Cinta atau Ketakutan
Alin berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang gelap. Udara terasa berat, seberat pikirannya yang semakin kacau.
Di belakangnya, Arya duduk di sofa, matanya tak pernah lepas dari dirinya.
> "Kenapa kau terus melihatku seperti itu?" tanya Alin pelan.
Arya menyeringai, tatapannya penuh arti. "Karena aku takut kau akan menghilang."
> "Aku masih di sini," balas Alin. "Aku tidak akan ke mana-mana."
Arya bangkit dari duduknya, berjalan mendekat. "Benarkah?"
Alin menelan ludah saat pria itu berdiri tepat di belakangnya. Ia bisa merasakan hawa panas tubuh Arya, bisa mendengar napasnya yang stabil.
> "Atau kau hanya berkata begitu karena kau belum menemukan cara untuk lari?"
Alin terdiam.
Pria ini selalu tahu apa yang ada di pikiranku.
---
Jebakan yang Manis
Arya menyentuh bahunya, membuat Alin menegang.
> "Aku ingin kau di sini bukan karena takut," katanya. "Tapi karena kau ingin bersama denganku."
> "Aku tidak ingin ada kebohongan di antara kita, Alin."
Alin menutup matanya.
Bagaimana jika yang ia rasakan saat ini bukan kebohongan?
Bagaimana jika… ia benar-benar mulai merasa nyaman di sisi Arya?
---
Ketika Logika Tidak Lagi Bekerja
Arya berbalik dan menatapnya dalam.
> "Aku tahu kau membenciku dulu."
> "Aku tahu kau ingin pergi."
> "Tapi lihat dirimu sekarang, Alin."
Arya meraih dagunya, memaksanya menatap mata gelap itu.
> "Lihatlah bagaimana kau mulai menyerah pada perasaanmu sendiri."
Jantung Alin berdetak semakin cepat.
Ia ingin menyangkal, tapi kata-kata itu benar.
Ia tidak tahu lagi… apa yang lebih besar dalam dirinya sekarang—cinta atau ketakutan?
Alin mencoba menarik napas dalam, tapi kehadiran Arya begitu mendominasi, membuat dadanya terasa sesak.
Seharusnya ia masih ingin melawan. Seharusnya ia masih ingin lari.
Tapi setiap kali ia menatap mata gelap pria itu, sesuatu di dalam dirinya melemah.
> Apa ini benar-benar ketakutan… atau sesuatu yang lain?
---
Godaan yang Semakin Sulit Ditolak
Arya masih menatapnya tajam, jari-jarinya perlahan mengusap pipi Alin.
> "Kau bisa lari sekarang, jika kau benar-benar mau," katanya dengan suara rendah.
Alin membeku.
Itu adalah pertama kalinya Arya memberinya pilihan seperti itu.
Tapi kenapa… kenapa kakinya tidak bergerak?
> "Kau tidak bergerak, Alin," Arya berbisik, semakin mendekat. "Kau masih di sini."
Ia tersenyum kecil, seolah mengetahui sesuatu yang bahkan Alin sendiri belum menyadarinya.
> "Mungkin karena jauh di lubuk hatimu, kau mulai menginginkanku juga."
---
Ketakutan yang Berubah Menjadi Kerinduan
Alin menggigit bibirnya, mencoba membantah.
> "Aku hanya… bingung, Arya," katanya, suaranya hampir tak terdengar.
> "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Arya menariknya ke dalam pelukan, jemarinya mengusap lembut punggungnya.
> "Tidak apa-apa," bisiknya. "Kau tidak perlu melawan perasaanmu sendiri."
Alin menutup matanya.
Seharusnya ia melepaskan diri. Seharusnya ia menolak.
Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa… nyaman.
Seolah, jika ia memilih untuk tetap di sini, ia tidak akan lagi merasa sendirian.
---
Sebuah Janji yang Mengikat
Arya melepaskan pelukannya sedikit, cukup untuk menatap mata Alin.
> "Aku tidak akan memaksamu, Alin."
> "Tapi aku akan membuatmu sadar bahwa aku adalah satu-satunya pria yang bisa mencintaimu seperti ini."
Tatapan Arya begitu dalam, seolah menembus pertahanannya.
Alin merasa seluruh tubuhnya melemah.
Ia tidak bisa lari.
Dan mungkin… ia tidak lagi ingin lari.
Alin masih diam dalam dekapan Arya. Pikirannya kacau, emosinya berantakan.
Dulu, ia membenci pria ini.
Dulu, ia ingin melarikan diri.
Tapi sekarang?
Kenapa dadanya terasa hangat setiap kali Arya menyentuhnya?
Kenapa ia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dari dirinya yang… menikmati kedekatan ini?
---
Antara Kebingungan dan Keinginan
Arya mengangkat dagu Alin, memaksanya menatap ke dalam mata gelapnya.
> "Kau tahu, Alin… semakin kau berusaha menyangkal, semakin aku tahu kau mulai menerimaku."
Alin menggigit bibirnya, mencoba menolak kata-kata itu.
> "Aku hanya… aku tidak tahu apa yang aku rasakan."
Arya tersenyum kecil, tatapannya lembut namun penuh kepemilikan.
> "Aku tahu. Dan aku tidak akan terburu-buru, Sayang."
Tangannya mengusap pipi Alin dengan lembut, sentuhan yang seharusnya ia tolak, tapi entah kenapa… ia membiarkannya.
---
Daya Tarik yang Tidak Bisa Dihindari
Alin bisa merasakan jantungnya berdegup kencang saat Arya semakin mendekat.
> "Aku bisa mencium ketakutanmu, tapi aku juga bisa merasakan bagaimana tubuhmu merespon kehadiranku," bisiknya.
Alin menahan napas. Pria ini berbahaya.
Bukan karena ancamannya.
Tapi karena ia bisa membuat Alin melupakan segalanya.
Dan saat Arya mengecup keningnya dengan lembut, sesuatu di dalam dirinya runtuh.
Ia seharusnya melawan.
Tapi kenapa… ia tidak ingin menjauh?
---
Jebakan yang Semakin Dalam
Arya menarik diri sedikit, masih menatapnya dengan intens.
> "Aku tidak akan memaksamu, Alin. Tapi aku tahu kau akan memilihku pada akhirnya."
Apakah itu benar?
Alin tidak lagi yakin dengan jawabannya.
Yang ia tahu… semakin lama berada di sisi Arya, semakin sulit baginya untuk pergi.
Alin masih berdiri terpaku. Kata-kata Arya terus terngiang di kepalanya.
> "Aku tahu kau akan memilihku pada akhirnya."
Apa benar ia akan memilih Arya?
Dulu, jawabannya pasti tidak.
Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi… kenapa ia tidak bisa lagi meyakinkan dirinya sendiri?
---
Saat Hati dan Logika Berperang
Alin mundur selangkah, mencoba menjauh dari tatapan intens Arya.
> "Aku butuh waktu," katanya pelan.
Arya mengangkat alisnya, seolah sudah menduga jawaban itu.
> "Waktu?" Ia tersenyum kecil. "Baiklah. Aku akan memberimu waktu, Sayang."
> "Tapi jangan berharap aku akan berhenti membuatmu jatuh cinta padaku."
Alin menelan ludah.
Kenapa pria ini selalu bicara dengan begitu percaya diri?
Dan yang lebih mengerikan… kenapa keyakinannya perlahan mulai terasa masuk akal?
---
Godaan yang Tidak Bisa Dihindari
Saat Alin berbalik untuk pergi, Arya menarik tangannya, membuatnya kembali berhadapan dengan pria itu.
> "Kau bisa menjauh dariku sekarang," bisik Arya.
> "Tapi aku ingin melihat berapa lama kau bisa bertahan tanpa mencariku."
Alin terdiam.
Ia tidak ingin mencari Arya… bukan?
Tapi kenapa dadanya terasa kosong saat pria itu berkata begitu?
Kenapa ada ketakutan aneh bahwa mungkin, ia memang mulai terbiasa dengan kehadiran Arya?
---
Jebakan yang Semakin Dalam
Arya mengecup punggung tangannya sebelum akhirnya melepaskan genggaman itu.
> "Pergilah, Alin. Tapi ingat satu hal."
> "Sejauh apa pun kau pergi, aku tetap ada di dalam pikiranmu."
Jantung Alin berdebar kencang.
Ia melangkah pergi, tapi satu hal mengganggunya sepanjang malam.
Apa benar ia masih ingin lari?
Atau mungkin… ia hanya menunggu alasan untuk kembali?
