Bab 3. Pupus
Vrans segera mengambil saletip dan menempelkan di mulut Maria. Tidak lupa Vrans mengikat tangan Maria dengan kuat.
Pria itu kembali menghidupkan mesin mobilnya,
melaju memecah jalanan sore itu, Maria segera di turunkan di sebuah apartemen mewah yang berada di tengah kota Aleta.
Mobil itu berhenti di sebuah parkiran khusus. Vrans segera menarik paksa Maria masuk ke dalam lift menuju lantai lima.
Maria berharap ada orang yang lewat dan mau membantunya untuk melepaskan dirinya dari cengkraman tangan pria yang tidak dia kenal.
Namun sepertinya harapannya pupus, tidak terasa buritan bening mengalir di belahan pipinya, Maria menangis dalam diam, dia tidak berani mengeluarkan suara, takut pria yang terlihat begitu liar akan makannya hidup-hidup.
Vrans segera mendorong tubuh Maria masuk ke dalam kamar, kedua tangan dan kaki Maria di berikan ikatan kuat, agar gadis itu tidak agresif untuk melawan dan menghancurkan semua barang-barang yang ada di kamar apartemen.
Vrans merasa ragu untuk meletakkan Maria di sana, Vrans kembali mengendong tubuh gadis itu dan membawanya ke kamar sebelah.
Sebuah ruangan yang tidak begitu luas namun lengkap dengan pendingin ruangan. Tapi Maria melihat tidak ada barang - barang bahaya yang terletak di ruangan itu.
Mungkin Pria itu sengaja untuk tidak meletakkannya, karena tidak ingin Maria kabur.
Namun Maria tidak berkutik dia hanya menurut saja apa yang terjadi, mereka memperlakukan dirinya seperti itu.
Maria terdiam ketika ruangan itu memberikan beberapa aroma wewangian, ketika indra penciuman ingin terus menghirupnya.
Maria mencoba memberontak dengan kedua tangannya terikat kebelakang. Maria berusaha untuk melonggarkan ikatannya. Tapi nihil, sepertinya pria yang menculiknya sangat kuat mengikatnya.
Maria mencoba untuk bangkit dan berusaha untuk duduk, Maria masih berpikir bahwa dirinya akan dipersembahkan kepada seorang iblis yang tidak pernah dia kenal.
Maria masih memutar otak dan mengigat kenapa dia bisa di culik padahal dirinya tidak pernah punya masalah.
Maria masih bingung dengan keadaannya sekarang, apa yang akan mereka lakukan kepadanya setelah ini? Dia hanya bisa diam dan menurut saja apa yang dilakukan oleh pria yang menculiknya tadi.
Maria masih meringkuk di sebuah ranjang, sesekali dia berusaha bergerak dan menyeret tubuhnya untuk bersandar di ranjang.
Pikiran menerawang jauh, dia teringat akan sang ibundanya yang sakit-sakitan. Ibunya pasti cemas jika sampai malam dirinya tidak kembali.
Maria teringat juga akan nasibnya setelah ini, orang tadi akan mengapakan dirinya nanti?
Bayangan kegerian berkelebat silih berganti bermain di otaknya.
Maria kembali teringat akan pembunuh kemarin malam, dia sedikit kaget mungkinkah pria yang menculiknya itu adalah Pemuda yang membunuh seorang lelaki kemarin malam?
Kembali pertanyaan demi pertanyaan bergejolak di hatinya.
Suara hati Maria bagaikan sebuah pecahan bom yang meledak kuat, desiran ketakutan bagai sebuah gelombang lautan yang menghempas ombaknya di pantai.
Takut dan juga gundah gulana menghimpit jiwanya yang sekarang bagai melayang ke sebuah alam yang penuh dengan kegelapan.
Maria sangat takut, andai nasibnya seperti orang yang ditusuk oleh seseorang di malam itu, sungguh pisau yang begitu tajam mampu membuat isi perut berhamburan keluar.
Maria memejamkan matanya untuk mengusir rasa takut yang mendera hatinya.
Tubuh Maria begitu gemetar.
Ditengah-tengah rasa takut dan bingung beraduk menjadi satu, telinganya mendengar langkah kaki yang berjalan lebar menuju ke arah kamarnya.
Langkah kaki itu berhenti sejenak namun setelah itu tidak ada lagi suara, Maria mencoba mempertajam insting pendengarannya.
Langkah kaki mendadak menghilang bagai siluman yang lenyap begitu saja dari pandangan.
"Kemana suara itu?"
"Kenapa tidak terdengar lagi, jangan-jangan mereka sedang mempersiapkan alat untuk memotong tubuhku, oh tidak.... aku tidak ingin mati sia-sia di tangan psychopat jahat itu!"
"Bagaimana ini? Aku harus bisa melawan pria tadi, aku harus bisa pergi dari sini!"
Kembali Maria berpikir namun di saat bersamaan suara pintu terbuka dengan lebar. Maria memalingkan wajahnya melihat siapa yang datang.
Seorang pria tampan dengan rambut belah tengah, hidung mancung dan dagu yang runcing juga bibir mungil serta mempunyai pupil mata sipit berdiri dihadapan Maria.
Sekilas tidak tampak sangar dari penampilan pria yang berdiri tegak dengan memiliki tubuh tinggi sekitar 75 cm meter mempunyai badan yang sispeck. Maria tertegun sejenak dalam hatinya berkata siapakah pria ini?
Tatapan Ayuan terlihat datar dan dingin, sorot mata itu menyungingkan sebuah tatapan intimidasi. Maria sedikit takut karena laki-laki dihadapannya sama sekali tidak ramah.
Ayuan mendekati Maria dengan kedua tangannya di masukan ke dalam kantong jaket jeans yang dia gunakan.
Ayuan menunduk menatap Maria dan gadis itu pun menatap ke arahnya dengan wajah pucat pasi.
"Nona selamat datang di tahanan rumah ini, kau menjadi penghuni tetap," suara Ayuan datar namun kalimat darinya membuat telinga Maria mengindik ngeri. Sekaligus panas, Maria menahan amarahnya.
Tapi lagi-lagi gadis itu hanya bisa memendamnya dalam hati.
Maria menunduk menatap ranjang sebelum semenit kemudian dia melihat ke arah pria yang berdiri menatap tajam kearahnya.
"Tuan kau siapa? Kenapa kamu mengurungku di sini, aku ingin pulang kasihan ibuku dia sakit-sakitan dan dia sendirian. Aku harus merawatnya," suara Maria terdengar serak, dan juga mengiba.
Ayuan tersenyum miring.
"Apa peduliku, dia hanya orang Tuanmu! Aku tidak punya rasa kasihan, sebaiknya kamu pikirkan saja dengan nasibmu sekarang!" Ayuan berbicara seiring dengan membalikan badannya hendak keluar dari ruangan Maria.
"Terbuat dari apa hati kamu, sehingga kamu tidak bisa insaf melihat seorang wanita yang sudah melahirkan anaknya, kau punya ibu kan? Jangan bilang kamu lahir dari batu!" terdengar suara Maria yang berbicara dengan volume tinggi.
Maria menghimpun segenap beraninya untuk mengatakan dan melampiaskan kekesalan hatinya.
Ayuan yang hendak melangkah keluar segera menghentikan langkahnya, dia dengan cepat membalikan badannya melihat kearah Maria yang pasrah dengan kedua tangan dan kakinya terikat.
"Kau diam!"
"Kau tahu apa tentang ibuku!?"
Ayuan sangat marah, mendengar ucapan Maria yang mencercanya dengan ucapan yang tidak mengenakan hati Ayuan.
Dia segera membalikkan badannya. Berjalan mendekati Maria.
Maria membelalak kaget dengan wajah Ayuan tepat di hadapannya. Menatapnya serupa serigala yang terluka. Ada penolakan yang besar pada pupil matanya. Bibirnya menipis marah, tapi Maria menemukan tanda-tanda lelaki ini akan menyakitinya.
Tangan Ayuan dengan cepat mencengkram rahang Maria dengan kuat, dia memberikan tatapan dingin dan juga tajam, tubuh Ayuan bergetar karena menahan amarah yang sedang mendera hatinya.
"Gadis asing, kalau kamu tidak ingin di sakiti sebaiknya kamu diam membisu saja, itu lebih baik, agar pisau tajam ku ini tidak merobek mulutmu yang tajam itu," terdengar nada ancaman yang menghembus di telinga Maria.
