tidak pernah memberitahuku?”

“Karena luka itu terlalu dalam. Kehilangan Ranggala menghancurkan hidupnya. Ia memilih membesarkanmu sendiri, menjauh dari dunia siluman. Tapi darahmu—darah keduanya—tak bisa disembunyikan selamanya.”

Ratri menatap liontinnya, dan tiba-tiba liontin itu memancarkan cahaya keunguan. Di dalamnya, muncul simbol aneh—ular melingkar dengan dua kepala, satu putih dan satu hitam.

Asraka menegang. “Itu… simbol garis keturunan Ranggala.”

Ratri menggenggam liontin itu erat. “Kalau dia masih hidup… aku akan mencarinya.”

---

Misi mencari Ranggala tak mudah. Dunia siluman bukan tempat yang bisa dijelajahi sembarangan. Tapi Ratri bukan lagi manusia biasa. Dengan kekuatan yang mulai berkembang dan hubungan batin yang mulai ia rasakan, ia mulai bisa merasakan getaran tertentu—seperti jalur energi yang mengarah ke masa lalu.

Asraka mengajaknya ke sebuah tempat kuno, reruntuhan kuil di tengah hutan lebat. “Di sinilah Ranggala terakhir terlihat. Kuil ini dulu menjadi tempat persembunyian para siluman pengelana.”

Kuil itu nyaris hancur. Pilar-pilar besar tumbang, dan patung-patung siluman berjubah rusak dimakan waktu. Tapi di bagian tengah, sebuah altar batu masih berdiri. Di atasnya terdapat ukiran lingkaran besar, mirip dengan simbol di liontin Ratri.

Ratri mendekat dan meletakkan liontinnya di tengah ukiran itu. Tiba-tiba, tanah bergetar, dan dari balik lantai kuil, muncul tangga batu yang menurun ke bawah tanah.

Asraka menghela napas. “Kau telah membuka makam ingatan.”

Mereka turun perlahan. Di bawah sana, lorong sempit bercahaya hijau terbentang, seperti jalan menuju dunia yang terlupakan. Dinding lorong dipenuhi ukiran peristiwa-peristiwa masa lalu—pertempuran, cinta terlarang, hingga pengasingan.

Ratri berhenti ketika mereka tiba di ruangan kecil. Di tengah ruangan, terdapat batu nisan besar bertuliskan huruf-huruf kuno.

> “Di sini terbaring Ranggala, siluman ular yang mengorbankan segalanya demi cinta.”

Air mata mengalir dari mata Ratri. “Dia mati…”

Asraka mendekat dan menyentuh batu nisan itu. “Tidak ada jasad di dalamnya. Hanya simbol. Ini bukan makam… ini peringatan.”

Tiba-tiba, liontin Ratri menyala lagi. Dan dari dalam cahaya itu, muncul bayangan samar—seorang pria tinggi bersisik keperakan, mata tajam, dan suara dalam yang menggetarkan udara.

> “Jika kau adalah darahku, maka carilah aku di batas keheningan. Di tempat di mana langit dan laut bertemu, aku menunggu...”

Bayangan itu menghilang. Ratri menatap Asraka, penuh tekad.

“Dia hidup. Dan aku akan menemukannya.”

---

Perjalanan berikutnya membawa mereka ke pinggiran dunia manusia—pantai tersembunyi yang dikenal sebagai Laut Senyap. Tempat yang dipercaya sebagai pertemuan antara dunia manusia dan dunia siluman bawah laut. Tempat itu sunyi, tanpa kehidupan, tapi langitnya selalu gelap seperti senja abadi.

Ratri berdiri di bibir pantai. Air menyentuh kakinya, dingin dan berat. Di kejauhan, ia melihat kabut pekat, seolah menutup gerbang tak kasatmata.

Asraka berdiri di sampingnya. “Kau yakin ingin melangkah lebih jauh?”

“Ayahku menungguku. Aku harus tahu siapa aku sepenuhnya.”

Tanpa ragu, Ratri berjalan ke dalam air. Tubuhnya tak tenggelam. Sebaliknya, air terbelah, membentuk jalan setapak yang bercahaya ungu keperakan. Asraka menyusulnya.

Mereka berjalan di atas air menuju kabut, dan ketika kabut menelan mereka, dunia berubah.

Langit menjadi merah tua. Laut berubah menjadi kaca hitam. Di kejauhan, berdiri sebuah istana kristal, mengambang di udara—tempat yang tak seharusnya ada.

Di depan gerbang istana itu, berdiri seorang pria berpakaian jubah perak, mata tajam yang langsung membuat jantung Ratri berhenti sesaat.

“Ranggala…” desis Asraka.

Pria itu tersenyum. “Kau datang, putriku.”

Ratri terdiam. Dadanya sesak oleh rindu yang bahkan belum sempat tumbuh, tapi kini menyeruak dalam satu detik pertemuan.

“Kenapa kau pergi?” suaranya lirih, bergetar.

“Aku tidak pernah pergi,” jawab Ranggala. “Aku hanya disembunyikan. Karena jika aku tetap tinggal, kalian akan diburu. Aku memilih menjadi hantu demi melindungi kalian.”

Ratri melangkah maju. “Aku ingin tahu segalanya.”

Ranggala menatapnya penuh kebanggaan. “Darah kita adalah darah pelindung. Tapi musuh kita bukan hanya para siluman pembenci manusia. Dunia ini… sedang menuju kehancuran. Penjaga baru harus lahir. Dan itulah kau.”

Ratri merasa dunia berputar di sekelilingnya. Tapi satu hal kini jelas.

Ia bukan hanya putri dari cinta terlarang.

Ia adalah kunci perubahan antara dua dunia.

---

Sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, suara ledakan bergema dari kejauhan. Istana kristal berguncang. Kabut memekat. Dan dari dalam laut kaca, muncul sosok gelap—makhluk raksasa berkepala tiga dengan mata menyala merah.

Asraka mundur. “Itu… siluman tertua. Yang pernah disegel oleh para leluhur.”

Ranggala berubah wujud dalam sekejap. Sosok ular putih raksasa dengan sisik seperti berlian muncul dan menghadang makhluk itu.

“Kau harus pergi, Ratri!” teriaknya.

“Tapi—”

“Pergilah! Lindungi dunia! Aku akan menahan makhluk ini!”

Asraka menggenggam tangan Ratri dan menariknya masuk ke dalam lingkaran teleportasi yang muncul dari lantai istana. Dalam sekejap, mereka lenyap, meninggalkan ayahnya bertarung sendirian.

---

Mereka muncul kembali di hutan Kendaga. Langit sudah malam. Ratri berdiri kaku, dadanya nyeri.

“Ayahku… bertarung sendirian…”

Asraka menatapnya. “Dan kau… harus menjadi penjaga yang mampu mengakhiri perang ini.”

Ratri mengepalkan tangan.

> “Aku tidak akan lari. Aku akan kembali. Tapi pertama, aku harus membuat dunia ini percaya padaku.”

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel