Pustaka
Bahasa Indonesia

Wasiat Cinta Untuk Chiara

73.0K · Tamat
Riri riyanti
70
Bab
898
View
9.0
Rating

Ringkasan

Hey, jantung ... kenapa kau selalu berdetak kencang ketika melihatnya, huh? Apakah pemilikmu yang sebelumnya ... begitu mencintainya? --- Chiara, seorang gadis belia yang mengidap penyakit jantung bawaan tidak pernah menduga bahwa hidupnya akan menjadi seperti ini. Kematian Sang kakak, Naomi, yang secara mendadak nyatanya berhasil mengubah dunianya. Bukan hanya rasa kehilangan, ia pun merasa sesuatu yang aneh terjadi dalam detakan di dadanya, tepat setelah ia melakukan operasi transplantasi jantung. Bagaimana mungkin dirinya bisa jatuh cinta pada mantan calon suami kakak kandungnya sendiri? --- "Jadi, siapa yang sebenarnya kamu cintai, aku atau jantung ini?" - Chiara

Tuan MudaRomansaMetropolitanSweetKampusKeluargaSalah PahamPengantin PenggantiMenyedihkanDewasa

prolog

'Kak Nardo ...'

Secara refleks tangan Chiara terangkat menyentuh dada. Entah karena terkejut atau bagaimana, gadis itu merasa jantungnya mendadak berdebar-debar ketika tatapannya menangkap presensi seseorang yang sangat tidak asing di ujung sana. Sosok seorang pria yang tampak tertidur sambil duduk bersandar pada laci abu yang Chiara tebak adalah milik Naomi, kakaknya. Apalagi ketika langkahnya semakin memutus ruang dengan si pria.

Chiara memperhatikan wajah tampan dengan mata terpejam itu dalam diam. Binar jingga yang terbias di wajah itu membuatnya tampak lebih elok di matanya. Dia memegangi dada kiri, mencoba meredakan detakannya. Gadis itu merasa terkejut dan heran. Dia tidak biasanya begini ketika bertemu dengan Nardo, bahkan sejak dulu.

Rasanya sangat sesak ketika melihat raut duka mendominasi rupa mantan calon suami kakaknya, namun di satu sisi ia merasa ... lega?

'Kamu lihat, Kak? Kak Nardo terlihat hancur setelah kepergianmu.'

Setelah membuang napas yang terdengar berat, Chiara mengalihkan atensi pada potret Naomi di dalam laci. Dia meletakkan sebuket bunga anyelir di sisi buket bunga mawar merah yang ia tebak, Nardo lah yang membawanya.

"Chia datang ... bagaimana kabar Kakak di sana? Pasti sekarang Kakak sudah bisa menari lagi di Surga." Gadis itu berucap disertai senyuman.

Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya angin dingin yang menerobos celah jendela yang seakan membelai wajahnya.

Chiara menghela napas panjang, senyum yang awalnya terangkai indah itu menghilang, berubah sendu. "Sesak sekali rasanya saat tahu kalau Kakak sudah pergi. Kakak tahu, Chia kecewa sama Kakak. Chia tidak menyangka kalau Kakak bisa berpikiran sesempit itu."

Lagi-lagi hanya hening yang menjawabnya.

"Tapi biar bagaimanapun, Chia hargai keputusan Kakak. Chia selalu berdoa kalau kebahagiaan abadi itu sudah ada dalam genggaman tangan Kakak sekarang." Kali ini Chiara kembali tersenyum, meskipun air mata kembali jatuh di kedua pipi. Entah sudah berapa liter air mata yang mengalir dari kedua mata indahnya hari ini. "Lihat, belum apa-apa Chia sudah kangen sama Kakak. Chia kangen nasihat Kakak, kangen rebutan remote teve sama Kakak, bahkan ... Chia kangen omelan Kakak." Ada kekehan pedih di akhir kata.

Ketika angin dingin kembali menerbangkan beberapa helai rambutnya, Chiara memejamkan mata. Dia merasa jika terpaan angin itu adalah balasan dari setiap kalimat yang dirinya ucapkan untuk sang kakak tercinta.

"Maafkan Chia, maaf kalau selama ini Chia belum bisa menjadi adik yang baik buat Kakak. Chia sayang banget sama Kakak." Dia menghapus air mata, kemudian mengatupkan kedua tangan di depan dada, berdoa dengan menutup mata.

"Sudah berdoanya, Chia?"

Chiara tersentak lalu membuka mata segera. Ketika suara maskulin itu berhasil menyapa telinga, lagi-lagi jantungnya berdegup kencang. Ketika dia menoleh ke kanan, sosok jangkung mantan calon suami kakaknya sudah berdiri di sisinya. "K-kak Nardo sudah bangun?"

"Baru beberapa detik yang lalu." Nardo memberinya senyuman manis sebelum kembali melanjutkan kata. "Kakak sedikit terkejut saat melihat kamu ada di sini. Kamu ke sini sama siapa?"

"Sendirian."

Sontak saja wajah Nardo berubah cemas. "Astaga! Nao bisa khawat—" pria itu menggantung kata, urung melanjutkan kalimatnya. Dia baru sadar kalau Naomi sudah tiada.

"Tidak apa-apa, Chia sudah bilang sama Kak Nao tadi." Seakan paham dengan apa yang Nardo rasakan, Chiara menyentuh lengan atas pria itu dengan jantungnya yang ricuh, lalu memberikannya senyuman kecil. "Kakak terlihat kacau," lanjutnya.

Nardo tersenyum hambar menanggapinya. "Kelihatan banget, ya?"

Chiara mengangguk.

"Yah, mau bagaimana lagi?" Kedua bahu itu terangkat singkat, masih dengan senyum yang tak sampai ke mata, menatap potret Naomi di dalam laci sana. "Kakak merasa kalau separuh nyawa Kakak ikut pergi bersama Nao. Sejujurnya Kakak belum siap kehilangan dia."