Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

Dering ponsel membuatku tersadar dari lamunan. Aku merogoh saku dan menjawab panggilan itu.

"Bayu?"

"Papa!" jawabku. "Apa yang sedang terjadi?"

“Oh, Nak, syukurlah kamu masih hidup. Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kamu ada di mana?" papaku bertanya, suaranya bergetar sekaligus lega.

“Aku bersama Sheila. Kami terjebak di atas bianglala di Dunia Fantasi. Sama sekali tidak bergerak. Papa, aku pikir semua orang mati! A-aku tidak tahu. Semuanya begitu… gila, Papa, persis film horor!”

"Kami datang untuk menjemputmu, lalu kita akan pergi ke luar kota."

“Terlalu berbahaya,” kataku. “Aku tahu ini akan terdengar sangat gila, tapi Papa harus percaya padaku. Orang-orang berubah menjadi semacam kanibal… dan mereka menyerang orang.”

"Aku tahu. Jangan khawatir. Papa membawa senjata. Papa janji akan mengeluarkan kalian dari sana. Mengerti, Nak?”

"Kemana kita akan pergi?"

“Abangmu menerbangkan kita ke pulau dengan helikopter ke tempat aman. Wabah ini menyerang semua orang yang ada di pantai. Kita harus pergi jauh dari sini secepat mungkin.”

Di ujung lain telepon, terdengar suara kaca pecah diikuti oleh jeritan melengking mamaku. Aku terkesiap saat sambungan terputus. "Papa!" Aku berteriak. "Papa?"

***

Satu tahun yang lalu, virus mematikan menghancurkan dunia, meninggalkan segerombolan zombie pemakan otak di belakangnya. Para penyintas bergegas ke benteng darurat, kota-kota bertembok yang dilindungi oleh dinding beton yang menjulang tinggi atau kawat berduri yang berlapis-lapis dan kekuatan militer yang dikerahkan semaksimal mungkin.

Aku berhasil mencapai salah satu tempat berlindung yang aman bersama abang dan orang tuaku, dan itu memberi saya kesempatan untuk melewatkan setahun penuh, terlindung dari malapetaka yang mengguncang bumi. Abangku, di sisi lain, memutuskan untuk meninggalkan zona aman dan melanjutkan pertempuran bergabung dengan militer untuk melawan serangan zombie. Dia menjadi pemburu zombie terbaik, tetapi kami, orang tuaku dan aku tidak sering bertemu dengannya setelah itu. Ibuku takut dia tidak akan kembali hidup-hidup, zombie atau bukan zombi.

Awalnya, virus tersebut langsung mengubah siapa saja yang bergolongan darah 0+ atau A+ menjadi zombie. Kami semua tampak aman selama tidak terpapar melalui kulit yang rusak. Kami tidak pernah tahu apa yang sebenarnya menyebabkan wabah itu. Dan ketika para ilmuwan mengira mereka telah cara menangkalnya, virusnya bermutasi. Virus bermutasi, dan sekarang jika seseorang digigit atau dicakar, bisa memakan waktu hingga lima hari sebelum mereka berubah ... kecuali mereka mati, yang berarti perubahan itu segera terjadi.

Aku mencoba memanfaatkan situasi sebaik mungkin. Kondisi kami tidak terlalu buruk. Rumah kami memiliki listrik dan air, dan aku menjalani kehidupan remaja yang cukup normal, sampai aku harus pergi dan membahayakan keselamatanku termasuk masa depanku, demi seorang gadis yang baru saja kutemui. Tapi aku benar-benar tidak punya pilihan.

Dia dijadwalkan untuk disuntik dengan cairan mematikan, dan aku tidak tega melihat itu terjadi. Aku berencana menghentikan eksekusi gtersebut, meskipun aku tahu taruhannya sangat tinggi. Lagi pula, kalau aku sampai tertangkap oleh pihak berwenang, mereka akan segera mengeluarkanku ke Wilayah Zombie. Itu adalah takdir yang tidak ingin aku atau orang tuaku alami, tetapi setelah merenungkannya dan mempertimbangkan pilihanku---dan pilihan gadis itu, (yang tidak ada pilihan lain)---aku menyadari itu adalah keputusan yang harus kuambil. Aku harus menyelamatkannya, apapun yang terjadi, dan aku hanya bisa berharap orangtuaku akan mengerti.

Rencanaku sangat berani, nekat, dan licik, sebagaimana seharusnya sebuah misi penyelamatan. Aku tahu bahwa mengeluarkannya dari klinik dengan cepat, sebelum ada yang menyadarinya, adalah kunci kesuksesan.

Aku merapikan scrub putihku dengan tangan, menyeringai di bawah masker bedah 'pinjaman' saat aku menyesuaikannya. Aku tahu aku akan membutuhkan penyamaran yang bagus untuk melewati para prajurit, dan aku bangga pada diriku sendiri karena dengan mudah mengambil seragam medis dari ruang binatu.

Mario, temanku, tertawa melihatku dalam pakaian katun longgar. "Gue pikir ini model misi James Bond, bukan pesta piyama."

"Ha ha. Sangat lucu," suaraku teredam di balik masker.

Dia menatapku dari atas ke bawah. "Biarpun konyol, tapi lu cocok juga, sih, berperan sebagai mata-mata."

"Yah, agen rahasia entah bagaimana harus menyembunyikan identitas aslinya, kan?"

Aku meninju lengannya, dan dia menyeringai. Beruntung bagiku, Mario punya izin keamanan untuk menyelundupkanku ke area isolasi klinik, dan karena dia punya utang budi padaku, ini saatnya dia membayar.

Aku tahu aku selalu bisa mengandalkan Mario. Dia adalah penggemar olah raga fitness dengan lengan besar, dan dia adalah orang yang cocok dengan peran itu: Dia menjadi prajurit yang sempurna dengan seragam kamuflase, sepatu bot Angkatan Darat, dan kepalanya plontos.

"Lu edan. Risikonya berat, Bro. tapi gue ngerti banget."

Mario menggesekkan kartu ke panel kontrol, dan pintu terbuka dengan bunyi klik keras.

“Hati-hati, Bro. Apa pun yang lu lakuin, jangan anggap sepele. Darahnya udah penuh sama virus. Pemerintah punya alasan bagus untuk menahan dia di karantina.”

"Jangan khawatir. Aku nggak punya niat gabung dengan Komunitas Ahli Gigit dalam waktu dekat, aku janji.” Dengan pandangan terakhir ke belakang, aku masuk melalui pintu baja yang berat. Begitu pintu tertutup di belakangku, aku tersadar: Tidak ada jalan untuk kembali sekarang. Aku menarik napas panjang dan memfokuskan pandanganku ke depan.

Ruangan itu tampak seperti bangsal tidur orang sakit lainnya, lengkap dengan dinding putih yang tampak steril dan aroma obat-obatan yang kuat seperti pemutih. Di paling kanan ada lampu besar yang memancarkan cahaya tak alami ke lantai keramik. Tempat tidur sempit paling kiri dengan seprai putih yang ditata membungkus seorang gadis yang tampak lemah memberi tahuku bahwa aku sudah berada di kamar yang tepat.

Aku melangkah maju dengan ragu-ragu, lalu berhenti, tiba-tiba tidak yakin apakah aku sudah melakukan hal yang benar atau tidak. Bagaimana jika dia sudah berubah? Bagaimana jika sudah terlambat untuk membantunya dan aku mempertaruhkan jiwa ragaku dengan sia-sia?

Bertengkar dengan diriku sendiri, aku mundur selangkah.

Tiba-tiba, Keiko berdiri. Tinjunya terkepal, dan matanya membelalak ketakutan.

Aku mencopot maskerku sebelum dia mendapat kesempatan untuk memukulku. "Hai! Ini aku."

"Bayu!" dia berkata. “Kamu tahu aku sudah … digigit. Tapi kenapa … Kamu seharusnya tidak ke sini. Kamu tahu berdiri dekat aku saja sudah merupakan hukuman mati.”

Perlahan-lahan aku membuka perban dari lengannya dan meringis. Bekas gigitan zombie itu tampak lebih buruk—jauh, jauh lebih buruk—dari yang kuperkirakan. Lendir nanah hijau kehitaman keluar dari luka terbuka di lengan bawahnya. Bau daging busuk menguar di udara.

“Seburuk itu, ya?” Keiko bertanya ketika dia melihat ekspresiku yang mengerikan. Suaranya bergema di dinding putih di ruang isolasi tertutup. Dia menyisir rambut cokelat panjangnya yang acak-acakan dengan jari. “Lucu bagaimana takdir mempertemukan kita. Aku menghabiskan waktu lama untuk mencarimu…”

Suaranya bergetar saat air mata menggenang di mata hijau jamrudnya. "Dan sekarang setelah kita bertemu, aku bahkan tidak akan menghabiskan satu jam saja untuk bersama denganmu."

Aku menghela nafas panjang. “Jangan bicara seperti itu. Kita akan punya banyak waktu bersama—begitu banyak waktu sehingga kamu mungkin akan bosan denganku.”

"Bagaimana kamu bisa bilang begitu? And for your information, aku rasa aku takkan pernah … Aku tak akan pernah bosan denganmu, Bay.”

"Karena aku mungkin punya kesempatan untuk menyembuhkanmu?"

Dia mengangkat alis. "Maksudmu serum eksperimental?"

"Ya, aku mengambil sekantong vial dari lab."

Keiko terkejut. "Apakah kamu tahu apa yang akan terjadi jika kamu tertangkap?"

"Aku tidak peduli. Aku akan melakukan apa saja untuk menyelamatkanmu.”

Aku tidak berbohong. Aku baru mengenal gadis itu beberapa jam, tapi ada sesuatu tentang dia, sesuatu yang berharga untuk diselamatkan, bahkan dengan risiko dipenjara atau mati. Lucunya aku tidak pernah mengira aku punya semacam tekad untuk melakukan misi penyelamatan dengan nyawa melayang sebagai risikonya dalam diriku— terutama untuk seorang gadis yang bahkan tidak kucintai. Tetapi setelah mendengar ceritanya, aku tahu bahwa aku akan melakukan apa saja untuknya. Dia membutuhkanku, dan aku akan selalu berada di sisinya.

“Aku tidak percaya kamu akan melakukan semua ini untukku, seorang asing. Luar biasa. Terima kasih." Dia dengan lembut menyentuh lenganku. "Tapi vial itu belum diuji, jadi tidak ada jaminan."

“Dokter yakin batch ini akan berhasil. Dia memberi tahuku bahwa mereka berada di ambang terobosan besar, jadi patut dicoba.”

Dia tersenyum mendengar optimismeku. “Oke, jika kamu berkata begitu. Beri aku obatnya. Aku lebih suka menjadi kelinci percobaan daripada salah satu pengunyah otak di luar sana.”

“Aku tidak bisa, Kei. Masih terlalu awal. Virus harus ada di sistemmu untuk… yah, perlu waktu sebelum obatnya bekerja.” Aku tidak tega mengatakan kepadanya bahwa obat itu tidak dapat diberikan kepadanya sampai dia berubah menjadi zombie, proses yang biasanya memakan waktu sekitar lima hari dengan mutasi virus sekarang. Ya, dia punya hak untuk tahu, tapi tidak sekarang.

Perlu waktu? Berapa lama sebelum kamu memberikannya padaku?” dia bertanya, lebih terdengar panik dan menuntut.

“Sebentar lagi.”

"Kau tahu aku tidak punya waktu sebanyak itu." Dia memasang kembali perbannya dan merekatkan plester kuat-kuat. “Bersikaplah realistis, Bay. Kamu tahu aturannya. Aku sudah terpapar. Mereka akan segera membunuhku, tentu saja secara manusiawi.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel