Bab 3 Pembantaian misi balas dendam
Motor melaju kencang menembus malam, aroma aspal basah bercampur dengan bau anyir darah yang mengering di pakaian Ara dan Takeda. Angin menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk mengusir panas dari luka-luka yang terbuka.
Ara menekan perut Takeda yang masih berdarah. Tangannya terasa lengket, hangat, dan basah. Darah itu milik Takeda dan mungkin sebagian miliknya sendiri.
“Bertahanlah,” bisiknya.
Takeda hanya mendesis, napasnya berat dan terputus-putus.
Di depan, Kiyoshi menggeber motor lebih cepat, membelah jalanan kota yang sepi. Sesekali bayangan hitam melintas dari kejauhan. Mereka belum sepenuhnya lolos.
Ara menatap punggung pria itu dengan perasaan bercampur. Dulu Kiyoshi adalah sosok yang ia percayai, seseorang yang pernah ia anggap sebagai keluarga. Tapi kini semuanya terasa berbeda.
“Kita mau ke mana?” Ara akhirnya bertanya.
Kiyoshi tidak menjawab, hanya menarik gas lebih dalam.
Lalu tanpa peringatan dia membanting setang ke kanan, memasuki gang sempit di antara dua bangunan tua. Motor berhenti mendadak.
“Turun,” perintahnya singkat.
Ara menggeram, tapi mengikuti. Dia setengah menyeret Takeda turun, membuat darah segar menetes ke trotoar.
Kiyoshi menatap mereka, terutama Takeda yang semakin pucat.
“Dia tidak akan bertahan lama,” katanya dingin.
Ara menatapnya tajam. “Kalau begitu bantu aku.”
Kiyoshi menghela napas sebelum menarik sesuatu dari balik jaketnya. Pisau.
Darah Ara langsung mendidih. Tangannya bergerak refleks ke senjata di pinggangnya, tapi sebelum dia sempat mengangkatnya Kiyoshi sudah melempar pisau itu ke udara lalu menangkapnya kembali dengan cengkeraman kuat.
“Aku bisa membuatnya cepat,” ucapnya, sorot matanya tajam menusuk.
Ara menegang. “Apa maksudmu?”
Kiyoshi mengangkat bahu. “Takeda sekarat. Kita tidak punya waktu dan kalau kau pikir dia akan selamat dalam kondisi seperti ini kau hanya memperpanjang penderitaannya.”
“Aku tidak akan membunuhnya!” bentak Ara, kemarahan merayapi suaranya.
Kiyoshi tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. “Kau selalu terlalu sentimental Ara.”
Takeda tiba-tiba terbatuk, darah segar keluar dari mulutnya. Ara berlutut, menekan luka di perut pria itu lebih keras, tapi aliran darahnya semakin deras.
Takeda membuka matanya, lemah. “Ara dia benar.”
Ara menggeleng keras. “Jangan bilang begitu.”
Sebuah suara berderak terdengar dari kejauhan. Langkah kaki mendekat.
“Kita tidak punya waktu,” kata Kiyoshi.
Ara menatap Takeda. Mata sahabatnya sudah kehilangan kilau kehidupan, napasnya semakin pelan.
Ara menelan ludah, lalu mengangkat pistolnya bukan ke arah Takeda tapi ke arah Kiyoshi.
“Kita semua keluar dari sini atau aku akan menanam peluru ini di kepalamu.”
Kiyoshi menyeringai. “Sekarang itu baru Ara yang kukenal.”
Langkah kaki semakin dekat. Lalu tembakan meledak di udara.
Mereka tidak sendiri lagi.
Tembakan pertama menghantam dinding di dekat kepala Ara, membuat serpihan beton beterbangan. Dia segera menarik Takeda ke belakang tumpukan kayu tua sementara Kiyoshi sudah bergerak cepat, menempel di dinding dengan pisau di tangannya.
Suara langkah kaki semakin jelas. Mereka datang lebih cepat dari perkiraan. Ara mengintip dari sela-sela kayu, melihat tiga pria berbaju hitam menyapu area dengan senapan laras panjang.
“Sial,” desisnya.
Kiyoshi menatapnya sekilas. “Dua di kanan, satu di kiri. Kau ambil yang kiri, aku urus yang lain.”
Ara mengangguk tanpa berpikir. Adrenalin menguasai tubuhnya. Dia menarik pistol dari sarungnya, mengambil napas panjang, lalu keluar dari persembunyian dalam satu gerakan cepat.
Dua tembakan.
Pria di kiri terhuyung ke belakang, dadanya berlubang, darah menyembur deras. Yang lain langsung bereaksi, tapi Kiyoshi sudah lebih dulu menyelinap di antara bayangan, pisau di tangannya menari cepat.
Jeritan singkat terdengar.
Ara bergerak ke depan, memastikan musuh benar-benar mati. Langkahnya cekatan, napasnya teratur. Ini bukan pertama kali dia membunuh, dan dia tahu ini juga bukan yang terakhir.
Kiyoshi menendang tubuh salah satu pria yang dia bunuh. “Lima detik lebih lambat dari biasanya. Kau kehilangan sentuhan?”
Ara mendengus. “Aku masih lebih cepat daripada kau.”
Takeda mengerang di belakang mereka, menarik perhatian Ara. Luka pria itu semakin parah. Dia butuh bantuan medis—segera.
“Kita harus pergi,” ucap Ara.
Kiyoshi mengangguk. “Aku tahu tempat.”
Mereka kembali ke motor, meninggalkan tubuh-tubuh tak bernyawa di belakang tanpa rasa ragu sedikit pun.
Malam itu belum selesai. Dan mereka masih punya banyak nyawa untuk dihabisi.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bau minyak dan logam menyengat. Di dalamnya, beberapa orang sudah menunggu.
Seorang pria berkepala plontos dengan tato ular di lehernya menyeringai melihat mereka datang.
“Aku sudah dengar tentang kalian,” katanya. “Tiga orang membantai markas kecil milik kami. Berani sekali.”
Ara hanya diam. Tangannya masih menggenggam senjata, siap menarik pelatuk kapan saja.
Kiyoshi tertawa kecil. “Kalau kau ingin balas dendam, lakukan sekarang.”
Pria bertato itu mengangkat tangan, memberi isyarat pada anak buahnya. Enam orang maju, semua bersenjata lengkap.
Ara menghela napas.
“Misi berikutnya,” bisik Kiyoshi.
Dalam sekejap, peluru kembali berhamburan.
Darah mengalir membasahi lantai beton. Aroma mesiu bercampur dengan bau besi yang tajam dari tubuh-tubuh yang berserakan. Ara menghindari peluru terakhir dengan lompatan cepat ke belakang, lalu mengarahkan pistolnya ke kepala pria terakhir yang tersisa.
Dor!
Tubuh pria itu ambruk, mata kosongnya menatap langit-langit yang berdebu.
Kiyoshi menurunkan senjatanya, mendekati salah satu mayat dan menggeledahnya. Dia menemukan sebuah ponsel, menyalakannya, dan menyeringai. “Kita punya masalah.”
Ara menatapnya tajam. “Apa?”
Kiyoshi melemparkan ponsel itu ke Ara. Di layar terlihat pesan terakhir yang terkirim sebelum mereka membantai tempat ini. "Mereka di sini. Kirim semua orang."
Ara mengumpat.
Takeda, yang bersandar lemah di dinding, berusaha berdiri. “Berapa lama kita punya waktu?”
Kiyoshi menatap jam tangannya. “Lima menit, paling lama.”
Suara mesin mobil terdengar di kejauhan, diikuti oleh gemuruh langkah kaki.
Ara menarik napas dalam. Mereka terjebak.
Tapi dia tidak pernah takut.
Dia menggenggam pisaunya lebih erat, melirik Takeda dan Kiyoshi. “Kalau ini harus jadi neraka, mari pastikan kita yang bertahan.”
Kiyoshi tertawa kecil. “Aku suka caramu berpikir.”
Dalam hitungan detik, pintu gudang dihantam kuat.
Mereka datang.
Dan pembantaian baru akan dimulai.
Malam itu, hujan turun deras, membasahi jalan-jalan sempit yang dipenuhi genangan darah. Ara berdiri di atas atap sebuah gedung tua, mengawasi targetnya di bawah. Di dalam sebuah klub malam mewah yang dijaga ketat, duduk seorang pria yang telah lama ada dalam daftar buruannya—Kazuo, orang yang bertanggung jawab atas pembantaian keluarganya.
Jari Ara mengerat di gagang pisaunya. Ingatan itu kembali menghantuinya—tangisan ibunya, tubuh ayahnya yang bersimbah darah, rumah yang terbakar habis. Semua karena Kazuo.
Malam ini, dia akan membayar.
Kiyoshi menyentuh alat komunikasi di telinganya. “Tiga penjaga di pintu depan, dua di lorong samping. Kau ingin masuk diam-diam atau dengan cara lama?”
Ara mengeluarkan pistolnya dengan peredam. “Kita buat ini secepat mungkin.”
Dari atap, dia melompat turun ke balkon, menembak dua penjaga di lorong samping sebelum mereka sempat bereaksi. Kiyoshi bergerak dari sisi lain, menusuk leher salah satu penjaga dan menarik tubuhnya ke kegelapan.
Mereka menyelinap masuk, bergerak seperti bayangan. Ara meraih pisau dari sarungnya dan menebas tenggorokan seorang pria yang sedang berjalan di koridor. Darah muncrat ke dinding, tubuhnya jatuh tanpa suara.
Di dalam ruangan utama, Kazuo tertawa bersama anak buahnya, tanpa sadar bahwa ajalnya semakin dekat.
Takeda, yang sudah lebih pulih, menyamar sebagai pelayan dan berjalan ke arah meja Kazuo, membawa segelas minuman yang telah dicampur racun mematikan. Saat Kazuo mengambil gelas itu, Ara bergerak cepat.
Dua tembakan senyap menghancurkan lampu-lampu ruangan, menciptakan kekacauan. Dalam gelap, dia menerjang ke depan, pisaunya menusuk perut salah satu pengawal Kazuo sebelum menariknya ke atas, merobek tubuhnya hingga ke dada. Pria itu menjerit, tapi langsung dibungkam dengan peluru di kepala.
Kazuo terkejut, berdiri dengan panik. “Siapa kalian?”
Ara berjalan mendekat, wajahnya penuh kebencian. “Anak dari keluarga yang kau habisi.”
Mata Kazuo membelalak. “Tidak mungkin… Kau seharusnya mati!”
Ara tersenyum dingin. “Sayangnya, aku masih di sini untuk menyelesaikan urusan kita.”
Kazuo berusaha menarik pistolnya, tapi Ara lebih cepat. Dia melempar pisaunya, tepat menancap di bahu Kazuo, membuat pria itu berteriak kesakitan.
Kazuo tersungkur ke lantai, darah merembes dari lukanya. Ara berjalan mendekat, menendang senjata Kazuo menjauh sebelum berlutut di sampingnya.
“Bagaimana rasanya kehilangan segalanya?” bisik Ara, suara penuh racun.
Kazuo terbatuk, darah menetes dari bibirnya. “Aku hanya menjalankan perintah… Aku—”
Ara tidak memberi kesempatan. Dia menekan pisaunya lebih dalam, memutar bilahnya hingga Kazuo menjerit keras.
Kiyoshi berdiri di belakang, memperhatikan dengan ekspresi datar. “Selesaikan ini, Ara. Kita tidak punya banyak waktu.”
Tanpa ragu, Ara menarik pistolnya dan menempelkan moncongnya di kepala Kazuo.
Dor.
Tubuh Kazuo terkulai lemas, nyawanya hilang dalam sekejap.
Ara menarik napas panjang, menatap tubuh pria yang selama ini menghantuinya.
Balas dendam telah tuntas.
Tapi hatinya masih terasa kosong.
Kiyoshi menepuk pundaknya. “Kita harus pergi.”
Sirene mulai terdengar di kejauhan. Tanpa melihat ke belakang, Ara melangkah keluar, meninggalkan tubuh tak bernyawa yang dulu menghancurkan hidupnya.
Misi selesai. Tapi perang masih jauh dari kata berakhir.
