Bab 7 - memupuk keyakinan
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.
Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa.
"Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik.
Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak."
"Bagaimana kondisimu?"
"Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya.
"Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakkan kaki." Naomi mengakui apa yang dirinya rasa seraya mencoba menggerakkan kedua tungkainya, meskipun tidak terjadi pergerakan apa-apa. Senyuman itu berubah pedih.
"Kakak pasti sembuh. Kak Nardo pasti akan melakukan apa pun untuk Kak Nao. Ya, 'kan?" Chiara menatap mata biru calon Kakak iparnya, terkekeh dipaksakan.
"Benar." Nardo memberinya senyuman sebagai respons, salah satu tangannya membelai rambut Chiara. Ia sudah menganggap gadis belia itu sebagai adiknya sendiri. "Bagaimana dengan kamu? Apa yang kamu rasakan, Chia?"
"Sebenarnya ... Chia takut." Chiara terdiam sebentar, ada sorot ketakutan yang mampu Nardo tangkap dari tatapan mata gadis itu. "Dokter bilang kalau Chia harus melakukan operasi cangkok jantung secepatnya. Kalau tidak, maka Chia akan—" kalimat Chiara menggantung di udara. Gadis itu tak mampu melanjutkan ucapannya. Meski begitu, baik Nardo maupun Naomi sudah tahu apa kelanjutan dari kalimat adik mereka. Yang pasti, hal itu merupakan fakta buruk yang baru saja mereka dengar dan harus mereka telan pahitnya.
Naomi sudah mendengar itu dari orang tuanya. Kondisi kesehatan jantung Chiara memburuk secara tiba-tiba, gadis itu mengalami gagal jantung.
Gagal jantung adalah kondisi tubuh di mana kinerja otot jantung melemah. Akibat dari kondisi ini, organ tidak mampu memompa cukup darah ke seluruh tubuh pada tekanan yang seharusnya.
"Apa ... Chia bakalan mati, Kak?" Chiara sudah tidak mampu lagi membendung air mata.
"Ssttt, jangan ngomong begitu!" Naomi menyanggahnya cepat. Ia menggenggam salah satu tangan dingin adiknya. "Justru dengan kamu melakukan operasi cangkok jantung, kamu pasti akan sembuh."
"Kamu harus yakin, kondisi kamu akan menjadi lebih baik dengan cara itu." Nardo menambahi kalimat Sang calon istri. "Kamu harus sehat, bukannya kamu mau jadi bridesmaidnya Kakak kamu, hm? Pernikahan kami tinggal hitungan hari, loh ..." lanjutnya, diselingi senyuman teduh yang khas, berusaha menyemangati.
"Doakan Chia ya, Kak? Semoga segera ada donor jantung yang cocok untuk Chia."
Naomi mengangguk, senyuman itu kembali terbit. "Pasti. Kak Nao dan Kak Nardo tidak akan pernah lelah berdoa untuk kesembuhan kamu."
"Sekarang kamu istirahat, ya? Jangan banyak pikiran. Katanya sebentar lagi Evan akan datang menjenguk." Sembari berucap, Nardo sekali lagi membelai puncak kepala Chiara tanpa melunturkan senyumannya.
"Terima kasih."
Nyatanya ... segala perhatian yang kedua kakaknya bagi untuk Chiara telah mampu membuat rasa ketakutan gadis itu sedikit mereda.
***
"Kenapa datang lagi? Kamu tidak lelah di sini terus?" Chiara berucap begitu saat Evan baru saja mendaratkan pantatnya pada kursi besi di sisi ranjang gadis itu. Nada ketus memang biasa si gadis ucap, meskipun kali ini terdengar begitu lirih tak bertenaga. Maka dari itu Evan sama sekali tidak merasa tersinggung, ia hanya memasang wajah pura-pura kesal saat bertemu pandang.
"Padahal aku baru saja datang, sudah dapat omelan." Lengan-lengan pemuda itu terlipat di dada, dengan memutar bola matanya.
"Bukan seperti itu. Aku tahu jika kamu punya kehidupan lain, aku hanya tidak enak hati karena sebagian waktumu habis di tempat ini." Chiara memperjelas kalimatnya tadi. Pasalnya semenjak Sang kakak masuk ke rumah sakit hingga detik ini, Evan memang sering menemaninya.
"Tidak apa-apa. Kita bersahabat, 'kan? Jadi, sudah sewajarnya seperti ini." Namun, ucapan Chiara dibantah begitu saja oleh si pemuda. Selanjutnya Evan mengangkat sebuah kantung plastik yang sedari awal ia bawa, yang sempat ia taruh di sisi kursi yang ia duduki. "Aku membawakan sesuatu untukmu, Ibuku yang membuatnya."
Tangan rapuh Chiara tentu segera meraihnya, tak sabar membuka wadah kotak berbahan plastik di dalamnya. Dan seketika itu kedua mata indahnya berbinar bahagia. "Wah, puding mangga! Sepertinya enak."
"Tentu saja, masakan Ibuku adalah yang terenak nomor satu di dunia." Si pemuda berucap dengan senyum bangga, kembali bersedekap saat Chiara memandang takjub makanan kesukaannya itu. "Beliau berpesan padamu agar kamu segera sembuh," lanjutnya.
"Ameen. Terima kasih, Van." Senyum manis gadis itu terbit, meski tak seperti senyuman yang biasa ia tampilkan. "Tapi, sepertinya aku akan lama dirawat di sini." Ada sorot pedih pada tatapan mata hazelnya. Tentu hal itu berkaitan dengan kondisi kesehatannya.
"Apa yang terjadi?" berkat ucapan Chiara, senyum pemuda itu sirna seketika. Perasaan tak enak segera merasuk di dada, ia merasa sesuatu yang buruk sedang terjadi pada diri Chiara. Ia segera memusatkan atensinya, menatap wajah cantik nan pasi itu penuh afeksi, menunggu jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan tadi.
"Jantungku semakin parah. Aku kurang tahu persisnya bagaimana, hanya saja sesuatu yang buruk sudah terjadi." Chiara mengaku dengan menunduk putus asa. Ia kembali menutup tempat puding di atas pangkuan kemudian meletakkannya di sisi tubuhnya.
Mendengar hal itu, Evan merasa ada sesuatu yang menahan napasnya. Dadanya terasa sesak saat mengetahui satu fakta yang Chiara ungkap. "Apa yang kamu rasakan sekarang, Chia?"
"Selain rasa sesak dan sakit, takut adalah hal yang mendominasi di sini, Van." Si gadis menunjuk dadanya sendiri. Mata indahnya mulai berembun ketika ia mengangkat wajahnya. "Sejujurnya aku belum siap untuk mat—"
"Kamu akan sembuh, Chia!" Evan memotong ucapan Chiara segera. Sesuatu yang sejenak membuat si gadis terkaku di tempatnya. Ah, pemuda itu tanpa sadar sedikit meninggikan suara, hal yang jarang sekali ia lakukan ketika berbicara dengan Chiara. Evan hanya terlalu khawatir. "Aku yakin, Dokter dan keluargamu akan melakukan apa pun untuk kesembuhanmu," lanjutnya saat sudah mampu menguasai perasaannya.
"Yah, aku juga berharap begitu. Aku pasti sembuh!" Senyum itu kembali terbit menghiasi wajah Chiara. Rasa kejutnya hilang saat ia berusaha memahami kekhawatiran Evan padanya. Sahabatnya itu memang begitu menyayanginya, ia tahu itu. "Ah, Diana pasti akan merindukanku."
***
Tbc...
