Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Ini Hanya Permainan

“Katakan pada ibu kalau kamu sedang main-main?”

Consita duduk melipat kaki di sofa ruang tengah. Tidak ada siapa pun di sini selain mereka berdua. William niatnya mau langsung bergabung untuk makan malam bersama yang lain, tapi sang ibu menariknya dan meminta duduk sebentar.

“Kamu tidak sedang bercanda?”

“Apa maksud ibu?”

Consita berdecak lalu menggaruk kening bersamaan dengan desisan yang keluar dari mulutnya. “Dia bukan tipe kamu, Will. Kamu menikah tanpa menunggu kami, dan sekarang kamu mengejutkan ibu dengan pasangan kamu yang jelek itu.”

William tidak bisa mengelak perkataan sang ibu. Wanita yang ia nikahi memang terlalu kampungan. Sekali pun dia memakai pakaian mahal, hal itu tidaklah cocok dalam diri Amanda. Entahlah, menurut William Wanita itu jauh sekali dari standar biasanya.

“Memang menurut ibu aku harus menikah dengan siapa?”

“Kamu kan banyak Wanita. Kamu bisa memilih salah satu dari mereka.”

William membuang mata jengah mendengar perkataan itu. Dia sampai mendesah berat lalu menyandarkan punggung pada dinding sofa.

“Lalu, bagaimana dengan kakek. Dia yang berkuasa di sini. Aku menikahi dia juga tidak tahu apakah kakek cocok atau tidak.”

Sekarang Consita mengerti. Pernikahan yang William dan Amanda terjadi hanya sebatas karena William ingin membungkam mulut sang kakek. Consita lalu berdiri dan menatap William dalam-dalam.

“Kalau memang ini hanya karena kakek, ibu harap kamu tidak mencintai Wanita itu.”

William mengerutkan dahi lantas menatap langkah sang ibu yang berjalan menuju ruang makan. Tidak lama setelah itu, William juga menyusul sang ibu. Ketika langkah sampai di tengah-tengah ruangan pemisah antara ruang makan dan ruang lain, William berdiri sebentar di sana. Dia memandangi bagaimana sang adik yang sekarang masih kelas tiga SMP tengah ngobrol dengan Amanda.

“Hei, Kak William. Kenapa sangat lama?” semburnya begitu melihat sang kakak datang.

“Aku bicara dengan ibu sebentar.”

Jawaban itu membuat Lily mendengkus. Dia sudah paham mengenai kepribadian sang ibu, ini pasti mengenai pernikahan kakaknya dengan Wanita yang tengah duduk di sampingnya ini.

Mereka mulai menikmati makan malam kembali. Suasana malam semakin hening ketika yang terdengar hanya suara dentingan sendok dan piring yang saling bersahutan.

Di tengah makan malam yang hampir selesai, Consita diam-diam selalu melirik ke arah Amanda. Amanda yang sadar hal itu, hanya bisa menunduk seolah tidak tahu. Andai mereka tahu, sekarang Amanda sudah berkeringat. Tubuhnya mendadak panas dan gemetaran karena gugup berada dalam satu ruangan yang sama sekali belum ia kenal. Mereka semua tampak dingin terkecuali Lily yang sedari tadi sudah mengajaknya ngobrol.

“Dari mana asal kamu?” tanya Consita tiba-tiba.

Amanda mendongak dan dan berkedip seperti orang bingung.

“Apa kamu tuli dan bisu?”

“Ma-maaf. Apa Nyonya bicara denganku?”

“Memang siapa lagi?”

Cara Consita bicara sudah bisa ditebak kalau dia tidak menyukai Amanda. Wajah sinis dan nada bicara yang cepat, membuktikan kalau memang Amanda harus siap mental selama di sini.

“A-aku dari—”

“Ibu tidak usah banyak tanya,” potong William. “Intinya dia istriku.”

“Hei, ibu berhak tahu, Will. Aku ini ibumu, siapa pun pasangan kamu, ibu berhak tahu asal usulnya.”

“Nanti juga ibu tahu.”

“Apa kalian berdua tidak bisa diam?” suara berat dan serak itu membuat mereka berdua mengatupkan bibir.

“Aku hanya mau menikmati makan malam dengan tenang. Kalian tidak usah berisik.”

“Ayah, aku hanya ingin bicara sebentar dengan William. Ini sangat penting kan?” Consita membantah. “Aku harus tahu lebih jelas.”

“Kamu bisa menanyakan nanti.”

Ruang makan kembali hening sampai semua makanan di atas piring Kosong. Dua adik William yang bernama Liam dan Lily sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Perjalanan panjang sepertinya membuat mereka kelelahan.

Ketika semua sudah beranjak, Amanda memilih tetap berada di ruang makan. Dia niatnya hendak membantu para pelayan membersihkan ruangan ini.

“Keluarga ini sangat menyeramkan,” gumam Amanda. Dia berdiri di depan wastafel seraya mencuci ke kuda tangannya yang terkena kuah.

“Nona sedang apa di sini?” tanya Emely.

“Oh, aku hanya ingin membantu.”

“Tidak usah, Nona. Ini sudah pekerjaan kami. Nona sebaiknya kembali ke kamar saja.”

Raut wajah para pelayan yang sekarang menata Amanda, membuat Amanda jadi gugup dan takut. Tatapan mereka seperti sedang memaksa Amanda untuk segera pergi dari sini.

“Baiklah, aku pergi,” ucap Amanda kemudian.

Amanda berjalan meninggalkan ruang makan. Selama melangkah, dia tidak melihat siapa pun ada di sini. Orang-orang yang tadi makan malam bersamanya juga sudah lenyap entah berada di mana. Mungkin mereka baru mengalami perjalanan jauh, jadi memilih langsung istirahat saja.

Sampai di lantai atas, Amanda ragu ketika mau masuk ke dalam kamar. Pintu di hadapannya tertutup rapat dan dia hanya bisa berdiri sambil menggigit ujung kuku ibu jarinya.

“Aku masuk ke dalam kamar ini atau kamar sebelah?” gumamnya. “Barang-barangku sudah ada di sini, tidak mungkin aku pergi ke kamar lamaku, kan?”

Rasanya semakin ragu untuk membuka pintu itu. Tangannya yang perlahan terulur hendak meraih gagang pintu, bahkan terlihat gemetaran. Lalu, ketika tangan itu berhasil menggenggam gagang pintu, seseorang di dalam sana dengan cepat menekan gagang pintu hingga terbuka.

Amanda dengan cepat menarik diri. Dia melihat sosok tegap sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan sinis.

“Kamu mau masuk atau tetap berdiri di situ?”

“A-aku …”

Tck!

William dengan cepat menarik tangan Amanda dan menyeret masuk. Dia melepas tangan itu setengah melemparnya hingga Amanda hampir menabrak tepian ranjang. Setelah itu, William segera menutup pintu lalu kembali pada Amanda yang sedang mengusap-usap pergelangan tangan.

“Jangan membuat masalah di sini,” ucap William.

“Aku tidak membuat masalah.” Amanda mengangkat wajah, tapi hanya beberapa detik kerana tatapan itu semakin tajam. “Maaf.”

“Ingat, kamu di sini hanya bekerja untukku.”

Amanda kembali mengangkat wajah. Dia tahu kalau tidak seharusnya membantah di sini, tapi semakin tetpa diam, semakin Amanda tidak bisa berbuat apa-apa.

“Aku tidak akan berbuat kesalahan kalau Tuan menjelaskan lebih detail mengenai apa yang harus aku lakukan di sini. Tuan sama sekali tidak memberitahuku, kan? Tentu saja aku bingung.”

William menggerakkan bibirnya yang rapat sementara tatapannya masih tertuju lurus pada Amanda.

“Baiklah, aku katakana dengan jelas dan kamu harus bisa mengerti semuanya.”

“Oke.”

“Kakekku menyuruhku untuk segera menikah. Hanya aku pewaris yang sah di sini yang akan memegang semua perusahaan milik kakekku. Semua itu ada syarat dan aku harus menikah. Itu kenapa aku memintamu untuk menikah denganku. Ingat, ini hanya permainan, semua Sudha tertulis dalam surat perjanjian kita. Ini akan berakhir kalau kakek benar-benar sudah memberikan semuanya padaku.”

Jadi ini tentang kekuasaan? Ini tentang uang, jabatan dan semacamnya. Amanda tersenyum getir. Ia mengingat bagaimana sang ayah menjualnya hanya untuk kembali menstabilkan bisnisnya yang sudah bangkrut. Nyatanya semua orang memang dibutakan oleh kekuasaan dan uang.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel