Cinta dalam Genggaman
Alin duduk diam di dalam mobil, tangannya mengepal di pangkuannya. Napasnya masih tidak beraturan setelah apa yang baru saja terjadi.
Arya tidak langsung berbicara. Tangannya kokoh di kemudi, ekspresinya sulit ditebak.
Tapi Alin bisa merasakan sesuatu yang berbeda di udara.
Bukan kemarahan.
Bukan ancaman.
Tapi sesuatu yang lebih lembut.
Sesampainya di apartemen Arya, pria itu mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke arahnya.
> “Ayo masuk.”
Alin menggigit bibir. Ia tidak ingin pergi ke dalam. Tidak ingin merasa lebih terperangkap dari sebelumnya.
Tapi saat ia tidak bergerak, Arya melakukan sesuatu yang tidak ia duga.
Ia meraih tangan Alin, menggenggamnya dengan hangat.
> “Aku tidak ingin menyakitimu, Alin,” bisiknya. “Aku hanya ingin kau tetap di sisiku.”
Alin terkejut. Ia menatap wajah Arya, mencari kebohongan dalam matanya.
Tapi yang ia temukan justru kejujuran yang dalam.
---
Pelukan yang Tak Terduga
Begitu mereka masuk, Alin bersiap menghadapi kemarahan. Mungkin Arya akan mengurungnya lagi, mengawasinya lebih ketat.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Begitu pintu tertutup, Arya menariknya ke dalam pelukan.
Dekat. Terlalu dekat.
Jantung Alin berdegup lebih cepat. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Arya, bisa mendengar detak jantungnya.
> “Aku takut kehilanganmu,” bisik Arya. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya.”
Alin membeku. Sejak kapan Arya menunjukkan sisi seperti ini?
Sisi yang rapuh.
Sisi yang tidak ingin melepaskannya karena takut—bukan hanya karena obsesi.
> “Aku tidak bisa hidup tanpa kau, Alin.”
Arya menunduk, bibirnya hanya beberapa inci dari wajah Alin.
> “Katakan… bahwa kau tidak akan pergi lagi.”
Alin menelan ludah. Ia tahu ini kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan Arya.
Maka, dengan suara pelan, ia berbisik, “Aku tidak akan pergi.”
Senyum tipis muncul di wajah Arya sebelum ia akhirnya menutup jarak di antara mereka.
Dan untuk pertama kalinya, ciuman Arya bukanlah hukuman.
Tapi ungkapan dari perasaan yang lebih dalam.
Ciuman Arya terasa hangat, lembut, dan perlahan menguasai Alin sepenuhnya. Tidak seperti sebelumnya—tidak ada paksaan kali ini.
Hanya perasaan yang mengalir begitu saja.
Alin seharusnya mendorongnya pergi. Ia seharusnya mengingat semua hal buruk yang Arya lakukan padanya.
Tapi ketika tangan pria itu melingkar di pinggangnya, menariknya lebih dekat, ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
> “Kau milikku, Alin,” bisik Arya di sela-sela ciuman mereka. “Hanya milikku.”
Alin menutup matanya. Ia tahu ia seharusnya takut. Seharusnya melawan.
Tapi saat Arya mencium keningnya dengan penuh kelembutan, jemarinya membelai pipinya seolah ia adalah sesuatu yang berharga—Alin mulai goyah.
Bagaimana bisa seseorang yang begitu berbahaya juga memiliki sisi yang begitu memikat?
---
Dunia Milik Berdua
Malam itu, Arya tidak mengatakan apa-apa lagi.
Ia hanya duduk di sofa dengan Alin dalam pelukannya, membiarkan keheningan berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
> “Aku tidak akan pernah melepaskanmu,” ucapnya akhirnya.
Alin menggigit bibirnya. “Kenapa?”
Arya menatap matanya dalam-dalam, jari-jarinya mengusap lembut rambutnya.
> “Karena aku mencintaimu.”
Cinta.
Alin menelan ludah. Ia ingin menyangkalnya, ingin berkata bahwa apa yang mereka alami ini bukan cinta, tapi obsesi.
Namun saat Arya menyentuh pipinya dengan begitu lembut, mendekatkan wajah mereka hingga napas mereka bertaut…
Alin merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia juga mulai jatuh ke dalam genggaman pria ini.
Alin merasakan kehangatan Arya menyelimutinya, jantungnya masih berdetak kencang setelah kata-kata itu keluar dari bibir pria itu.
> "Karena aku mencintaimu."
Seharusnya ia tidak mempercayainya. Seharusnya ia mengingat semua luka dan ketakutan yang pernah Arya berikan padanya.
Tapi saat tangan Arya bergerak lembut di sepanjang lengannya, saat ia mendekapnya dengan cara yang begitu berbeda malam ini—tanpa paksaan, tanpa kemarahan—Alin mulai bertanya-tanya.
Benarkah pria ini mencintainya?
Ataukah ini hanya trik lain untuk membuatnya tetap berada dalam genggamannya?
---
Di Bawah Langit Malam
"Ikut aku sebentar," kata Arya tiba-tiba.
Alin menatapnya ragu. "Kemana?"
Alih-alih menjawab, Arya menarik tangannya, membawanya keluar ke balkon apartemennya. Angin malam yang sejuk menerpa kulit mereka, dan kota di bawah tampak berkilauan dengan lampu-lampu gedung yang tak pernah tidur.
Alin menghela napas. "Kenapa kita di sini?"
Arya berdiri di belakangnya, jemarinya menyentuh bahu Alin dengan lembut sebelum bergerak turun, menyusuri lengannya. "Aku ingin kau tahu satu hal, Alin…"
Ia membalikkan tubuhnya perlahan hingga kini mereka berhadapan. Mata Arya tampak lebih lembut dari sebelumnya, penuh dengan sesuatu yang hampir membuat Alin lupa betapa berbahayanya pria ini.
> "Aku mungkin keras kepala. Aku mungkin menakutkan bagimu. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah…"
Arya meraih tangan Alin, menggenggamnya erat.
> "Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Kata-katanya menggema dalam dada Alin, menciptakan kekacauan yang tak bisa ia mengerti.
Haruskah ia percaya?
Haruskah ia tetap berusaha melarikan diri?
Atau… haruskah ia menyerah kepada perasaan yang perlahan mulai tumbuh dalam hatinya?
Saat itu, Arya menunduk, menyentuh keningnya dengan begitu lembut hingga Alin menutup mata.
Dan sebelum ia bisa berpikir lebih jauh… bibir Arya kembali menemukan bibirnya.
Kali ini, Alin tidak menolak.
Ciuman Arya semakin dalam, semakin menuntut, tapi tetap lembut. Seolah ia ingin menunjukkan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Alin seharusnya menjauh. Seharusnya menolak.
Tapi tubuhnya seakan tak mau bergerak.
Ia tenggelam dalam hangatnya sentuhan Arya.
---
Perasaan yang Mengacaukan
Saat ciuman mereka terlepas, Arya menatapnya lama. Tangannya masih mengusap pipi Alin, seolah gadis itu adalah sesuatu yang rapuh dan harus dijaga.
> “Aku ingin kau percaya padaku,” suaranya serak.
Alin menggigit bibir. Percaya? Setelah semua yang terjadi?
Tapi cara Arya menyentuhnya malam ini… berbeda.
> “Aku tahu aku sudah melakukan banyak hal yang membuatmu takut,” lanjut Arya pelan. “Tapi aku akan memperbaikinya, Alin. Aku bersumpah.”
Matanya penuh ketulusan yang hampir menakutkan.
> “Aku tidak bisa kehilangannya dirimu.”
Hati Alin berdebar keras.
Apa ini?
Apa ini perasaan yang disebut cinta? Atau hanya permainan berbahaya yang sedang Arya mainkan?
---
Dalam Pelukan Arya
Tanpa sadar, Alin membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan Arya.
Pria itu memeluknya erat, dagunya bertumpu di puncak kepala Alin. Hangat. Nyaman.
> “Aku ingin kau bahagia, Alin,” bisiknya. “Aku ingin kau tetap di sini, bersamaku.”
Alin menutup mata.
Mungkin, hanya untuk malam ini, ia bisa berpura-pura bahwa semua ini bukan salah.
Bahwa ia bisa jatuh cinta pada pria yang begitu berbahaya ini.
Bahwa mungkin, cinta mereka tidak hanya sebatas obsesi, tapi sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Pelukan Arya terasa begitu hangat, seolah ia ingin menenangkan semua ketakutan Alin. Tangannya membelai lembut punggung gadis itu, membuat Alin merasakan sesuatu yang aneh—sesuatu yang perlahan menggoyahkan pertahanannya.
> "Alin..." Arya berbisik di telinganya, suaranya begitu dalam dan penuh emosi.
> "Aku tak pernah mencintai seseorang seperti aku mencintaimu."
Alin terdiam. Kata-kata itu terasa berbahaya.
Bukan hanya karena berasal dari Arya, tapi karena hatinya mulai ingin mempercayainya.
---
Malam yang Tenang, Tapi Berbahaya
Arya menarik wajahnya sedikit, matanya menatap Alin dengan intensitas yang membuatnya sulit bernapas.
> "Kau percaya padaku?" tanyanya pelan, jemarinya menyentuh dagu Alin, mengangkatnya agar gadis itu menatapnya.
Alin menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Ia tidak bisa berkata "ya", tapi ia juga tak sanggup berkata "tidak."
Alih-alih menjawab, ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Arya.
Namun, pria itu tidak membiarkannya. Ia mengusap pipi Alin dengan lembut, lalu mengecup keningnya pelan.
> "Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi."
Suara itu terdengar seperti janji sekaligus ancaman.
Dan Alin tahu... semakin ia tenggelam dalam dunia Arya, semakin sulit baginya untuk keluar.
---
Ketika Rasa Takut dan Cinta Menjadi Satu
Malam itu, Arya tidak berkata banyak lagi. Ia hanya membawa Alin ke kamarnya, menutup selimut di tubuh gadis itu, lalu duduk di tepi ranjang.
Tatapannya begitu lembut, berbeda dari sebelumnya.
> "Tidurlah."
> "Kau aman bersamaku."
Aman?
Alin ingin tertawa miris. Seharusnya ia merasa terancam. Seharusnya ia memikirkan cara melarikan diri.
Tapi untuk pertama kalinya… ia merasa nyaman di sisi Arya.
