
Ringkasan
Alin adalah wanita mandiri dengan karier yang gemilang di kota besar. Hidupnya berjalan sesuai rencana, hingga ia bertemu Arya—pria tampan, sukses, dan penuh pesona. Awalnya, perhatian Arya membuat Alin merasa istimewa, seolah ia adalah satu-satunya wanita di dunia.Namun, seiring waktu, perhatian itu berubah menjadi obsesi. Arya tidak hanya mencintai Alin, tetapi juga ingin menguasainya. Ia mengontrol setiap aspek kehidupan Alin—dari siapa yang boleh ditemui, ke mana boleh pergi, hingga apa yang harus dilakukan. Alin yang dulu bebas kini terjebak dalam hubungan yang semakin mencekik.Setiap kali ia mencoba pergi, Arya selalu menariknya kembali—dengan janji, ancaman, atau cinta yang manis tapi beracun. Alin tahu hubungan ini tidak sehat, tetapi bisakah ia benar-benar melepaskan diri dari pria yang telah mengklaimnya sebagai miliknya?Ketika cinta berubah menjadi ketergantungan, dan obsesi menjadi penjara, hanya satu pertanyaan yang tersisa: Apakah Alin bisa melarikan diri, atau selamanya menjadi milik Arya?---
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Alin tidak pernah menyangka bahwa hidupnya yang tenang akan berubah begitu drastis hanya karena satu pertemuan. Sebagai wanita mandiri, ia selalu percaya bahwa dirinya bisa mengendalikan segalanya—pekerjaan, perasaan, bahkan masa depannya sendiri. Namun, semua itu runtuh begitu ia bertemu Arya.
Malam itu, kota berkilauan dengan lampu-lampu neon yang menyala di sepanjang jalanan. Alin baru saja keluar dari sebuah acara gala yang diadakan oleh perusahaannya. Dengan gaun hitam elegan dan sepatu hak tinggi yang mulai membuat kakinya pegal, ia berjalan menuju tempat parkir.
– Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Kota masih sibuk meskipun malam telah larut. Lampu-lampu gedung perkantoran belum sepenuhnya padam, dan lalu lintas di jalan utama masih ramai. Alin baru saja menghadiri acara gala tahunan perusahaan tempatnya bekerja. Malam itu, ia tampil sempurna dengan gaun hitam berpotongan simpel namun elegan, rambut panjangnya dibiarkan terurai, dan wajahnya dihiasi riasan ringan yang menonjolkan kecantikannya tanpa berlebihan.
Namun, di balik semua itu, Alin hanya ingin pulang dan beristirahat.
Ia berjalan cepat menuju tempat parkir, berharap bisa segera sampai ke apartemennya. Sepatu hak tingginya mulai menyakitkan, dan ia tidak sabar untuk melepaskannya begitu masuk ke mobil.
Saat itulah suara itu terdengar.
> “Seorang wanita cantik seharusnya tidak berjalan sendirian malam-malam begini.”
Alin terkejut dan menoleh. Di sana, seorang pria berdiri di dekat mobilnya. Tingginya lebih dari 180 cm, tubuhnya tegap, dan wajahnya memiliki garis-garis tegas yang menunjukkan ketampanan khas pria dewasa. Setelan hitam yang dikenakannya terlihat mahal, seperti seseorang yang terbiasa berada di puncak dunia bisnis.
Alin mengernyit. “Maaf, Anda siapa?”
Pria itu tersenyum tipis, ekspresinya tenang tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. “Arya.”
Hanya satu kata, namun caranya mengucapkannya seakan nama itu harus diingat.
Alin tidak mengenalnya. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan. Namun, cara pria itu menatapnya seolah mereka sudah pernah bertemu sebelumnya.
> “Aku bisa mengantarmu pulang,” lanjut Arya tanpa ragu.
Alin menggeleng. “Terima kasih, tapi aku membawa mobil sendiri.”
“Sendirian?”
Alin merasa nada suara Arya terlalu menekan, seakan ia sedang menanyai seseorang yang harusnya tunduk padanya. Perasaan tidak nyaman mulai muncul di dadanya.
> “Aku bisa menjaga diriku sendiri,” jawab Alin tegas.
Arya menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku yakin ini bukan pertemuan terakhir kita, Alin.”
Alin mengerutkan kening. Kapan ia memberitahu namanya?
Namun, sebelum ia sempat bertanya, Arya sudah berbalik pergi, meninggalkannya dalam kebingungan.
“Seorang wanita cantik seharusnya tidak berjalan sendirian malam-malam begini.”
Suara berat itu membuatnya menoleh. Di sana, berdiri seorang pria dengan setelan hitam yang terlihat begitu mahal. Tatapannya tajam, penuh percaya diri, seolah dunia berada dalam genggamannya.
Arya.
Itu adalah pertama kalinya Alin mendengar namanya. Pria itu menawarkan tumpangan, dan meskipun nalurinya mengatakan untuk menolak, ada sesuatu dalam sorot mata Arya yang membuatnya ragu. Sejak malam itu, hidup Alin tak lagi sama.
Malam itu, meskipun pertemuan dengan Arya hanya berlangsung singkat, ada sesuatu yang terus mengganggu pikiran Alin. Tatapan pria itu, suaranya yang tenang namun penuh keyakinan, serta cara ia menyebut namanya—seolah mereka sudah saling mengenal lama.
Alin menghela napas, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Setelah masuk ke dalam mobilnya, ia segera melajukan kendaraan menuju apartemen.
Tetapi, pertemuannya dengan Arya bukanlah kebetulan.
---
Beberapa Hari Kemudian
Pagi itu, Alin sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Ia adalah seorang marketing strategist di salah satu perusahaan terbesar di kota, dan hari ini ia memiliki presentasi penting di depan klien besar. Dengan kemeja putih yang dipadukan dengan rok pensil hitam, ia terlihat profesional dan siap menghadapi tantangan.
Namun, begitu ia memasuki ruang rapat, langkahnya terhenti.
Di sana, duduk di kursi utama, adalah Arya.
Alin merasakan detak jantungnya meningkat. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis, tatapan matanya seolah mengatakan bahwa ia memang sudah memperkirakan momen ini.
> "Selamat pagi, Alin," sapa Arya dengan nada lembut, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya terdengar seperti perintah.
Alin mengerjap, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Selamat pagi,” jawabnya, berusaha tetap profesional.
Manajernya segera memperkenalkan Arya sebagai CEO dari perusahaan yang akan bekerja sama dengan mereka. Alin terpaksa menekan rasa tidak nyamannya dan fokus pada presentasi. Namun, sepanjang pertemuan itu, ia bisa merasakan tatapan Arya yang terus mengawasinya, seakan menelanjangi setiap gerak-geriknya.
Saat rapat selesai, semua orang mulai beranjak keluar, tetapi suara Arya menahannya.
> “Alin, bisa sebentar?”
Manajernya tersenyum kecil. “Tentu, ini kesempatan bagus untuk membangun hubungan dengan klien besar.”
Alin tidak punya pilihan.
Saat semua orang pergi, hanya mereka berdua yang tersisa di ruangan. Arya berdiri dari kursinya, melangkah mendekat dengan gerakan yang tenang dan terukur.
> “Aku bilang kita akan bertemu lagi, kan?” katanya sambil menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Alin menatapnya tajam. “Apakah ini kebetulan?”
Arya menyeringai. “Aku tidak percaya pada kebetulan.”
Alin merasa ada sesuatu yang lebih besar terjadi di sini. “Apa yang kau inginkan, Arya?” tanyanya, mencoba tetap tenang.
Pria itu menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan nada rendah dan dalam.
> “Kamu.”
Jantung Alin berdetak lebih cepat. Ia ingin membalas, mengatakan bahwa Arya tidak bisa begitu saja mengklaimnya, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya terdiam.
Dan sejak hari itu, Arya tidak pernah membiarkan Alin pergi begitu saja.
Sejak hari itu, kehadiran Arya dalam hidup Alin bukan lagi sesuatu yang bisa dihindari.
Awalnya, ia hanya muncul di kantor—sesekali datang untuk rapat, berdiskusi dengan manajemen, atau sekadar berbicara dengan CEO perusahaan tempat Alin bekerja. Namun, entah bagaimana, setiap kali Arya ada di sana, ia selalu menemukan cara untuk berbicara dengan Alin.
Kadang-kadang itu hanyalah sapaan singkat saat mereka berpapasan di lorong. Kadang-kadang itu adalah undangan makan siang yang sulit ditolak karena melibatkan klien penting.
Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa semua itu bukan kebetulan.
Suatu Malam, di Sebuah Restoran Mewah
Alin tidak tahu bagaimana ia bisa duduk di meja ini bersama Arya.
Ia awalnya menolak ajakan makan malam ini, tetapi ketika manajernya sendiri menyarankan agar ia hadir demi hubungan kerja sama perusahaan, Alin tidak punya pilihan.
Restoran itu mewah, dengan pencahayaan redup yang menciptakan suasana intim. Pelayan menyajikan anggur merah ke dalam gelas kristal di hadapan mereka, tetapi Alin tidak menyentuhnya.
> "Kau tampak tegang," komentar Arya sambil mengaduk perlahan minumannya.
Alin menegakkan punggungnya. “Aku hanya merasa ini tidak profesional.”
Arya tersenyum kecil. "Ini hanya makan malam, Alin. Lagipula, kita bekerja sama sekarang. Bukankah lebih baik jika kita saling mengenal lebih baik?"
Alin tidak bisa menyangkal bahwa pria di hadapannya ini memiliki aura yang kuat. Cara bicaranya, cara matanya menatapnya seakan melihat sesuatu yang lebih dalam dari yang lain bisa lihat. Itu membuatnya merasa... rentan.
> "Aku tidak terbiasa dengan perhatian seperti ini," katanya jujur.
Arya meletakkan gelasnya dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
> "Mungkin sudah waktunya kau terbiasa."
Kalimat itu diucapkan dengan tenang, tetapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat Alin menggigit bibirnya. Ia merasa seperti sedang diperingatkan—atau mungkin diberi tahu tentang sesuatu yang sudah ditentukan sebelumnya.
Sejak malam itu, Alin mulai menyadari bahwa Arya tidak hanya tertarik padanya.
Arya menginginkannya.
Dan pria seperti Arya tidak akan menerima penolakan.
Setelah makan malam itu, Arya tidak lagi hanya sekadar sosok asing yang muncul sesekali di kehidupan Alin. Ia mulai hadir dalam berbagai aspek hidupnya—baik secara langsung maupun tidak.
Awalnya, itu hanya kebetulan.
Alin pergi ke kafe favoritnya, dan Arya sudah duduk di sana, seolah menunggunya.
Alin berjalan pulang ke apartemennya larut malam, dan sebuah mobil berhenti di dekatnya—jendelanya turun, memperlihatkan wajah Arya yang tersenyum.
Bahkan di kantor, setiap kali ia merasa bisa menghindarinya, entah bagaimana Arya selalu menemukan cara untuk muncul.
> “Aku merasa seperti sedang diawasi,” keluh Alin suatu hari pada sahabatnya, Rina.
Rina mengangkat alisnya. “Oleh siapa?”
> “Arya.”
Rina menghela napas. “Alin, dia pria sukses dan jelas tertarik padamu. Itu bukan sesuatu yang buruk, kan?”
Alin menggigit bibirnya. “Tapi... perasaanku tidak nyaman. Seakan dia selalu tahu di mana aku berada.”
Rina tertawa kecil. “Kamu mungkin hanya berpikir terlalu jauh. Mungkin ini cuma kebetulan.”
Tapi Alin tahu ini bukan sekadar kebetulan.
---
Pertengkaran Pertama
Sore itu, Alin menerima pesan dari nomor tak dikenal.
"Jangan pulang sendirian malam ini. Aku jemput jam 7."
Alin mengerutkan kening. Tanpa berpikir panjang, ia membalas.
"Maaf, tapi aku ada janji lain."
Tidak sampai satu menit, teleponnya berdering. Arya.
Alin menghela napas dan mengangkatnya. “Halo?”
> "Janji dengan siapa?"
Suara Arya terdengar datar, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
> "Teman."
> "Pria atau wanita?"
Alin merasa rahangnya mengeras. “Arya, itu bukan urusanmu.”
Hening beberapa detik.
> “Jangan pergi.”
Alin terkejut. “Apa?”
> “Aku tidak suka kamu bersama pria lain.”
Alin meremas ponselnya. “Arya, kita bahkan tidak memiliki hubungan apa pun. Kau tidak bisa mengaturku.”
> “Kalau begitu, kita buat hubungan itu.”
Alin terdiam. Ia ingin tertawa karena betapa absurdnya ini. Mereka baru mengenal beberapa minggu, dan Arya sudah berbicara seolah mereka harus bersama.
> “Tidak semudah itu,” kata Alin akhirnya.
> “Alin.”
Ada nada peringatan dalam suara Arya, tetapi Alin memutus panggilan sebelum bisa mendengar lebih jauh.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini belum berakhir.
