Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jerat yang Tak Terlihat

Alin berpikir bahwa setelah menutup telepon malam itu, semuanya akan selesai. Bahwa Arya akan mengerti batasan dan berhenti mengganggunya.

Tapi ternyata, itu hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit.

Keesokan Harinya

Alin tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin fokus bekerja dan mengabaikan semua hal yang mengganggu pikirannya, terutama tentang Arya.

Namun, begitu ia memasuki ruangannya, sebuah buket mawar merah besar sudah ada di atas mejanya. Warnanya begitu mencolok, dan aromanya memenuhi seluruh ruangan.

Kepalanya langsung terasa berat.

Ia tidak perlu melihat kartu kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu untuk tahu siapa pengirimnya. Tapi tetap saja, tangannya bergerak meraihnya.

> “Aku tidak suka ditolak. Tapi aku bisa bersabar. Untuk sekarang. – Arya”

Alin menghela napas panjang. Perasaan tidak nyaman semakin menyesakkan dadanya.

---

Hari-hari berikutnya menjadi semakin aneh.

Setiap pagi, selalu ada sesuatu dari Arya di mejanya—entah itu bunga, cokelat, atau sekadar secarik kertas dengan kalimat yang membuatnya merinding.

Rekan-rekannya mulai bertanya-tanya tentang hubungan mereka, dan gosip mulai menyebar bahwa Alin memiliki hubungan spesial dengan CEO dari perusahaan rekanan.

Setiap kali ia mencoba mengabaikan Arya, pria itu selalu muncul di saat yang tidak terduga. Seperti sedang mengawasi.

Satu kali, Alin pulang larut malam karena pekerjaan. Begitu keluar dari kantor, ia merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri—perasaan bahwa seseorang sedang memperhatikannya.

Dan benar saja.

Di seberang jalan, sebuah mobil hitam terparkir. Lampunya menyala, mesinnya hidup, tetapi tidak ada pergerakan.

Alin mempercepat langkahnya, mencoba berpikir positif. Tapi ketika ia masuk ke dalam taksi dan melihat ke luar jendela, mobil itu mulai bergerak pelan, mengikuti dari kejauhan.

Jantungnya berdegup kencang.

> Jangan paranoid, Alin. Itu bisa saja kebetulan.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu.

Ini bukan kebetulan. Ini Arya.

Malam itu, di apartemen Alin

Alin masuk ke dalam apartemennya dengan perasaan tidak tenang. Ia segera mengunci pintu dan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Itu hanya perasaanmu saja. Dia tidak mungkin se-obsesif itu, kan?

Tapi pikirannya berkhianat. Semua kejadian belakangan ini membuatnya semakin yakin bahwa Arya bukan pria biasa.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Arya: “Sudah sampai rumah?”

Alin merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya membesar saat membaca pesan itu. Bagaimana Arya tahu ia baru saja sampai di rumah?

Tangannya gemetar saat mengetik balasan.

Alin: “Bagaimana kau tahu?”

Pesannya hanya berstatus terkirim selama beberapa detik sebelum tanda "dibaca" muncul. Lalu, balasan datang.

Arya: “Aku tahu banyak hal tentangmu, Alin.”

Perutnya terasa mual. Ia buru-buru menutup tirai jendela, merasa seolah sedang diawasi.

---

Hari-hari yang Mencekik

Sejak malam itu, Alin mulai melihat perubahan besar dalam hidupnya.

1. Setiap pagi, mobil Arya sudah terparkir di dekat kantornya.

Ia tidak pernah turun, hanya menunggu, seolah memastikan Alin benar-benar datang bekerja.

2. Setiap kali Alin keluar dengan teman-temannya, entah bagaimana Arya selalu tahu.

Suatu malam, ia pergi makan malam dengan rekan kerja pria. Tak lama setelah mereka duduk, pelayan menghampirinya dan menyerahkan sebuah catatan kecil.

> “Pilih temanmu dengan lebih hati-hati. – A”

Alin langsung merasa darahnya membeku. Ia menoleh ke sekeliling restoran, mencari sosok Arya, tetapi tidak menemukannya.

3. Orang-orang mulai menjauh.

Beberapa teman kantornya mulai bersikap lebih hati-hati saat berbicara dengannya. Bahkan Rina, sahabatnya, mulai ragu untuk bertemu terlalu sering.

> “Aku hanya tidak ingin terlibat, Lin,” kata Rina saat Alin mengajaknya bertemu.

> “Terlibat dalam apa?”

> Rina menghela napas. “Semua orang tahu Arya tertarik padamu. Dan kalau dia menginginkan sesuatu, dia akan mendapatkannya. Aku tidak ingin jadi masalah.”

Alin merasa dunianya semakin menyempit.

---

Puncak Ketakutan

Suatu malam, Alin pulang lebih awal. Ia merasa kelelahan dan ingin tidur lebih cepat.

Namun, saat ia membuka pintu apartemennya, langkahnya terhenti.

Di meja ruang tamunya, ada sekotak cokelat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Di sebelahnya, ada sebuah kartu kecil.

Tangannya gemetar saat meraihnya.

> “Aku bilang aku bisa bersabar. Tapi jangan terlalu lama, Alin.”

> – Arya

Matanya membesar.

Pintunya terkunci sebelum ia pergi tadi pagi. Tidak ada yang memiliki kunci cadangan.

Jadi... bagaimana Arya bisa masuk?

Alin menjatuhkan kartu itu, dadanya naik turun cepat. Ia segera mengunci pintu dan meraih ponselnya. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor polisi.

Namun, sebelum ia sempat menelepon—ponselnya bergetar.

Arya menelepon.

Alin menelan ludah, menatap layar yang berkedip dengan nama pria itu.

Ia ingin mengabaikannya.

Tapi, apa yang akan terjadi jika ia tidak mengangkatnya?

Tangannya perlahan bergerak, dan dengan jantung berdetak keras, ia menekan tombol hijau.

> “Arya…” suaranya hampir berbisik.

> “Kamu terlihat ketakutan,” suara Arya terdengar rendah, tenang, dan itu membuatnya semakin ngeri.

> “Bagaimana kau bisa masuk ke apartemenku?”

> “Kamu milikku, Alin. Kamu hanya belum menyadarinya.”

Dan sejak saat itu, Alin tahu bahwa Arya tidak akan pernah membiarkannya pergi.

Alin tidak bisa tidur malam itu. Setelah menerima pesan dari Arya dan menemukan bukti bahwa seseorang telah masuk ke apartemennya, ia merasa seolah-olah setiap sudut ruangan penuh dengan mata yang mengawasi.

Setiap suara kecil membuatnya tersentak. Setiap bayangan di jendela terasa seperti sosok yang mengintai.

Akhirnya, ia meraih ponselnya dan menelepon satu-satunya orang yang bisa ia percaya.

> “Rina… aku takut.”

---

Pertemuan dengan Rina

Pagi itu, Alin bertemu dengan sahabatnya di sebuah kafe kecil di luar kota—tempat yang jauh dari kantor dan lingkungan biasanya. Ia ingin memastikan bahwa Arya tidak bisa dengan mudah menemukannya.

Begitu melihat ekspresi Alin, Rina langsung tahu ada yang salah.

> “Apa yang terjadi?” tanyanya khawatir.

Alin menggenggam cangkir kopinya erat-erat, mencoba menenangkan diri.

> “Dia masuk ke apartemenku, Rina.”

Rina menatapnya tak percaya. “Siapa? Arya?”

Alin mengangguk. “Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi dia meninggalkan hadiah di meja ruang tamuku. Aku yakin pintuku terkunci sebelum aku pergi kerja.”

Rina mengumpat pelan. “Ini sudah tidak main-main lagi, Lin. Kau harus pergi dari sana.”

Alin mengangguk. “Aku sudah berpikir untuk pindah. Tapi masalahnya… aku merasa dia selalu tahu di mana aku berada.”

> “Dia mungkin melacakmu,” kata Rina tiba-tiba.

Alin menegang. “Maksudmu?”

Rina mengambil ponsel Alin dan mulai memeriksanya. “Bisa saja dia memasang pelacak di ponsel atau mobilmu. Aku pernah baca tentang ini.”

Jantung Alin berdetak lebih cepat. Jika itu benar, maka setiap langkahnya selama ini memang selalu diawasi.

> “Kita harus pastikan,” kata Rina. “Kita cek mobilmu dulu.”

---

Rahasia yang Terungkap

Setelah selesai di kafe, mereka pergi ke bengkel terdekat untuk memeriksa mobil Alin.

Teknisi yang membantu mereka awalnya tampak santai, tetapi ekspresinya berubah serius ketika ia menemukan sesuatu di bawah dashboard.

> “Ini alat pelacak GPS,” katanya sambil mengangkat benda kecil berwarna hitam. “Seseorang memasangnya dengan sangat rapi. Kalau bukan orang profesional, pasti orang yang tahu betul tentang mobil Anda.”

Darah Alin terasa membeku.

Rina menatapnya dengan wajah ngeri. “Arya…”

Alin merasa seolah-olah dunianya semakin menyempit. Jika Arya bisa sejauh ini, berarti benar—ia tidak akan membiarkan Alin pergi begitu saja.

> “Aku harus keluar dari ini,” bisik Alin, hampir pada dirinya sendiri.

Rina menggenggam tangannya erat. “Kita akan cari cara, Lin. Kau tidak sendirian.”

Tapi di dalam hatinya, Alin tahu bahwa melarikan diri dari Arya tidak akan semudah itu.

Karena Arya bukan pria yang menerima penolakan dengan baik.

Dan ini baru permulaan.

Alin menatap alat pelacak di tangannya. Benda kecil itu terasa begitu berat, seolah membuktikan bahwa ketakutannya selama ini bukan sekadar imajinasi.

> “Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Rina dengan suara pelan.

Alin menarik napas dalam. “Aku harus menyingkirkan ini. Aku harus keluar dari hidupnya.”

Tapi dalam hati, ia tahu itu tidak akan mudah.

---

Keputusan untuk Pergi

Malam itu, setelah memastikan ponselnya bersih dari aplikasi mencurigakan dan alat pelacak dari mobilnya sudah dibuang, Alin mulai mengemasi barang-barangnya.

Ia tidak bisa tinggal di apartemen itu lebih lama.

Ia sudah menghubungi seorang kenalan yang bersedia menyewakan kamar sementara. Tempatnya kecil dan sederhana, tapi yang terpenting adalah Arya tidak tahu di mana itu.

Tapi sebelum ia sempat keluar, ponselnya bergetar.

Arya menelepon.

Jantung Alin berdegup kencang. Ia ingin mengabaikannya, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi jika ia tidak menjawab.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau.

> “Alin.”

Suara Arya terdengar tenang, tapi justru itu yang membuatnya semakin takut.

> “Kau mau ke mana?”

Alin menahan napas. Ia melirik ke luar jendela, tapi tidak melihat tanda-tanda mobil Arya.

> “Aku tidak mengerti maksudmu,” katanya, mencoba terdengar biasa saja.

> “Jangan berbohong padaku.”

Arya menghela napas pelan, lalu melanjutkan, “Aku tidak suka permainan ini, Alin. Aku memberimu waktu untuk sadar, tapi kau justru mencoba kabur.”

Jari-jari Alin mencengkeram ponsel lebih erat. “Aku bukan tahananmu, Arya. Aku punya hak untuk pergi.”

Hening.

Kemudian suara Arya terdengar lebih dalam, lebih dingin.

> “Aku sudah bilang. Kau milikku. Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi.”

Sebelum Alin sempat membalas, sambungan terputus.

---

Mimpi Buruk Menjadi Nyata

Dengan panik, Alin menyambar tasnya dan bergegas keluar apartemen.

Tapi begitu ia membuka pintu, tubuhnya membeku.

Di depan pintunya, Arya berdiri dengan ekspresi tak terbaca.

> “Kau tidak seharusnya mencoba meninggalkanku, Alin.”

Suara itu lembut, hampir penuh kasih sayang, tapi mata pria itu berkilat dengan bahaya.

Alin melangkah mundur, mencoba menutup pintu, tapi Arya lebih cepat. Ia mendorong pintu dengan satu tangan, membuat Alin kehilangan keseimbangan dan tersandar di dinding.

Arya masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tenang.

> “Aku sudah bersabar, Alin. Tapi kau terus memaksaku untuk bertindak.”

Alin menelan ludah. “Arya… kau tidak bisa melakukan ini.”

> “Oh, tapi aku bisa.”

Arya mengangkat tangannya, mengusap pipi Alin dengan lembut—sentuhan yang seharusnya hangat, tapi terasa seperti belenggu yang menyesakkan.

> “Aku bisa melakukan apa saja untuk memastikan kau tetap di sisiku.”

Alin ingin berteriak, ingin melawan. Tapi tubuhnya terasa lumpuh di bawah tatapan intens Arya.

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bahwa tidak ada jalan keluar.

Dan itulah saat ia sadar—ini bukan lagi sekadar obsesi.

Ini adalah kepemilikan.

Arya tidak akan pernah membiarkannya pergi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel