Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 - bersalah

Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.

Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani.

"Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang.

"Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa.

"Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nardo mencarikan dokter paling bagus untukmu." Karina balas tersenyum, membelai singkat rambut Naomi. Meskipun Naomi masih mampu melengkungkan garis bibirnya ke atas, namun Karina sangat tahu sekacau apa perasaan calon menantunya. Ia tidak tega melihatnya.

Tentu saja Karina serius dengan apa yang ia ucapkan. Setelah dari rumah sakit ini, ia berencana untuk segera mencari info sebanyak mungkin tentang dokter-dokter hebat yang mungkin ia atau suaminya kenal.

Hanya memiliki seorang anak tunggal membuat Karina menginginkan memiliki seorang anak perempuan, dan sosok Naomi bagaikan putri kandung baginya. Mereka sudah begitu dekat, saling menyayangi. Bahkan hubungan ia dan Sang calon mantu lebih dekat jika dibandingkan dengan hubungan dirinya dan Nardo yang merupakan anak kandungnya.

"Terima kasih." Melihat ketulusan calon ibu mertuanya, air mata gadis itu mengalir lagi. Namun Nardo segera menghapusnya, kemudian mempererat genggaman tangannya. Ketika Naomi balik menatapnya, pria itu memberinya senyum menenangkan, senyum teduh yang seakan mengandung arti bahwa semua akan baik-baik saja.

Sungguh, Naomi benar-benar merasa beruntung memiliki pria seperti Nardo di sisinya. Seorang pria yang masih tetap bertahan di sisinya meskipun kini ia sudah tak lagi menjadi perempuan yang sempurna.

"Mama dan Papa kamu di mana, Nak?" Manfredo yang sejak tadi hanya memperhatikan, kini memberikan pertanyaan. Pasalnya sejak ia datang hingga detik ini, kamar perawatan calon mantunya terasa sepi.

"Sepertinya tadi ada di depan, Pa." Nardo yang menjawabnya, mewakili Naomi. Dan tak berselang lama, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian mereka. "Ah, itu Mama Ambar," lanjutnya.

Sosok Ambar memasuki ruangan perawatan Naomi dengan raut wajah kacau. Wajah yang biasanya tampak bersahaja itu terlihat diliputi duka. Ketika kedua mata wanita baya itu menangkap sosok calon besannya, ia segera mengubah mimik muka.

"Karina, datang sejak kapan?" tanyanya seraya berjalan menghampiri.

"Baru beberapa menit lalu. Indra mana?"

"Dia ada di depan, maaf baru sempat menemui kalian."

Karina tersenyum maklum, menyentuh salah satu bahu calon besannya. "It's okay, tenangkan dirimu, Ambar."

Ambar mengangguk. Ia mengalihkan atensinya pada putri pertamanya. Seingatnya, terakhir kali ia meninggalkan Naomi sebelum Chiara tak sadarkan diri, putrinya ini masih belum terjaga. "Ah, bagaimana perasaan kamu, Nak? Ada yang sakit?"

"Sudah tidak terlalu, Ma." Naomi menjawab dengan suara lirih, bibir pucatnya kembali ia paksa mencipta senyuman. "Chia mana? Kenapa dari tadi Nao tidak melihat dia?"

Ambar tidak langsung menjawabnya, butuh waktu beberapa detik untuk mengungkap keadaan Sang putri bungsu pada Kakaknya. "Chia ... anfal."

"A-apa?" mata jernih gadis itu memburam seketika, air mata sudah lebih dulu menghalangi pandangannya, seiring hatinya yang terasa diremas tangan tak kasat mata. Hari ini ... merupakan hari paling buruk baginya.

Chiara anfal begini tentu karena dirinya, Naomi tahu itu. Padahal selama ini, dialah yang paling bersusah payah berusaha agar adik tersayangnya selalu dalam keadaan baik-baik saja. Ia selalu protektif terhadap menu makan adiknya. Apa yang boleh dan tidak boleh Chiara konsumsi, ia sendiri yang menyeleksi.

Dirinya pula yang selalu mengingatkan Chiara untuk tidak banyak pikiran apalagi stres, ia yang sering kali memberikan nasihat agar Chiara tidak melakukan kegiatan berat. Semua itu Naomi lakukan untuk menjaga kondisi kesehatan jantung adiknya.

Tapi ... nyatanya saat ini penyakit jantung Chiara kambuh justru karena dirinya, karena ia yang ceroboh dan kurang berhati-hati ketika mengemudi. Naomi hanya takut jika kondisi Chiara semakin memburuk.

"Dia akan baik-baik saja, Nao. Jangan terlalu dipikirkan." Seakan paham dengan apa yang putri pertamanya rasakan, Ambar memberikan sebuah kalimat penenang.

"D-di mana dia sekarang, Ma?"

"Ada di IGD bersama Papa." Ada air mata yang menetes di pipi Ambar ketika menjawabnya.

Sebagai teman sekaligus calon besan, Karina menyentuh kedua lengan atas Ambar untuk memberikan sedikit kekuatan, sedikit mendorongnya mendekat pada kursi besi yang berada tak jauh dari posisi mereka.

"Duduk dulu, Am. Sepertinya kamu butuh minum."

Setelah Ambar mendudukkan diri, Karina menyerahkan sebotol air mineral yang berada di atas meja kecil di sisi ranjang padanya—yang segera Ambar terima.

"Kejadian ini benar-benar membuat kami kelimpungan. Kepalaku rasanya berat sekali, Rin. Kenapa semua ini terjadi di waktu yang hampir bersamaan?"

Naomi memejamkan mata mendengarnya, hatinya terasa dicubit. Ia berpikir jika apa yang telah terjadi saat ini adalah akibat dari kecerobohannya. Apa yang terjadi pada Chiara adalah karena dirinya. Ia sangat tahu bagaimana sayangnya Sang adik padanya, ia pun begitu menyayanginya.

"Jika ada hal yang bisa kulakukan, katakan padaku. Mana tahu aku bisa membantumu. Kita ini calon keluarga, bukan?"

Dari sudut mata, Naomi bisa melihat jika Sang calon ibu mertua sedang mencoba menenangkan perasaan ibunya. Naomi kembali menangis tanpa suara, dan di detik itu Nardo kembali meremas tangannya.

"Semua akan baik-baik saja, Sayang," bisik pria itu.

***

Suara denting sendok yang tanpa sengaja mengetuk permukaan mangkuk adalah satu-satunya suara yang terdengar, selebihnya hening. Nardo sedang berusaha menyuapi Naomi. Mangkuk berisi bubur dari menu rumah sakit ada di pangkuan pria itu. Tapi ketika satu suapan ia dekatkan ke depan bibir pucat Sang kekasih, gadis itu membuang muka, menolak suapan dari calon suaminya.

"Aku tidak lapar," lirih gadis itu.

"Tapi kamu harus makan. Kamu ingin cepat sembuh, bukan?"

Naomi tidak membalasnya. Ia hanya menunduk menatap kedua kakinya dengan tatapan kosong. Sesuatu yang sukses membuat Nardo merasa bersedih melihatnya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang? Kamu ingin sesuatu?" tanya pria itu, penuh afeksi. Ia membuang napas singkat lalu kembali menaruh sendok ke dalam mangkuk.

"Entahlah ... rasanya hampa. Aku tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa lagi sekarang? Semua yang terjadi terasa bagai mimpi, mimpi buruk yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya." Suara lembut itu bergetar dan putus asa.

"Aku tahu kamu pasti kuat." Ya, hanya kalimat itu yang mampu Nardo ucap sebagai bentuk dukungan moril untuk gadis yang ia cintai.

"Aku ingin bertemu dengan Chia."

"Aku akan mengantarmu, Sayang."

***

Tbc...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel