Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 - runtuh

Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.

Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan.

Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Evan segera meminta izin untuk meninggalkan kampus kemudian melesat menuju rumah sakit yang seseorang tadi ucapkan.

Melihat Chiara yang sudah berjalan terlebih dahulu, Evan mempercepat langkahnya mengimbangi setiap langkah gadis itu di sisi kanan. Ia menatap tanpa jeda sambil terus berjalan bersisihan dengan Chiara, takut terjadi sesuatu padanya mengingat gadis itu memiliki riwayat penyakit jantung. Ia ... hanya khawatir. Khawatir yang berlebihan.

Sesampainya di depan Instasi Gawat Darurat sudah ada Ayah dan ibunya, beserta Nardo yang bersiaga di depan pintu. Mereka sudah tiba lebih dulu, menunggui kabar dari Naomi—yang sedang ditangani di dalam sana—dengan wajah-wajah berekspesi tegang dan cemas. Bahkan Ambar yang notabene ibu dari Naomi dan Chiara sudah berurai air mata sejak tadi.

"Astaga, Chia ..." wanita baya itu terhenyak ketika menyadari kedatangan putrinya yang satunya lagi. Ia menghapus kasar air mata di kedua pipinya, segera bergegas menghampiri Chiara.

Secara refleks langkah Chiara berhenti. Tubuh gadis itu sedikit oleng, tetapi Evan dengan sigap menangkapnya, menahan kedua sisi bahunya sehingga gadis itu masih mampu mempertahankan pijakan kedua kakinya.

"Kamu tidak apa-apa?" pertanyaan dari Evan sarat akan kecemasan. Dan dibalas anggukan pelan oleh Chiara.

"Aku baik." Gadis itu menjawab selirih bisikan.

Dengan dibantu Ambar, Chiara dipapah ke kursi tunggu bersama Evan kemudian mendudukkannya di sisi Indra Wardhana, ayahnya. Sedangkan Nardo masih bertahan berdiri di sisi pintu, tak bergerak sama sekali dari situ.

"Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Kakak, Ma, Pa, Kak Nardo?" seraya memandangi satu persatu orang di sana, Chiara bertanya.

Semua orang di sana tampak mengunci mulut mereka, sedangkan Ambar mendudukkan diri di samping Chiara. "Kamu tenang ya, Nak. Kamu tidak boleh banyak pikiran, oke?"

Ambar berujar pelan-pelan. Tentu ia tidak ingin hal yang terjadi saat ini semakin membebani pikiran putri bungsunya. Ia lebih dari sekedar tahu bagaimana kondisi kesehatan jantung Chiara.

"Kakakmu mengalami kecelakaan saat menuju ke gedung Dirgantara."

Namun, nyatanya Indra justru mengungkap apa yang terjadi begitu saja. Kedua tangannya terlihat saling meremat di atas pangkuan ketika memutar kepala pada anak gadisnya. Menurutnya, percuma saja menunda-nunda memberikan penjelasan pada Chiara. Toh, pada akhirnya Chiara akan tetap tahu apa yang terjadi pada Kakaknya. Sedangkan Chiara terlihat semakin menekan dada kirinya.

"Khh!" satu lirihan lolos dari celah bibir gadis itu ketika nyeri di dadanya semakin terasa. Hal tersebut berhasil menarik rasa khawatir Evan semakin bertambah kadarnya.

"Kamu baik-baik saja, Chia?"

Chiara mengagguk sebagai jawaban, meskipun raut wajahnya semakin pucat. Ia mencoba menahan rasa sakit, demi Sang kakak. Setidaknya bukan sekarang waktu yang tepat untuk anfal.

"Kamu tidak perlu khawatir, Naomi pasti baik-baik saja, dia gadis yang kuat. Jangan terlalu dipikirkan, Sayang." Satu belaian lembut Indra daratkan di atas permukaan rambut putrinya dengan memasang senyum. Senyuman yang lebih didominasi rasa takut kehilangan dan rasa cemas yang meluap-luap.

Chiara kembali mengangguk sekali, lalu menoleh pada presensi Nardo. Wajah calon Kakak iparnya itu pucat pasi, kerap kali dia kedapatan meremas rambut pirangnya. Sama seperti yang lain, atau bahkan Nardo adalah yang paling merasa khawatir sekarang. Ia seakan sedang bermimpi, bahkan ia masih mampu merasakan pagutan lembut Sang kekasih beberapa jam lalu, tapi kini keadaan berbalik tanpa mampu ia duga.

***

'Nona Naomi mengalami cedera saraf tulang belakang traumatis akibat kecelakaan yang ia alami. Bisa jadi ia mengalami benturan yang cukup kencang pada bagian punggungnya sehingga membuat tulang punggungnya bergeser. Kemungkinan besar ia akan mengalami Paraplegia.'

Nardo memejamkan mata pedih ketika kembali mengingat penjelasan dokter beberapa waktu lalu. Remasan tangannya pada tangan Naomi menguat, ia hanya takut jika calon istrinya akan sukar menerima kenyataan yang telah menimpa.

Paraplegia adalah kelumpuhan pada anggota gerak, dimulai dari panggul ke bawah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya fungsi gerak dan fungsi indera akibat adanya gangguan pada sistem saraf yang mengendalikan otot anggota gerak bagian bawah. Yang artinya Naomi akan kehilangan kemampuannya untuk berjalan.

Tentu dengan keadaannya yang seperti itu bisa dipastikan bahwa gadis itu tidak akan mampu lagi menari. Sedangkan menari adalah hidup Naomi, Nardo sangat tahu itu. Ia kembali membuka mata, menatap wajah dengan mata yang masih menutup rapat itu dalam diam. Ia tidak tega.

"Mas Nardo ...."

Yang dipanggil namanya segera menegakkan posisi duduknya. Nardo segera mengubah raut muka, sedikit mencetak senyuman pada kedua belah bibirnya saat menyadari bahwa Naomi sudah terbangun dari tidurnya, menyebut namanya lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Wajah pasi gadis itu tampak menahan sakit, Nardo bisa melihatnya.

"Syukurlah ... kamu sudah bangun, Sayang. Apa yang kamu rasakan sekarang? Mananya yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?" tanyanya dengan penuh afeksi.

Sedangkan Naomi terlihat mengernyitkan dahi. Yang ia rasakan saat ini tidak lagi mampu terdefinisi. Rasa nyeri mendominasi sekujur tubuhnya, namun yang paling ia khawatirkan adalah anggota gerak bawahnya.

"Kakiku. Apa ... kakiku baik-baik saja, Mas?" Naomi mempertemukan tatapan mata. "A-aku ... aku entah kenapa tidak bisa menggerakkan kakiku." Pertanyaan itu terdengar lirih, dengan air mata yang siap tumpah.

'Apa yang harus kukatakan, Tuhan?'

Nardo hanya mampu balas menatap tanpa mampu menjawabnya. Hatinya perih sekali melihat gadis yang ia cintai seperti itu.

Dan atas kediaman Nardo, membuat Naomi menyadari jika sesuatu telah terjadi padanya. Air mata gadis itu tumpah begitu saja.

"M-mas? Jangan bilang kalau kakiku—"

"Kamu baik-baik saja," ucap Nardo, memotong kalimat yang belum selesai Naomi ungkap. Genggaman tangan pria itu semakin menguat. "Kamu akan baik-baik saja. Aku berjanji, aku akan melakukan apa pun demi kesembuhan kamu."

"Jadi, a-aku—"

"Kamu percaya aku, 'kan?" tangan kanan Nardo menyentuh pipi Sang calon istri, menatap kedua mata gadisnya dalam-dalam, mencoba meyakinkan. "Setelah kita menikah, kita akan keluar negeri. Aku akan bawa kamu ke dokter terbaik untuk menyembuhkan kakimu. Kamu akan bisa berjalan, bahkan menari lagi."

Tangisan Naomi semakin histeris setelahnya. Dunianya terasa hancur dalam sekejap mata, langit seakan runtuh menimpa dirinya, meremukkan jiwa beserta raganya hingga tak berbentuk.

Tangan Nardo bergerak meraih belakang kepala Naomi. Dengan mata terpejam, ia menyimpan wajah penuh duka itu ke dalam permukaan dadanya, memeluknya, mencoba menenangkannya. Kesedihan Naomi adalah bagian dari kesedihannya, ia ... sama hancurnya.

Chiara yang berada di ambang pintu hanya mampu meneteskan air mata sembari meremat kencang blouse di bagian dada. Menatap pedih dari kaca daun pintu. Rasa sesak semakin menjadi, seakan merenggut pasokan oksigen di paru-parunya. Andai bisa, biar ia saja yang merasakan sakit yang kakaknya derita.

Dan di belakang tubuhnya, ada Evan yang meremas kedua bahunya, menguatkan.

"Kamu kuat, Chia."

Namun, cengkeraman Chiara di dadanya justru semakin kuat. Di titik itu terasa semakin nyeri, sedangkan udara seakan menghilang, membuat napasnya tersengal. "Hah! Hah!"

"Chia, apa yang—Astaga!" dan di detik itu pula kedua mata Evan membulat. Tubuh Chiara oleng, beruntung ia masih mampu menangkapnya. Ketika menatap wajahnya, wajah jelita itu tampak membiru, hampir kehilangan kesadaran. "Om, Tante ... Chia pingsan."

Mendengar teriakan Evan, Ambar dan Indra bergegas mendekati mereka. Melihat kondisi putri bungsunya, suara Ambar tercekat. Tangannya terangkat menutupi mulutnya. "Ya Tuhan ...."

"Kita bawa Chia ke IGD," putus Indra, cepat.

"Biar Evan saja yang menggendongnya."

***

Tbc...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel