
Ringkasan
Ketika Keiko digigit zombie dan dijadwalkan untuk disuntik dengan racun yang mematikan, Bayu Alka yang berumur 18 tahun melanggar semua aturan dengan mencuri serum eksperimental. Tapi serum itu tidak dapat diuji sampai Keiko berubah sepenuhnya menjadi zombie, sesuatu yang tidak diinginkan oleh pemerintah. Eksekusi Keiko dijadwalkan terjadi sebelum transformasi selesai. Hanya tersisa beberapa jam saja bagi Bayu untuk membebaskannya. Ketika helikopter mereka terjatuh di pusat wabah, misi penyelamatan berubah menjadi perjuangan untuk bertahan hidup … dan membiarkan Keiko kalah bukanlah pilihan.
BAB 1
Setahun yang lalu...
Hari itu adalah hari yang panas di bulan Juli, dengan cuaca ekstrem dilaporkan mengamuk di seluruh dunia. Meskipun malam mulai turun dan suhu sudah terasa dingin, bajuku masih menempel di punggung. Aku bertanya-tanya apa gunanya mandi tadi sore sebelum bertemu Sheila.
Embusan angin bertiup melewati rambutku saat kami naik ke atas bianglala dan kemudian berhenti, melayang di udara. Aku menarik napas, rileks, dan mendengarkan jeritan, musik, dan tawa di kejauhan yang bergema di bawah kami.
Sheila meletakkan boneka gajah merah muda yang kumenangkan untuknya dalam permainan lempara cincin dan melipat tangannya di pangkuan, menikmati kesunyian. Aku memberanikan diri untuk melihat boneka binatang itu, bertarung dengan diriku sendiri apakah harus bangga atau nyungsep ke dalam sumur. Anak-anak di sekolah pasti akan menyarankan yang terakhir, tapi aku tidak peduli.
Memang, itu bukan boneka beruang besar yang membuatku menghabiskan selembar lima puluh untuk mencoba mendapatkannya, tetapi Sheila tampak senang dengan hadiah merah jambu kecilnya yang ‘wah’. Dia meremas tanganku, dan aku tersenyum.
Aku menggoyangkan kereta maju mundur dengan kakiku.
"Hai! Hentikan, ”kata Sheila, jari-jarinya menjambak rambutku.
“Tapi kamu bilang kamu menyukainya kalau keretanya bergoyang saat di puncak. Aku juga. Aku suka sensasi.”
Dia tersenyum dan mengedipkan matanya. Sikapnya yang menggoda membuatku ku beringsut lebih dekat dan melingkarkan lenganku ke pinggangnya dan menariknya lebih dekat. "Kamu jangan nakal," bisiknya. Matanya berbinar.
Kami sudah saling menyukai selama berbulan-bulan, dan tanpa malu-malu kami mencuri pandang satu sama lain sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajaknya kencan. Itu adalah kencan pertama kami, dan aku sangat ingin mencium bibirnya. "Bagaimana kalau aku menciummu?" tanyaku sambil tersenyum.
Dia memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir.
Pada saat bersamaan, terdengar jeritan melengking bergema dari bawah kami. Melupakan kesempatan pertamaku untuk mencium seorang gadis, aku mengintip ke bawah ke dalam kegelapan massa yang berkumpul.
"Apa yang terjadi?" tanya Sheila.
"Aku tidak tahu."
Aku memicingkan mata untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik, tetapi batang baja bianglala menghalangi sebagian besar pandanganku dari tempat kami bergelantungan. Yang bisa kulihat hanyalah lampu merah dan biru berkedip di kejauhan, berkedip seirama dengan suara sirene yang meraung.
Aku mencondongkan tubuh ke luar dan menghitung lima mobil polisi melaju ke tengah jalan.
"Apa yang terjadi?" Sheila bertanya lagi, kali ini lebih pelan, seolah dia berbicara pada dirinya sendiri.
Aku tidak memperhatikannya karena sibuk mengamati keributan di bawah. Seorang pria jatuh ke tanah. Pada saat yang sama, sekelompok orang menerkamnya. Dari atas, mereka tampak seperti menyerangnya dengan tangan dan kaki telanjang.
Sheila meraih bahuku dan meremasnya dengan keras untuk menarik perhatianku. “Ya ampun, Bay! Sekelompok preman menyerang orang-orang yang mengantre.”
Aku menggelengkan kepala.
Itu tidak mungkin. Kami tinggal di daerah kota wisata keluarga. Kasus kejahatan paling parah hanyalah anak-anak remaja mengutil cokelat dari minimarket setempat atau wanita tua yang mengeluh tentang sampah yang berserakan di taman setelah Sabtu malam di halaman rumahnya. Tingkat kejahatan sangat rendah sehingga pelanggaran ringan menjadi halaman depan surat kabar.
Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali terjadi pertengkaran di depan umum atau terjadinya tawuran.
"Mungkin bukan apa-apa," kataku. Otakku berusaha mengalihkan perhatian dari apa yang terjadi di depan mataku.
“Sepertinya tidak ada apa-apa,” kata Sheila. "Maenurutmu mereka memakai narkoba?"
Aku mengangkat bahu, ragu-ragu. Tidak cukup naif untuk berpikir bahwa tidak ada narkoba di tempatku tinggal, tetapi melihat efeknya membuat aku takut.
Dor! Dor!
Sebelum aku bisa menjawab, suara tembakan bergema dari mobil polisi yang mendekat. Aku memeluk Sheila dan memaksa kepalanya menunduk seperti yang kulihat di film dan televisi. "Sepertinya polisi menembaki kerumunan!" aku berteriak.
"Tidak! Tidak mungkin polisi menembak masyarakat.” Sheila mencengkeram dadanya. “Adikku ada di bawah sana. Aku harap dia baik-baik saja.”
Kereta tersentak ke depan. Saat kami mulai turun, Sheila mencondongkan tubuh ke arahku untuk melihat lampu yang berkelap-kelip.
Aku mencengkeram tangannya. “Kita akan menemukan adikmu. Aku berjanji."
“Makasih, Bay.”
Jerit mengerikan merobek udara, diikuti oleh geraman dan desisan.
"Suara apa itu?" tanya Sheila, dengan panik melirik ke bawah kami.
Mengintip melewati bola lampu kuning yang berkelap-kelip di sekelilingku, aku mencoba melihat apa yang terjadi di bawah. Naluriku menyuruhku bersiaga akan bahaya yang akan kami hadapi. Aku tahu peluru nyasar bisa mengenai kami, atau salah satu orang yang gila karena narkoba mungkin memutuskan untuk menyerang kami. Kami harus keluar dari sana, cepat, sebelum sesuatu terjadi. Angin dingin menerpaku saat kereta berhenti.
Aku memeriksa ke sekeliling area mencari rute pelarian terbaik. Orang-orang gila menggigit dan mencabik-cabik mereka yang berteriak-teriak. Darah menodai pakaian dan aspal di bawah kaki mereka. Perutku mual, siap untuk memuntahkan burger, permen kapas, dan apapun yang kumakan tadi.
Aku ingin menjerit, Ini pasti mimpi! Orang-orang tidak mungkin saling gigit seperti kanibal! Itu pasti ada pembuatan video prank. Tapi aku tahu dari bau logam asin aneh yang menyebar di udara bahwa darah itu terlalu nyata. Itu bukan lelucon, tapi hal paling menjijikkan yang pernah kulihat dalam hidupku!
"Bay, apa yang terjadi?" tanya Sheila sambil mengguncang bahuku dengan panik.
"Aku tidak tahu, tapi kita harus keluar dari sini."
Orang-orang seperti kerasukan berjalan ke arah kami. Denyut nadiku berdebar kencang. Aku berputar cepat dengan harapan bisa keluar ke arah lain, tapi pintu masuk diblokir dengan lebih banyak orang yang masuk. Pembatas jalur jatuh ke tanah dengan dentang keras.
"Kita terjebak!" kata Sheila sambil mencengkeram lenganku erat-erat.
"Tidak!" Aku menggeleng. “Jangan berpikir begitu. Kita harus memanjat bianglala.”
"Dan jika itu tidak berhasil?"
Aku ragu-ragu, mempertimbangkan kata-kataku. “Kalau begitu kita melawan,” kataku, berusaha melawan bau busuk yang menusuk hidung.
Suara parau—geraman aneh—terpancar dari kelompok itu saat mereka menatap kami seolah ingin merobek daging kami. Kulit mereka kehijauan dan pecah-pecah, pakaian robek, dan mata putih. Lensa kontak? Katarak yang parah? Efek khusus? Aku tidak tahu, tapi aku harus siap untuk menghadapi mereka.
Seorang gadis berambut hitam panjang beringsut mendekat. Dia tampak pucat, kepalanya miring secara tidak wajar. Aku mengenalnya: adik Sheila!
"Yeyen!" teriak Sheila. Suaranya diliputi emosi. "Ya ampun! Apa yang terjadi denganmu? Kamu membuatku takut.”
Yeyen tiba-tiba menerjangku, membuka rahangnya seperti anjing gila. Hanya beberapa sentimeter lagi giginya akan terbenam di leherku ketika seorang polisi melepaskan tembakan.
Yeyen—atau apa pun dia— terlempar ke tanah.
Terkejut, Sheila membungkuk ke pintu kereta bianglala, melepaskan boneka gajahnya sehingga jatuh ke tanah, tepat di sosok mayat yang terlihat seperti Yeyen. Tatapannya menghunjam ke polisi yang memegang pistol. "Kamu menembak adikku!"
"Maaf, nona, tapi itu bukan adikmu lagi!" polisi balas berteriak. "Dia akan membunuh dan memakan kalian berdua!"
Lebih banyak dari kelompok yang kerasukan bergerak ke arah kami. Jantungku berdegup kencang. Aku mengepalkan tinjuku, siap untuk menjatuhkan apa pun yang menghalangi jalanku. Menyelipkan kakiku melewati palang, bersiap untuk melompat keluar dari kereta dan melawan ketika salah satu polisi meraba-raba kendali wahana tersebut.
Kami naik dengan sentakan keras. Aku jatuh kembali ke pelukan Sheila, dan kami terangkat sekitar dua meter di udara.
Makhluk-makhluk itu menerjang kami, menggoyang-goyangkan bagian bawah kereta begitu keras hingga kami hampir terjatuh. Sheila menempel padaku dengan cengkeraman yang menyesakkan dada. Kelompok itu melanjutkan nyanyian parau mereka, dan aku bersumpah aku terjebak dalam semacam mimpi buruk resolusi tinggi.
"Apakah mereka itu?" Sheila berteriak di telingaku. "Apa yang sedang terjadi? Apa yang terjadi pada Yeyen? Kenapa dia… dia jadi seperti itu?”
Aku memantapkan diri dengan memegang batang baja dengan satu tangan dan melingkarkan tangan lainnya di pinggang Sheila sambil mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Di bawah kami, sekelompok orang yang kesurupan tampaknya telah berlipat ganda, mengangkat tangan mereka seolah-olah mereka juga ingin menumpang.
Aku mengintip lagi dari pinggir pintu kereta dan langsung menyesalinya. Seluruh penampakan seperti sesuatu yang keluar dari film horor. Darah menutupi pakaian dan melapisi kulit mereka.
Beberapa makhluk itu terseok-seok menuju ke arah petugas yang menembak siapa pun — atau apa pun — yang terlalu dekat. "Tunggu, anak-anak!" kata petugas itu. Dengan sentakan lain, kami melesat ke atas, berhenti di puncak. Kali ini, mengguncang kereta untuk bersenang-senang atau bercumbu adalah hal terakhir yang ada di pikiranku.
“Polisi itu… dia… polisi itu menembak adikku!” Kata Sheila di antara terengah-engah. Dia membenamkan wajahnya ke dadaku dan menangis. Aku menariknya mendekat, tidak yakin kata-kata penghiburan apa yang harus kuberikan padanya. Lebih banyak tembakan dilepaskan, diikuti oleh teriakan yang menusuk telinga dan kemudian … sunyi, tak ada apa-apa. Kepanikan pun terjadi karena penumpang lain masih tertahan di berbagai posisi.
Lebih baik berada di atas sini daripada di bawah sana, pikirku.
Kami setidaknya berada 50 meter di udara, dan itu membuatku merasa aman dari apa pun yang terjadi di bawah.
