BAB 3
Kata-katanya menusuk hatiku, terutama karena aku tahu itu benar. Kalu saya tidak campur tangan, dia akan dimatikan.
“Itu tidak akan terjadi. Aku di sini untuk menyelamatkanmu.”
Rencanaku adalah menyelundupkan keiko keluar, membawanya ke kota yang masih aman, dan kemudian memberinya ramuan rahasia yang telah dikerjakan dokter selama berbulan-bulan — obat yang seharusnya untuk virus Necrotina yang telah menyebar ke seluruh dunia. Virus itu mengubah pria, wanita, dan anak-anak menjadi makhluk zombie dengan hasrat membara untuk memakan daging manusia.
"Sungguh?" Dia mencengkeram lenganku seolah-olah aku sedang bercanda.
"Serius."
"Nah, kalau begitu, apa yang kita tunggu?"
“Kita tidak bisa pergi sampai Mario kembali dan memberi kita lampu hijau. Jika kita bertemu dengan jenderal, rencana kita kacau. Tunggu saja, nggak lama, kok.”
Dia mengangguk dan kemudian meletakkan tangannya di pinggul, tatapannya memohon. "Apakah abangmu akan menolong kita?"
“Aku belum memberi tahu Surya apa pun tentang kamu. Dia baru saja cuti, dan saat ini kita perlu dia fokus jika kita ingin rencana kecil kita berhasil.”
"Aku ingin bertemu dengan dia. Aku harus bertemu dengannya.”
"Nanti. Aku minta dia untuk membawa kami ke kota berikutnya, bilang bahwa kami harus memberikan beberapa antibiotik untuk dokter.”
"Bagus. Apakah kamu yakin rencanamu akan berhasil?”
"Percayalah padaku, tidak ada yang akan curiga."
"Jadi, apa rencananya?"
"Sebagai permulaan, kita terbang."
Naik ke atap adalah satu-satunya cara untuk melewati keamanan yang ketat. Namun demikian, meskipun terbang adalah pilihan teraman, pada masa itu, tidak ada lagi taruhan yang aman.
"Tunggu ... apakah kamu mengatakan kita akan terbang?"
"Ya. Bukankah aku sudah menyebutkan bahwa Surya seorang pilot?”
Apa yang belum kukatakan pada abangku itu adalah bahwa aku akan menyembunyikan penumpang gelap di bagian belakang helikopter.
Baiklah. Aku akan khawatir tentang itu nanti. Aku yakin Surya akan mengerti begitu aku mengatakan keseluruhan ceritanya.
Pintu terbuka, dan Mario mengintip ke dalam. “Kalian siap? Tidak banyak waktu.”
Aku memberi isyarat pada Keiko untuk keluar dari sel dan menunjuk ke brankar. "Naik!"
Aku membantu Keiko naik ke brankar, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke lehernya, meniru protokol medis untuk menangani orang sakit dalam perjalanan ke kamar mayat.
"Kau harus berpura-pura mati," kata Mario. "Jadi jangan berkedip."
Keiko menghapus keringat dari dahinya.
"Apakah kamu akan baik-baik saja?" tanyaku padanya, mengabaikan rasa takut yang tiba-tiba menghantam perutku sendiri.
Rahangnya mengatup. "Jangan khawatir. Aku yakin aku akan memenangkan Piala Citra kalau ada film dengan aku sebagai pemerannya. Hidupku bergantung pada kemampuan aktingku, kan?”
Aku mendorongnya menyusuri selasar panjang melewati sekelompok tentara. Adrenalinku membanjir yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Meski bahaya, aku merasa sedang bersenang-senang. Aku tidak pernah menginginkan "kehidupan remaja normal" versi orang tuaku.
Aku berada di tengah-tengah kehidupan nyata — atau kematian, kalau dipikirkan benar. Pandemi zombie. Orang-orang bercanda dan membuat videogame dan film selama bertahun-tahun. Seperti abangku yang telah memilih militer untuk petualangannya sendiri, aku hidup untuk hal ini, selalu mencari kesenangan. Aku mendambakan berada di tengah aksi, dan kini akhirnya aku ada di sana, terlibat dalam penyelamatan yang berisiko.
Ketika kami mendekati para penjaga, rasa dingin menjalar di punggungku. Kami semua tahu bahwa jika kami gagal melewati skuad itu, semuanya akan berakhir, bahkan sebelum benar-benar dimulai.
"Kami akan menempatkan dia di ruangan pendingin," kata Mario tanpa menunjukkan getaran gugup dalam suaranya.
Sersan itu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada habis-habisnya, ya?”
"Tidak." Mario menatapku. "Kamu mendapatkan ini dari sini?"
Aku mengangguk dan bergerak menyusuri koridor dengan cepat, jantungku berdegup kencang di dadaku. Begitu kami berada di tikungan, aku berlari. Roda logam berdecit di lantai ubin sebagai protes atas kecepatan mendadak akibat doronganku. Aku berharap Keiko tidak terbang dari benda itu saat kami bertemu tikungan berikutnya. Dari aula berbelok ke kanan, lalu belok tajam ke kiri, lalu belok kanan lagi.
"Oke, aman," kataku, berhenti. Aku mulai menanggalkan celana putihku. Kalau Surya melihatku mengenakan scrub maka rencanaku pasti langsung gagal, terutama kalau dia menganggap aku tidak ada gunanya.
Keiko tiba-tiba bangkit duduk. "Tolong beritahu aku kalau kamu pakai celana lain di bawah sana."
"Tentu saja. Sekarang ayolah!” Aku membantunya turun dan menunjuk. "Helikopter lewat sini."
Kami berlari melintas lorong dan menaiki tangga hingga akhirnya mencapai helipad, langsung disambut hembusan angin yang mengacak rambutku. Keiko melompat ke bagian belakang helikopter militer dan berbaring, dan aku melemparkan selimut loreng milik Angkatan Darat ke tubuhnya.
“Aku harus membuat sedikit pengakuan,” bisikku pelan, khawatir kalau-kalau Surya tiba-tiba muncul.
"Diam-diam memakai pakaian dalam cewek?"
"Ya ampun, tidak!" Aku tidak bisa menahan tawa. Cewek ini lucu meski situasinya sangat menegangkan, dan aku menghargai itu.
Matanya menyipit. “Baguslah kalau begitu. Jadi apa pengakuanmu?”
“Aku tidak memberi tahu Surya tentang semua ini. Dia sama sekali tidak tahu kau akan datang.”
Keiko mendengus. "Ah. Jadi waktu kamu bilang tidak ada yang akan curiga, kamu benar-benar tidak memberi tahu siapa pun. Ya ampun. Aku tidak percaya ini. Aku pikir dia tahu kalau ada gadis yang datang, tetapi dia belum diberi tahu tentang identitasku.”
"Belum. Tolong diam saja sampai kita tiba di kota, oke?” pintaku.
"Baiklah," gumam Keiko, "tapi kamu seharusnya bilang ke Surya."
Semenit kemudian, Surya melompat ke helikopter dan memasang headset. “Siap, Bro?”
Aku duduk di kursi kopilot dan memasang sabuk pengaman. "Ready."
"Kamu punya daftar antibiotik yang kami perlukan untuk dokter?"
"Tentu saja." Abangku selalu bermain sesuai aturan. Itu yang membuatnya sempurna sebagai seorang tentara, tentu saja, tapi itu juga alasan mengapa aku tidak memberitahunya tentang Keiko. Dia tidak akan pernah setuju untuk menyelundupkannya ke luar kota. Surya tidak akan melakukan apa pun yang melanggar aturan—selamanya. Dia hidup dengan 100 persen kode moral. Aku tidak tahu dari mana dia mewarisinya, karena aku tidak keberatan membengkokkan aturan pada saat yang tepat.
Dia menyalakan mesin helikopter, dan beberapa menit kemudian kami lepas landas lalu naik perlahan ke langit di atas Pulau Reklamasi. Pulau itu tidak jauh dari Ancol. Di situlah Dunia Fantasi berada. Aku telah mengendarai roller coaster Halilintar tujuh belas kali di taman hiburan itu, sebelum pendemi terjadi. Tapi aku takkan pernah melupakan adrenalin yang kurasakan.
Pulau-pulau Reklamasi adalah tempat yang sempurna untuk berlindung karena dikelilingi oleh air. Zombi tidak bisa berenang, dan sebagai cadangan, ada tembok yang menjulang tinggi untuk mencegah mayat hidup menembus tempat berlindung kami yang aman. Itu membantu kami semua tidur lebih nyenyak di malam hari.
Kami tinggal di sebuah rumah punya nenek. Dia punya sebuah losmen yang dia jalankan sebelum wabah zombie.
Semua pulau reklamasi telah menjadi tempat perlindungan bagi banyak orang, dan warga bermukim di sana, hidup hampir secara normal, kecuali mengetahui bahwa di luar tembok itu, mayat hidup yang kelaparan sedang mencari mangsa. Agar setiap orang dapat mempertahankan gaya hidup seperti itu, kota ini memiliki peraturan yang sangat ketat. Salah satu aturan itu menyatakan bahwa jika seseorang digigit, eksekusi wajib dilakukan — tanpa kecuali, meski korbannya adalah putra walikota atau putri ketua dewan kota. Keselamatan banyak orang tidak dapat dikompromikan untuk nyawa satu orang.
“Kita harus kembali sebelum makan malam,” teriak Surya.
"Ya!" teriakku mengatasi kebisingan helikopter.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi letupan keras, seperti suara petasan besar meledak. Lantai dan dinding helikopter mulai bergetar. Kepalaku tersentak ke belakang dan dan ke depan saat helikopter itu jatuh, memotong awan putih seperti pisau daging. Ketika melihat ke luar jendela, tampak kepulan asap hitam berputar-putar dari helikopter.
"A-apa yang terjadi?"
Surya menekan-nekan tombol kendali dengan panik. "Malfungsi. Kita akan jatuh!”
"Mal-apa?" tanyaku gugup.
Helikopter jatuh dari ketinggian dengan kecepatan yang terasa bagai kecepatan cahaya. Benturan keras yang tiba-tiba seperti ratusan tongkat golf menghantam kami bergema di bawah kakiku.
Mencengkeram sandaran tangan dengan erat, aku menatap ke luar jendela, meskipun seharusnya aku tidak melakukannya. Helikopter meluncur dengan perut melompati puncak pohon. Getaran mengguncang lantai seperti gempa bumi.
Aku bersiap menghadapi benturan, mengetahui bahwa meskipun entah bagaimana kami secara ajaib selamat dari kecelakaan itu, kami masih berada di tengah api atau asap beracun yang pasti menyelimuti kami.
Aku menepis pikiran tentang logam yang menghitam, kusut, dan terpilin di pepohonan yang hangus terbakar. Kepalaku tersentak ke depan saat helikopter menerabas deretan pohon yang menjulang tinggi di punggung bukit setinggi sepuluh meter. Helikopter tersentak, mendorong keningku menghantam dinding logam. Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap.
