Pustaka
Bahasa Indonesia

When We Meet

70.0K · Tamat
Irma W
67
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Novel ini berisi dua cerita yang berbeda. Mohon bijak dalam membaca! Area 21+ PERNIKAHAN KITA Berkorban demi keluarga, terpaksa Amanda lakukan. Dia harus menerima apa yang sudah ayah lakukan demi perekonomian keluarga kembali membaik. Menikah dengan seorang pria yang dengan gamblang mengatakan kalau dirinya telah dibeli, membuat Amanda tidak bisa berkutik. dia menjalani sebuah pernikahan di atas kertas yang entah seperti apa ujungngnya. Hari demi hari dia jalani, tidak menyadari kalau ada yang aneh dengan perasaannya. lalu, apa perasaan itu terbalas, atau pernikahan ini hanya sebatas sebuah perjanjian semata? *** KETIKA KITA BERTEMU Membuka hati untuk orang baru, tentu bukan hal mudah. Katty mencintai sang suami, yang ternyata pada akhirnya berkhianat. di kala masalah membuat hati Katty hancur, seorang pria datang dan bisa meluluhkan hati putranya. hal itu membuat Katty tersentuh. namun, ketika perasaan mulai tumbuh, pria itu menyimpan sebuah rahasia. ***

RomansaBillionaireSweetPernikahanKeluargaLove after MarriageDewasa

Tentang Pernikahan Kita (Prolog)

RUMAH INI DISITA

Tulisan dengan huruf besar itu terpampang nyata tepat di gerbang rumah seluas lima belas kali sepuluh meter persegi. Tulisan dengan warna merah membuktikan kalau sang penghuni rumah harus segera mengangkat kaki.

Lima koper besar sudah tergeletak di luar gerbang, sementara sang pemilik hanya bisa termenung dengan wajah sedih dan bingung.

“Kamu ikut ayah!” satu lengan Wanita cantik yang tengah tertegun, tiba-tiba ditarik dengan paksa.

“Ayah mau bawa aku ke mana?”

“Tidak usah banyak tanya. Sekarang kamu ikut ayah.”

Tiga orang lain yang juga berdiri di sana sudah memasang wajah penuh tanya, tapi tidak ada satu pun yang berani bertanya.

“Mau di bawa ke mana Kak Amanda, Bu?” tanya Roger.

“Mana ibu tahu.”

“Tidak usah memikirkan Kak Amanda. Lebih baik kita segera pergi dari sini. Aku lelah berdiri terus di sedari tadi.” Wanita bernama Lorent menghentak kaki dan berdecak kesal.

“Memang kita mau pergi ke mana? Rumah ini sudah disita.”

Mereka berdua saling pandang sebelum kemudian menghela napas dan mengikuti langkah sang ibu. Mereka bertiga berjalan meninggalkan area rumah. Sementara di sisi lain, sekarang Amanda dan sang ayah sudah berada di dalam mobil taksi yang melaju dengan kecepatan cukup tinggi.

“Ayah. Ayah mau bawa aku ke mana?” tanya Amanda.

Pria paruh baya yang duduk di sampingnya terlihat enggan menjawab. Wajah itu terlihat membuang muka, membuat Amanda semakin bingung.

“Ayo turun!” perintah Tobey.

Amanda yang hampir terlelap dengan cepat terkesiap dan langsung celingukan. Dia menoleh ke arah luar jendala, tapi pandangannya masih belum bisa menjelaskan ada apa di luar sana.

“Ayo turun!” perintahnya lagi.

Amanda menurut saja. Dia menyusul sang ayah yang sudah turun lebih dulu. Ketika kedua kakinya sudah menapak di tanah, Amanda tahu kalau di hadapannya saat ini adalah sebuah rumah besar yang entah milik siapa.

“Rumah siapa ini, Yah?”

“Tidak usah banyak tanya.”

Lagi-lagi Tobey menyentak dan dengan cepat menarik tangan Amanda lagi. Tobey menarik paksa—membawa Amanda—masuk ke dalam rumah itu. Namun, ketika sampai di depan gerbang, seseorang menemui mereka berdua. Tatapan orang itu begitu dingin dan penuh selidik.

Namun, tidak lama setelah itu, mereka memberi jalan untuk masuk ke dalam rumah. Amanda tidak mau berpikir macam-macam sekarang. ada ayah di sini. Andai terjadi sesuatu, dia akan berlindung di belakang punggung sang ayah.

“Tuan Jake ada di dalam ruangannya.” Pria itu menuntun langkah mereka menuju suatu ruangan.

Selama menuju ruangan itu, Amanda hanya mencoba tetap tenang sembari menggandeng tangan lengah ayah dengan sangat erat.

“Oh, akhirnya kalian datang juga.” Pria berjas hitam terlihat ketika kursi itu berputar. “Aku pikir tawaranku waktu itu tidak membuatmu tertarik waktu itu, Tob.”

“Tidak usah meledekku. Aku sudah membawa apa yang aku mau. Sekarang penuhi saja apa yang sudah kamu janjikan padaku.” Sambil bicara, Tobey memegang kedua pundak Amanda seolah mempersembahkan pada pria yang duduk di kursi putar itu.

“Haha, baiklah. Aku akan beri apa yang kamu butuhkan. Tinggalkan dia untukku dan kamu tidak akan kebingungan lagi.”

Ketika jari telunjuk itu menunjuk tepat ke arahnya, Amanda spontan tertegun lalu menoleh ke arah ayahnya dengan wajah penuh tanya.

***