Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

Aku tidak tahu berapa lama berada dalam kegelapan yang sunyi dikelilingi oleh hening mencekam. Saat aku berbaring tak sadarkan diri, asap menyerang lubang hidungku, perlahan tapi pasti membuatku tersentak kembali ke kenyataan yang mengerikan: kami jatuh… di Zona Zombie.

Mengerang, aku membuka mata dan menarik napas dalam-dalam, tetapi asap dari logam yang menyala membakar paru-paruku.

Mata Surya dari wajahnya yang kotor menatapku, dan aku mendorongnya menjauh lalu muntah ke rerumputan. Melirik ke sekeliling, aku yakin dia pasti telah mengeluarkan dan menyeretku menjauh dari reruntuhan helikopter. Tanaman merambat, semak-semak liar, dan pohon yang menjulang tinggi mengelilingi kami. Kami menabrak hutan kota.

Abangku berjongkok di sampingku. "Kamu baik-baik aja kan, Bay?" dia bertanya. Suaranya bergetar.

Sinar matahari menerpa kulitku. Bintang menari-nari dalam pandanganku dan kepalaku nyeri, terutama saat aku menggosok benjolan yang terbentuk di sisinya tempat aku terbentur dasbor.

Aku tidak pernah merasa seburuk itu sepanjang hidupku, tapi aku tahu kami harus bergerak. Perlahan aku duduk dan mengusap kepalaku yang berdenyut. "Aku baik-baik saja ... mungkin."

"Bagus, kita beruntung masih hidup." Dia menepuk punggungku. "Aku mencoba radionya, tapi mati."

Saat pikiranku jernih kembali, tiba-tiba aku teringat Keiko. Tunggu… hanya kami berdua?

Rahangku mengeras saat aku melihat ke sekeliling, dengan panik mencari.

"Di mana Keiko?" Aku berseru sebelum menyadari apa yang kukatakan.

Surya menatapku dari bawah alis yang berkerut. “Keiko? Kepalamu pasti terbentur cukup keras. Helikopter kita jatuh karena malfungsi. Kamu nggak ingat, ya?”

Kata-katanya nyaris tak kudengar. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Keiko ada di dalam helikopter apalagi menariknya keluar dari benda sialan itu. Aku yang idiot tidak memberitahunya bahwa Keiko ada di dalamnya.

Mengabaikan pandangan Surya yang bertanya-tanya, aku melompat berdiri dan berlari menuju tumpukan logam yang terbakar. Meliuk melalui celah bergerigi dan naik ke dalam, mengabaikan sobekan logam seperti gigi hiu yang merobek kulit dan pakaianku, lalu terjun menembus api dan asap, mencari Keiko dengan putus asa. Tanganku menukik ke dalam, mengabaikan rasa sakit yang membakar lenganku karena menghantam dasbor saat melindungi diriku selama tabrakan.

"Bay! Kamu ngapain?" teriak Surya memanggilku. “Sudah kubilang radionya tidak berfungsi. Hangus, Bro! Sama seperti otakmu.”

Mengabaikannya, aku terus mencari. Kantung botol hitam tergeletak terbalik di lantai. Aku lega benda itu terbuat plastik dan bukan kaca, jadi tidak pecah, dan masih ada harapan untuk Keiko. Batuk dan tersedak, aku terus terhuyung-huyung melewati reruntuhan.

"Aku tidak akan menjadi orang yang memberi tahu papa mama bahwa otak bodohmu yang membuatmu terbunuh!" Surya kembali berteriak. "Keluar sekarang!"

Asap datang dari mana-mana, dan derak api membuatku takut. Meskipun saya tidak bisa melihat apa-apa, naluriku menyuruh tanganku untuk mengorek puing-puing. Setengah jalan, aku merasa menyentuh sesuatu yang hangat.

Keiko!

Sial, dia tidak bergerak. Apakah dia masih bernapas?

“Keiko! Keiko!”

Aku tersedak, hampir tidak bisa bernapas karena sakit dan asap, jadi aku menariknya.

Aku memeluk tubuhnya yang tampak tak bernyawa dan menyeretnya keluar secepat mungkin.

“Oh, Keiko, aku berjanji semuanya akan baik-baik saja. Jangan sampai kamu mati karena aku.”

Aku meraba mencari denyut nadi di lehernya. Surya berlari ke arah kami. "Siapa dia? Kok dia bisa naik ke burungku?"

“Oh, terima kasih, Tuhan,” kataku.

"Apa?"

"Nadinya masih berdenyut."

Alis Surya menyatu, membuat mukanya gelap suram. “Bay, ada apa ini? Siapa dia?"

Jabanku berupa menggelengkan kepala memberi tanda padanya bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk sejuta pertanyaan.

Aku membaringkan Keiko jauh dari reruntuhan helikopter, khawatir kalau-kalau benda itu meledak seperti yang selalu terjadi di film. "Akan kujelaskan nanti."

Surya memegang pundakku. "Nggak! Kamu harus jelasin sekarang juga. Siapa sih, cewek ini, dan kenapa dia bersama kita?”

Aku berbalik dan menatap Surya dengan tatapan membunuh. "Tenang! Namanya Keiko, dan dia membutuhkan bantuan kita.”

Kami saling adu pandang untuk waktu yang rasanya seperti selamanya.

Kemudian, seolah-olah ada sesuatu yang berbunyi klik, bahu Surya mendadak mengendur. “Keiko, ya? Apa dia baik-baik saja?”

Dia mengusap dahi Keiko. "Dia demam." Kemudian pandangannya beralih ke perban di lengan Keiko dan ke bawahnya. Mendadak napas Surya terengah-engah.

"Dia digigit!"

Surya menatapku tak percaya. "Apa yang kamu pikirkan? Menyelundupkan cewek yang digigit keluar kota? Ini bertentangan dengan protokol, Bay! Belum lagi kamu akan membuat kita semua terbunuh karena kamu membawa zombie bersama kita!”

"Biar kujelaskan..." ragu-ragu aku mengumpulkan kata-kata yang akan kuucapkan, tapi dia memotongku.

“Aku tidak mau dengar, dan aku tidak mau menjadi bagian dari ini. Kamu membantu korban zombie. Apa yang salah dengan otakmu? Kamu tahu tidak ada harapan sembuh untuknya!”

Surya meninju pohon dan tiba-tiba dia menyadari sesuatu. "Tunggu dulu. Kamu bohong ke aku, kan? Kita bukan bawa antibiotik ke dokter. Kamu hanya memanfaatkan aku untuk membantumu membawa cewek itu keluar dari sana! Otakmu nggak bisa jauh dari cewek, ya?”

Aku memalingkan muka. Rasanya sangat bersalah karena membuat kami semua berada dalam situasi yang begitu berbahaya dan berantakan.

"Nggak," bisikku.

“Nggak? Nggak apa? Kamu bawa antibiotik atau nggak bawa? Apa sih, yang ada dalam otakmu?”

"Keduanya."

"Aku nggak percaya kalau ini bukan konspirasi tapi hanya gara-gara kamu kepincut cewek itu."

Surya mengusap rambutnya yang cepak mekar. Tatapannya setajam belati.

“Sekarang jujur saja. Sudah berapa lama kamu kenal cewek ini?” tanya Surya, terdengar seolah-olah dia menantangku untuk memberitahunya jawaban yang sudah dia ketahui dan membuatnya muak.

“Kurang dari sehari.”

Bibirnya membentuk garis lurus. Dia pasti kehilangan kesabaran.

"Aku mempertaruhkan nyawaku untukmu," teriaknya. “Aku meminta izin khusus untuk pergi, dan untuk apa? Supaya kamu bisa melakukan gaya-gayaan begini. Mempertaruhkan nyawa kita untuk seseorang yang malah nggak kamu kenal?”

"Ya, tapi apakah kamu akan membantuku kalau aku memberitahumu siapa sebenarnya Keiko?"

Surya tidak mengatakan apa-apa dan hanya terus menatapku dengan api amarah yang menyala-nyala dan kekecewaan yang menusuk di balik matanya.

"Kamu mau membantuku, nggak?"

Dia melambaikan tangannya dengan emosi. "Nggak! Nggak akan! Nggak seperti ini. Nggak sampai kapan pun! Aku akan mencoba berbicara dengan jenderal dan membantu kalian. Ada cara untuk melakukan sesuatu dan kita harus mengikuti aturan. Kamu hanya—"

"Tunggu, kamu bilang kamu mau berbicara dengan jenderal?"

Aku mendengus, pandanganku tertuju pada pohon-pohon gundul di kejauhan saat aku membayangkan sosok lelaki atasannya itu. Dia sangat membantu seperti pil tidur yang meredam harapan dan impian seseorang. “Kalau itu satu-satunya bantuan yang bisa kamu pikirkan, aku demgan senang hati menolak. Kita sama saja mengubur Keiko begitu bicara dengan bossmu.”

“Lebih baik daripada nasib yang akan dia jalani jika tidak ditidurkan—dan kemungkinan besar kita juga akan menyusul dia. Aku nggak kenal dia, tapi aku yakin dia tidak ingin bangun sebagai monster pemakan daging.”

"Dia memang nggak mau."

"Bagus. Jadi yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan menyelamatkannya! Akmu bukan satu-satunya yang mampu melakukan sesuatu tentang mimpi buruk zombie ini, hanya karena kamu mengabdi untuk negara.”

"Menyelamatkan dia? Kamu? Silakan. Kita akan beruntung jika kita bisa selamat keluar dari sini. Kamu kita bertemu dengan gerombolan zombie, kita sama saja sudah mati. Kita di sini sendirian nggak bisa menghubungi siapa pun. Nggak ada senjata kecuali pistolku, dan kita akan menyeret cewek yang digigit zombie ke mana-mana — sampai dia memutuskan kalau daging kita layak dikonsumsi.”

Surya menggelengkan kepala. "Kamu mempertaruhkan nyawaku untuk seorang gadis yang hampir tidak kau kenal, idiot."

"Maafkan aku," gumamku, kesal. "Tapi serius. Berapa kali aku harus meminta maaf sebelum kamu percaya padaku? Saya benar-benar hanya mencoba melakukan apa yang benar, mencoba membantu seseorang.”

“Permintaan maaf tidak berarti apa-apa kalau kamu melakukan hal yang sama … dan kamu bilang akan melakukannya.”

Dia benar, dan aku tidak bisa membantahnya, jadi aku memilih untuk tetap diam.

Surya mondar-mandir membentuk lingkaran, keningnya berkerut tujuh lipatan. Aku belum pernah melihatnya begitu marah ... atau ketakutan.

“Kita sekarang di pantai utara Jawa Tengah, nggak jauh dari Semarang. Dan tujuan awal kita masih sekitar tujuh ratus kilometer. Kalau mau pulang ke rumah jaraknya lima ratus kilometer. Butuh waktu tiga kali lebih lama untuk kembali karena kita hanya dapat menempuh rute tertentu.”

Dia mengguncang bahuku dan suaranya kembali bergemuruh. “Kamu ngerti nggak, bahaya banget di sini? Ngerti nggak? Kamu nggak pernah mikir karena selama ini aman tentram senang gembira di balik tembok kota pulau reklamasi!”

Aku mendorong Surya sekuat tenaga supaya menjauh.

“Kematian dan kengerian… itu yang dibicarakan semua orang selama berbulan-bulan, tapi—”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel