3. Pendek Tapi Imut
Setelah mendapatkan baju yang kira-kira cocok, sekarang Amanda mulai bingung harus bagaimana. Dia belum sepenuhnya tahu dengan sudut ruangan kamar ini, dan mengenai ruang ganti tertutup, apa di sini ada? Tidak mungkin kan Amanda ganti baju di depan William.
“Kenapa diam saja?” suara itu menyambar telinga Amanda yang dengan cepat terlonjak. Dia berbalik padan sambil meremas baju yang ia pegang.
“Maaf, di mana aku harus ganti baju?” tanya Amanda gugup.
“Tentu saja di sini, memang mau di mana lagi?”
“Tapi …”
“Cepat atau aku akan melempar kamu ke jendela!”
Amanda mengatup mata rapat-rapat dan bergidik. Dia dengan cepat dan gemetaran mulai melepas pakaiannya sekarang. pria yang sekarang sedang duduk di tepi ranjang memang tidak melihat ke arah Amanda, tapi biar bagaimana pun Amanda tetap saja gugup. Ini tubuh pribadinya. Siapa pun tidak boleh melihatnya sampai nanti hanya sang suami yang boleh melihatnya.
Tunggu! Bukankah William suami Amanda, sekarang?
Amanda mengerutkan wajah lalu menunduk dan mendesis pelan. Dia memeluk erat baju yang sudah ia lepas dan sekarang hanya menyisakan pakaian dalam saja. Sebelum ia melepas bagian bawah, Amanda mulai memakai vintagenya. Ketika baju itu sudah masuk dan jatuh menutupi kedua lulut, barulah Amanda melepas bagian roknya yang tadi ia kenakan.
“Terserah kalau dia sudah melihat bagian punggungku, yang penting dia tidak melihat bagian int milikku,” batik Amanda.
Dalam posisinya yang duduk, diam-diam William sempat mendongak tadi. Dia menaikkan satu ujung bibir seperti siap untuk mencibir. Namun, apa yang hendak ia ucapkan hanya mencuat dari dalam hati saja.
Dia sangat pendek. Pinggang itu ramping, tapi dia sangat mungil. Kalau aku patahkan tubuhnya, sepertinya akan langsung remuk.
Kejam!
Amanda yang masih memunggungi William, sekarang terlihat sedang menarik rambut panjangnya yang tadi masuk ke dalam pakaiannya. Setelah ia tarik rambut itu, ia sampirkan ke pundak hingga terurai menutupi bagian dada sebelah kiri. Saat tubuh itu berbalik, saat itu juga dengan cepat William mengalihkan pandangan.
“Apa sudah benar?” tanya Amanda.
Wajah itu terangkat. “Hem.”
Hanya itu yang ke luar dari mulut William. Hampir beberapa menit Amanda berdiri, William masih saja terlihat sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan, tapi sepertinya dua ibu jari itu tengah mengetik sesuatu.
Setelah lelah menunggu dan merasakan kedua kakinya mulai gemetaran dan kesemutan, Amanda memberanikan untuk bertanya. “Sekarang aku harus apa, Tuan?”
William menutup ponselnya lalu meletakkannya di atas ranjang. Dia kemudian berdiri dan melepas kemejanya. Hal itu membuat Amanda dengan cepat memalingkan wajah ke arah lain. Amanda sudah mengerutkan wajah dan menggigit bibir. Meski sekarang dia sudah berpaling, tapi sejujurnya dia sempat melihat perut datar yang berbentuk roti sobek itu.
“Kamu bisa menunggu di luar. Broery akan menemani kamu dulu nanti,” ucap William.
Tidak menjawab apa pun, Amanda segera mengangguk dan meninggalkan kamar tersebut. Di saat pintu sudah tertutup, William menoleh ke arah pintu. Dia berdiri sambil menurunkan reseleting celananya.
“Sial! Bagaimana mungkin aku menikah dengan dia?” decak William. “Aku pikir ini akan semakin repot setelah kakek datang. Huh! Nanti kakek cocok atau tidak, aku bahkan ragu.”
William melempar kemeja dan celananya ke dalam keranjang pakaian. Dia lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi untuk segera menyirap badannya yang terasa lengket.
“Di mana aku harus duduk sekarang?” tanya Amanda saat menemui Broery di ruang tengah.
Broery tidak langsung menjawab, melainkan berjalan ke arah ruang utama yang tentunya langsung diikuti Amanda.
“Nona bisa menunggu di sini.” Broery menunjuk sebuah sofa panjang berbentuk L dengan meja persegi panjang di bagian tengah.
Setelah mengamati sofa itu, Amanda kemudian duduk. “Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan ketika bertemu mereka? Aku tidak mau salah langkah dan membuat Tuan William marah.”
“Bersikap saja layaknya seorang istri.”
Selalu saja jawabannya singkat membuat Amanda malas. Dia paling tidak suka dengan cara orang bicara yang paling dengan perkataan. Mereka bicara seolah tidak memiliki jeda atau tanda baca.
Menunggu sekitar lima belas menit, William datang. Pria itu berjalan santai dengan pakaian yang begitu cocok dengan badannya. Hanya kemeja putih dan celana hitam, tapi sungguh terlihat menawan.
Hei! Berhenti menatapnya! Dia memang tampan, tapi ingat bagaimana wataknya.
Amanda dengan cepat membuang muka, lalu pura-pura menatap kuku-kuku jarinya putih.
“Sudah sampai mana mereka?” tanya William pada Broery.
“Sepuluh menit lagi mungkin sampai.”
“Kalau begitu, kamu bisa menunggu mereka di luar. Aku akan tetap di sini.”
“Baik, Tuan.”
Amanda cukup ragu untuk bertanya. Sekian menit ia hanya duduk diam dengan kedua kaki mengatup rapat dan telapak tangan di atas lutut. Sementara pria yang jauh di sampingnya lagi-lagi sedang sibuk dengan ponselnya.
“Maaf, boleh aku tanya?”
“Hm.”
Apa itu artinya aku boleh bertanya?
Amanda berdehem pelan dan sedikit menggeser posisi duduknya. “Berapa banyak orang yang akan datang?”
Dua mata itu masih focus menatap layar ponsel. “Hanya ibu, kekeh dan adikku.”
Oh, hanya tiga orang. Sepertinya tidak terlalu mengerikan.
“Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan untuk menyambut mereka?” pertanyaan yang sama yang tadi Amanda lontarkan pada Broery.
“Jangan panggil aku ‘Tuan’ di depan mereka.”
“Hanya itu?”
“Jangan membuat masalah.”
Amanda menelan ludah susah payah. Dia bertanya sedetail mungkin supaya mendapatkan jawaban yang jelas, sayangnya jawaban yang ia dapatkan sebatas sahutan singkat.
“Kakaaaak!”
Suara lantang itu tiba-tiba terdengar nyaring sampai bergema ke seluruh ruangan. Amanda yang niatnya hendak bertanya, sekarang sudah terkesiap dan berdiri mengikuti William yang sudah berdiri lebih dulu.
Amanda melihat satu sosok gadis remaja yang berlari dengan cepat menghampiri William. Gadis itu melompat tinggi lalu memeluk William dengan erat sampai badannya membungkuk. Melihat hal itu tepat di hadapannya, Amanda hanya bisa nyengir lalu dengan cepat memasang wajah tenang lagi.
“Lepaskan aku. Kamu sangat berat sekarang,” ucap William dengan suara tertahan.
“Huh! Aku hanya naik dua kilo saja, bukan berarti aku sangat berat.” Gadis itu menghentak kaki dan mendengkus.
Tidak lama setelah gadis itu masuk, muncul tiga orang lain yang membuat Amanda seketika ingin melarikan diri dari sini. Dia benar-benar gugup dan gemetaran. Mungkin seperti ini jika pertama kali bertemu dengan keluarga sang suami. Ada rasa haru, bingung dan yang pasti was-was tak terkendali.
“Ou, siapa gadis pendek ini?” celetuk Lily dengan bibir manyun. “Apa dia boneka baru untukku?”
Kedua pipi Amanda mendadak sedikit tertarik dan tersenyum aneh. Sementara lily, sekarang sudah mendekat dan menatap Amanda mulai dari atas hingga ke bawah.
“Ouh, ini sangat imut! Lihatlah pipi ini, kenapa begitu menggemaskan.” Lily meremas kedua pipi Amanda dengan sangat gemas membuat Amanda menarik diri dengan cepat.
“Lily, jaga sikap kamu!” seorang Wanita dengan rambut bergelombang di atas bahu, menegur. “Dia itu istri kakakmu.”
“Oh, benarkah?” wajah Lily terlihat berbinar dan sekali lagi mengangkat kedua tangan—ingin meremas pipi—itu lagi, tapi tangan yang mengepal hanya tertahan sampai di depan wajah saja.
***
