Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mencoba Melarikan Diri

Alin tidak bisa berpikir jernih. Arya berdiri di hadapannya, menutup pintu dengan tenang seolah memiliki semua waktu di dunia.

> “Kau tidak perlu takut, Alin,” ucapnya pelan. “Aku hanya ingin memastikan kau tetap di tempat yang seharusnya.”

Alin menelan ludah. Setiap nalurinya berteriak bahwa ia harus segera keluar dari sini.

> “Aku… aku butuh udara,” katanya, mencoba terdengar tenang.

Arya tersenyum tipis. “Tentu.”

Tapi saat Alin mencoba melangkah ke pintu, Arya langsung menahannya dengan satu tangan di bahunya. Sentuhannya ringan, tapi cukup untuk membuat Alin sadar bahwa ia tidak akan dibiarkan pergi begitu saja.

> “Kita perlu bicara dulu.”

Alin mengangguk cepat, berpura-pura setuju.

> “Baik. Tapi biarkan aku duduk dulu.”

Arya mengamati wajahnya, lalu akhirnya mengangguk.

Alin berjalan ke sofa dengan hati-hati, berpura-pura menenangkan diri. Tapi saat Arya sedikit lengah, ia langsung menyambar gelas kaca di atas meja dan melemparkannya ke lantai.

PRAANG!

Kaca pecah berserakan. Dalam sepersekian detik kebingungan Arya, Alin berlari ke pintu dengan seluruh tenaga.

Tangannya hampir mencapai gagang pintu—

Tapi sebelum ia sempat membukanya, Arya menariknya kembali dengan kuat.

> “Alin.” Suara Arya kini lebih dingin. “Aku tidak suka cara ini.”

Alin meronta. “Lepaskan aku, Arya!”

Tapi Arya terlalu kuat. Dengan mudah, ia menarik Alin ke dalam pelukannya dan membiarkan gadis itu memberontak sia-sia.

> “Aku sudah bersabar,” bisiknya. “Tapi kau terus mencoba melawan.”

Alin menggigit bibirnya. Matanya mulai memanas, tapi ia menolak menangis.

Arya menatapnya dengan ekspresi tajam, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, perlahan, ia mengangkat dagu Alin dengan ujung jarinya.

> “Mungkin aku harus membuatmu mengerti.”

Alin menahan napas. “Mengerti apa?”

> “Bahwa kau hanya milikku.”

---

Di Bawah Kendali Arya

Sejak malam itu, Alin merasa semakin terkurung.

Arya mulai muncul di mana-mana. Ia menjemputnya di kantor tanpa izin, mengatur siapa yang bisa berbicara dengannya, bahkan mengawasi isi ponselnya.

Saat Alin mencoba mengganti nomor teleponnya, hanya dalam waktu satu jam, Arya sudah menghubunginya dengan nomor baru.

> “Jangan mencoba menyembunyikan diri dariku, Alin.”

Alin mulai kehilangan harapan.

Bagaimana cara keluar dari ini?

---

Cahaya Kecil di Tengah Kegelapan

Suatu hari, saat sedang bekerja, seseorang menyelipkan secarik kertas ke mejanya.

Hati Alin berdegup kencang. Ia melirik ke sekitar, memastikan Arya tidak ada di dekatnya, lalu membaca pesan itu.

> “Jika kau ingin bebas, temui aku di tempat biasa. – R”

Rina!

Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, harapan kembali muncul di dalam diri Alin.

Mungkin… masih ada jalan keluar.

Alin meremas kertas kecil itu, jantungnya berdegup kencang.

Rina… dia masih berusaha membantuku.

Tapi bagaimana ia bisa pergi tanpa Arya mengetahuinya?

Selama ini, pria itu selalu tahu setiap langkahnya. Jika ia melakukan kesalahan sedikit saja, Arya pasti akan mencurigai sesuatu.

Namun, ia tidak bisa terus begini. Jika ia tidak mengambil kesempatan ini, mungkin ia tidak akan pernah bisa lepas dari genggaman Arya.

Aku harus melarikan diri.

---

Persiapan yang Berisiko

Alin mulai menyusun rencana dalam diam.

Ia menyadari bahwa jika ia tiba-tiba menghilang, Arya akan mencarinya. Maka, ia harus membuatnya terlihat seolah tidak ada yang berubah.

> Langkah pertama: Bersikap normal.

Ia tetap membalas pesan Arya seperti biasa, tetap tersenyum saat pria itu menjemputnya, dan tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan.

> Langkah kedua: Menyiapkan segala sesuatu dengan hati-hati.

Setiap kali ia pergi bekerja, ia menyelundupkan barang-barang penting ke dalam laci kantor—pakaian ganti, uang tunai, dan dokumen yang mungkin ia butuhkan jika harus pergi jauh.

> Langkah ketiga: Memilih momen yang tepat.

Jika ia ingin berhasil, ia harus menunggu saat di mana Arya lengah.

Tapi kapan itu akan terjadi?

Jawabannya datang lebih cepat dari yang ia duga.

---

Kesempatan Emas

Malam itu, Arya mengirim pesan.

> “Aku ada urusan malam ini. Aku akan menjemputmu besok.”

Ini pertama kalinya dalam beberapa minggu Arya tidak mengawasinya secara langsung.

Alin tahu—ini adalah satu-satunya kesempatan.

Tanpa membuang waktu, ia mengemasi barang-barangnya, mengambil tas yang sudah ia sembunyikan di kantor, dan bergegas menuju tempat yang dijanjikan Rina.

Ia tidak menoleh ke belakang.

Tidak ada lagi keraguan.

Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini belum berakhir.

Arya tidak akan tinggal diam.

Dan jika ia tertangkap… konsekuensinya bisa lebih buruk dari yang pernah ia bayangkan.

Langkah Alin terasa berat saat ia berjalan keluar dari apartemennya. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya ketakutannya yang membuatnya gemetar.

Ia harus berhasil kali ini.

Jari-jarinya mencengkeram tali tas erat-erat. Setiap suara langkah di belakangnya membuatnya ingin berlari.

> Tenang, Alin. Jangan panik.

Rina pasti sudah menunggunya.

---

Pertemuan yang Dinanti

Begitu sampai di tempat yang dijanjikan—sebuah kafe kecil yang sepi di pinggiran kota—Alin langsung melihat Rina duduk di pojok, wajahnya tegang.

> “Kau berhasil,” bisik Rina begitu Alin duduk.

Alin mengangguk, tapi ketakutan masih membekapnya.

> “Aku tidak tahu berapa lama sebelum dia menyadarinya.”

Rina meraih tangan Alin. “Kau bisa tinggal di tempatku sementara waktu. Aku sudah bicara dengan seseorang yang bisa membantumu pergi jauh dari sini.”

Alin menatap sahabatnya dengan penuh harapan. “Kau yakin?”

> “Ya. Tapi kita harus bergerak cepat.”

Alin mengangguk. Ia ingin percaya bahwa ini akhirnya kesempatan untuk bebas.

Tapi harapan itu hancur dalam sekejap.

Karena saat itulah pintu kafe terbuka.

Dan di ambang pintu, Arya berdiri dengan tatapan gelapnya.

---

Ketahuan

Darah Alin terasa membeku. Rina juga menegang, matanya membulat ketakutan.

Arya tidak langsung mendekat. Ia hanya berdiri di sana, menatap lurus ke arah mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.

> “Alin,” panggilnya pelan, tapi penuh otoritas.

Alin tidak menjawab. Ia merasakan jemari Rina mencengkeram tangannya dengan erat.

> “Bagaimana dia tahu?” bisik Rina panik.

Alin juga tidak tahu. Ia sudah membuang pelacaknya, memastikan ponselnya bersih.

Tapi… bagaimana jika ada sesuatu yang lain?

> Bagaimana jika Arya tidak pernah benar-benar kehilangan kendali?

Arya mulai melangkah mendekat. Setiap langkahnya begitu tenang, seolah ia tahu bahwa Alin tidak punya tempat untuk lari lagi.

> “Ayo pulang.”

Alin menelan ludah.

> “Aku tidak mau,” bisiknya.

Wajah Arya tetap datar, tapi matanya berkilat dengan sesuatu yang berbahaya.

> “Alin,” katanya lebih pelan, tapi suaranya kini bergetar. “Jangan buat aku kehilangan kesabaran.”

Hati Alin berdegup semakin kencang. Rina menatapnya dengan cemas.

Ia harus mengambil keputusan sekarang.

Alin merasakan tangannya dingin. Rina masih menggenggamnya erat, seolah memberikan keberanian. Tapi bagaimana mungkin ia bisa merasa berani ketika Arya berdiri tepat di hadapannya?

> “Alin.” Suara Arya terdengar lebih dalam. Lebih dingin. “Aku akan menghitung sampai tiga.”

> “Jika kau tidak berdiri dan ikut denganku… aku akan mengambil tindakan yang tidak akan kau suka.”

Rina menegang di sampingnya. “Jangan dengarkan dia,” bisiknya. “Aku sudah menghubungi seseorang. Kita bisa keluar dari sini.”

Tapi Alin tahu tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar bisa menyembunyikannya dari Arya.

---

Peringatan Terakhir

> “Satu.”

Arya melangkah lebih dekat. Orang-orang di kafe mulai memperhatikan, tapi tidak ada yang berani ikut campur.

> “Dua.”

Alin menahan napas. Ia bisa melihat bagaimana rahang Arya mengeras, bagaimana matanya penuh dengan tekad berbahaya.

Ia tidak bercanda. Jika ia tidak menurut, sesuatu yang buruk akan terjadi.

Rina menekan tangannya lebih kuat, mencoba menguatkannya. Tapi saat itu, Alin tahu hanya ada satu pilihan yang bisa ia ambil.

Ia tidak bisa melawan Arya sekarang.

> “Tiga.”

Alin menutup matanya, lalu—dengan suara hampir tak terdengar—ia berkata, “Baik. Aku ikut.”

---

Di Bawah Kendali Lagi

Wajah Arya melunak sedikit, tapi tatapan kepemilikannya tetap ada. Tanpa ragu, ia menarik tangan Alin dan membawanya keluar kafe.

Rina langsung berdiri. “Alin, jangan—”

Tapi satu tatapan dingin Arya cukup untuk membuatnya diam.

> “Jangan ikut campur.”

Alin ingin menangis. Ia ingin mengatakan sesuatu pada Rina, ingin meminta maaf.

Tapi Arya menggenggam tangannya erat, seolah mengingatkan bahwa dia sekarang kembali dalam genggamannya.

Saat mereka sampai di mobil, Arya membuka pintu untuknya.

> “Masuk.”

Alin menurut. Ia tahu tidak ada gunanya melawan sekarang.

Ketika mobil melaju, Alin akhirnya berbisik, “Bagaimana kau menemukanku?”

Arya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke depan, mengemudi dengan ekspresi kosong.

Lalu, setelah beberapa detik hening, ia berkata,

> “Aku selalu tahu di mana kau berada, Alin. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi.”

Dan saat itu, Alin menyadari—dia telah kehilangan kebebasannya sepenuhnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel