Terjebak dalam Perasaan
Alin terbangun dengan perasaan aneh. Bukan karena ia berada di tempat asing, tapi karena ia merasa nyaman.
Ia masih ingat bagaimana semalam Arya menatapnya seolah ia adalah segalanya. Bagaimana pria itu memeluknya dengan lembut, berbeda dari sebelumnya.
Seharusnya ia takut.
Seharusnya ia merasa terancam.
Tapi kenapa… hatinya justru terasa hangat?
---
Kebersamaan yang Membingungkan
Saat ia membuka mata, ia melihat Arya duduk di kursi dekat jendela, matanya lurus menatapnya.
Alin menelan ludah.
> “Sejak kapan kau di situ?” tanyanya pelan.
Arya menyeringai kecil. “Sejak aku terbangun.”
Jantung Alin berdegup kencang. “Kau mengawasiku tidur?”
Alih-alih menjawab, Arya bangkit, lalu berjalan mendekatinya. Jemarinya menyentuh pipi Alin, menyapu helaian rambut yang jatuh di wajahnya.
> “Kau terlihat begitu damai saat tidur,” bisiknya. “Seolah kau mulai percaya padaku.”
Alin terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
> “Dan aku ingin itu terjadi, Alin.”
Arya menunduk, mendekatkan wajahnya. Jarak mereka hanya beberapa inci.
> “Aku ingin kau mempercayaiku… aku ingin kau mencintaiku.”
Detak jantung Alin semakin cepat.
> “Aku ingin kau melihatku bukan sebagai seseorang yang mengekangmu…”
> “Tapi sebagai seseorang yang mencintaimu lebih dari siapa pun.”
Hatinya terasa bergetar.
Arya benar-benar berbahaya.
Bukan hanya karena obsesinya.
Tapi karena ia mulai mengaburkan batas antara cinta dan ketakutan di hati Alin.
---
Antara Realita dan Perasaan
Tanpa sadar, Alin membiarkan Arya menyentuh wajahnya. Jari-jarinya yang dingin terasa kontras dengan kulitnya yang hangat.
> “Aku ingin kau bersamaku, Alin,” bisiknya. “Bukan karena kau takut… tapi karena kau mau.”
Kata-kata itu membuat dada Alin semakin sesak.
Bagaimana bisa pria yang dulu menakutinya kini terdengar begitu meyakinkan?
Bagaimana bisa ia, yang seharusnya ingin lari, justru terjebak dalam kebingungan ini?
Saat Arya mengecup keningnya dengan lembut, Alin memejamkan mata.
Ia tahu ia harus tetap waras.
Tapi ia tidak bisa menyangkal… bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai melihat Arya dengan cara yang berbeda.
Alin masih diam, membiarkan sentuhan Arya mengalir di kulitnya. Seharusnya ia menolak. Seharusnya ia menjauh.
Tapi kehangatan yang diberikan pria itu membuatnya bimbang.
> “Aku bisa membuatmu bahagia, Alin,” bisik Arya. “Jika kau berhenti melawanku.”
Matanya menatap dalam, seolah berusaha menembus hati Alin yang masih penuh kebingungan.
---
Janji Manis yang Berbahaya
Alin menelan ludah, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang perlahan menggerogoti hatinya.
> “Apa kau benar-benar mencintaiku, Arya?” tanyanya akhirnya.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia justru tersenyum, senyum yang misterius sekaligus menggoda.
> “Aku terobsesi padamu, Alin.”
> “Aku menginginkanmu lebih dari apa pun.”
> “Dan jika itu bukan cinta, lalu apa?”
Napas Alin tercekat. Arya tidak menjawab pertanyaannya dengan cara yang benar, tapi kenapa ia tetap merasa tersentuh?
Pria itu kemudian menarik tangannya, membawanya ke dadanya yang bidang.
> “Rasakan ini,” katanya.
Detak jantungnya terasa cepat dan kuat di bawah telapak tangan Alin.
> “Bersamamu, aku hidup.”
> “Tanpamu, aku hancur.”
Kalimat itu seperti rantai yang semakin kuat menjerat hati Alin.
Seharusnya ia takut. Seharusnya ia tidak percaya.
Tapi kenapa… ia mulai merasa bahwa mungkin, Arya benar-benar tidak bisa tanpanya?
---
Pelarian yang Semakin Sulit
Arya mendekat lagi, napasnya menghangatkan wajah Alin.
> “Biarkan aku mencintaimu,” katanya lembut. “Tanpa perlawanan.”
Sebuah ciuman jatuh di puncak kepala Alin.
Kemudian di keningnya.
Di pipinya.
Dan saat bibir Arya hampir menyentuh bibirnya, Alin tersadar.
Tidak.
Ia tidak boleh jatuh lebih dalam.
Dengan cepat, ia menarik wajahnya menjauh, matanya penuh kebingungan.
> “Aku… aku butuh waktu,” bisiknya.
Arya menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas.
> “Baiklah.”
Untuk pertama kalinya, pria itu tidak memaksa.
Namun sebelum ia melepaskan Alin sepenuhnya, jemarinya menyentuh dagu gadis itu sekali lagi, menatapnya dengan sorot penuh kepemilikan.
> “Tapi ingat, Alin…”
> “Kau milikku. Dan pada akhirnya, kau akan kembali ke pelukanku.”
Dan dengan itu, Alin sadar… tidak ada jalan keluar yang benar-benar terbuka untuknya.
Alin menatap sarapan yang dibawa Arya. Dadanya terasa sesak.
Kenapa pria ini semakin sulit ditebak?
Dulu, ia adalah seseorang yang menakutkan, mengancam, dan tidak ragu untuk memaksanya. Tapi kini… Arya menunjukkan sisi yang berbeda—sisi yang lembut, perhatian, dan bahkan membuat Alin merasa dihargai.
Apakah ini bagian dari rencananya?
Atau… apakah perasaannya memang nyata?
---
Rayuan yang Membuat Lupa
Saat Alin masih ragu, Arya menarik kursi dan duduk di hadapannya. Tatapannya lembut, tapi tetap tajam.
> “Aku ingin kau makan dengan tenang, tanpa takut atau ragu.”
Alin menelan ludah. “Kenapa kau berubah seperti ini, Arya?”
Arya tersenyum kecil. “Apa aku tidak boleh bersikap baik pada wanita yang kucintai?”
Jantung Alin berdebar. Kata “cinta” itu terasa berbahaya.
> “Dulu kau bilang kau menginginkanku karena obsesi,” bisik Alin.
> “Sekarang kau bilang kau mencintaiku… mana yang benar?”
Arya menatapnya lama, lalu mengangkat tangan untuk menyentuh pipi Alin.
> “Aku ingin kau di sisiku, dengan cara apa pun.”
> “Obsesi, cinta… apa pun namanya, aku hanya ingin kau menjadi milikku sepenuhnya.”
Alin merasakan hawa panas menyebar ke seluruh tubuhnya.
Ia seharusnya takut.
Ia seharusnya menolak.
Tapi kenapa hatinya perlahan goyah?
---
Terkunci dalam Pelukan
Tanpa sadar, jemari Alin mengepal di atas pangkuannya.
Ia masih ingin bertahan. Ia masih ingin menjaga dirinya agar tidak jatuh lebih dalam.
Tapi saat Arya bergerak lebih dekat, mendekapnya dari samping, semua pikirannya seakan menghilang.
> “Aku tak ingin kau lari lagi, Alin,” bisik Arya di telinganya.
> “Aku akan membuatmu sadar bahwa hanya aku yang bisa mencintaimu seperti ini.”
Dada Alin bergetar hebat.
Apa benar tidak ada jalan keluar lagi?
Atau… apakah ia benar-benar mulai menginginkan pria ini?
Alin mencoba mengatur napasnya, tapi pelukan Arya terlalu erat, terlalu menghangatkannya dalam cara yang tidak seharusnya.
> “Arya…,” bisiknya, ragu.
Pria itu tidak menjawab, hanya mengeratkan lengannya di pinggang Alin, seolah tidak ingin gadis itu menjauh sedikit pun.
> “Aku hanya ingin kau merasa aman bersamaku,” bisiknya.
Aman?
Alin ingin tertawa miris.
Bagaimana mungkin ia bisa merasa aman di sisi pria yang begitu mengikatnya?
Tapi anehnya… ia tidak bisa menyangkal bahwa hatinya mulai terasa nyaman.
---
Saat Hati dan Logika Bertarung
Arya melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah Alin dengan ekspresi yang sulit ditebak.
> “Aku tahu kau masih takut,” katanya.
> “Aku tahu kau masih berpikir untuk lari dariku.”
Matanya yang gelap semakin dalam.
> “Tapi semakin lama kau di sini, semakin kau sadar bahwa aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
Dada Alin terasa sesak.
Ia tahu itu.
Ia tahu sejak awal, tidak ada jalan keluar dari Arya.
Tapi kenapa… semakin hari, hatinya semakin melemah?
Kenapa ia mulai membiarkan dirinya percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, Arya benar-benar mencintainya?
---
Janji yang Mengikat
Arya meraih tangan Alin dan mengecupnya dengan lembut.
> “Aku tidak ingin menjadi seseorang yang kau takuti, Alin,” bisiknya.
> “Aku ingin menjadi satu-satunya tempat kau kembali.”
Jantung Alin berdebar semakin keras.
Ia ingin menyangkal.
Ia ingin berkata bahwa itu tidak mungkin.
Tapi bibirnya membeku.
Karena jauh di lubuk hatinya, ia mulai merasa…
Ia mulai melihat Arya bukan lagi sebagai ancaman.
Melainkan sebagai seseorang yang perlahan mengisi kekosongan di hatinya.
Dan itu lebih berbahaya dari apa pun.
Alin masih terdiam. Hatinya berperang dengan logikanya.
Seharusnya ia tidak boleh membiarkan Arya semakin masuk ke dalam hatinya. Tapi setiap sentuhan, setiap kata-kata pria itu, perlahan mengikis ketakutannya.
> "Aku tidak ingin menjadi seseorang yang kau takuti, Alin," kata Arya lagi, jemarinya masih menggenggam tangannya erat.
> "Aku ingin kau melihatku sebagai seseorang yang mencintaimu."
Alin menatap pria itu lama. Apa ini nyata?
Atau hanya manipulasi lain?
---
Perasaan yang Semakin Kacau
Ketika Arya menariknya ke dalam pelukan lagi, Alin tidak segera menolak.
Dulu, ia pasti sudah melawan.
Tapi kini, tubuhnya diam… seolah mulai terbiasa dengan kehadiran Arya.
> "Aku ingin kau bahagia bersamaku, Alin," bisik Arya di telinganya.
> "Aku ingin kau berhenti memikirkan cara untuk pergi… karena aku akan selalu menemukanmu."
Alin merasakan tubuhnya menegang.
Kata-kata itu seperti ancaman, tapi kenapa terdengar begitu lembut?
---
Antara Lari dan Bertahan
Alin menggigit bibirnya. Ia masih memiliki pilihan untuk melawan, untuk mencari cara keluar dari semua ini.
Tapi jika ia jujur pada dirinya sendiri…
> Mungkinkah ia benar-benar ingin pergi?
Hatinya mulai goyah.
Dulu, ia yakin bahwa ia membenci Arya.
Dulu, ia yakin bahwa pria ini hanya seorang penculik yang menahannya karena obsesi.
Tapi semakin lama ia di sini, semakin sulit baginya untuk mengabaikan fakta lain—bahwa mungkin, hanya mungkin, ia mulai melihat Arya dalam cara yang berbeda.
Dan itu… adalah sesuatu yang lebih menakutkan dari apa pun.
