Bab 2 MATAHARI SUDAH TINGGI
Matahari sudah tinggi saat Ara sampai di distrik timur. Wilayah ini berbeda dari bagian kota lainnya
lebih sepi, lebih gelap, dan terasa seperti tempat di mana rahasia kelam tersembunyi di setiap sudut.
Hoshiko Estate tidak sulit ditemukan. Bangunan itu berdiri di ujung jalan berbatu, dikelilingi pagar besi tua yang mulai berkarat. Beberapa jendela tertutup tirai tebal, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Ara mendekati gerbang perlahan. Tertutup. Tapi tidak terkunci.
Dengan hati-hati, dia mendorongnya, memastikan tidak ada suara mencurigakan yang bisa menarik perhatian. Saat memasuki halaman, perasaannya semakin tidak nyaman. Terlalu sepi. Terlalu sunyi.
Dia merogoh jaketnya, memastikan pisau lipatnya masih di tempat. Pistolnya tetap tersembunyi di pinggang, hanya untuk keadaan darurat.
Langkahnya nyaris tak bersuara saat menaiki tangga kayu yang sedikit rapuh. Dia menekan gagang pintu utama, dan seperti yang diduga—tidak terkunci.
Seseorang sudah ada di sini.
Dia menarik napas dalam, lalu masuk.
Udara di dalam rumah terasa berat. Bau debu bercampur sesuatu yang lebih tajam, seperti logam—atau darah. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela memberikan sedikit penerangan, tapi tidak cukup untuk mengusir kegelapan di dalam ruangan itu.
Langkahnya membawa dia ke ruang tamu yang dipenuhi perabotan tua. Di sudut ruangan, ada meja kecil dengan segelas minuman yang masih setengah penuh.
Seseorang baru saja di sini.
Ara berjalan lebih dalam, menelusuri lorong panjang dengan dinding yang mulai mengelupas. Setiap langkahnya dipenuhi kewaspadaan. Dia tahu bahaya bisa datang dari mana saja.
Tiba-tiba, dia mendengar suara.
Pelan, hampir seperti bisikan.
Dia berhenti. Mengamati.
Dari balik pintu di ujung lorong, suara itu semakin jelas. Suara seseorang yang bernafas berat, disertai bunyi sesuatu yang bergeser di lantai.
Ara mendekat perlahan, menempelkan telinganya ke pintu.
“…tolong…”
Sebuah suara lemah, hampir tidak terdengar.
Tanpa ragu, Ara membuka pintu dengan cepat, bersiap menghadapi apa pun yang ada di dalamnya.
Yang dia temukan membuatnya terdiam.
Di tengah ruangan yang remang-remang, seorang pria terduduk bersandar di dinding. Wajahnya penuh luka, tubuhnya berlumuran darah, dan matanya nyaris tidak bisa terbuka.
Katsuro Takeda.
Pria itu mengangkat kepalanya dengan susah payah, menatap Ara dengan tatapan kosong. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran kembali ke matanya.
“Kau…” suaranya serak. “Siapa… kau?”
Ara tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap pria itu dengan ekspresi datar, mencoba memahami situasi ini.
Takeda seharusnya menjadi targetnya. Tapi seseorang telah mendahuluinya.
Seseorang sudah mencoba membunuhnya lebih dulu.
Ara berlutut di sampingnya, mengamati lukanya. Tidak ada luka tembak, hanya luka sayatan yang dalam di lengan dan perutnya.
“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya pelan.
Takeda menggeleng lemah. “Aku… tidak tahu… Mereka datang begitu saja…”
Ara menyipitkan mata. “Berapa orang?”
“Empat… mungkin lima…” napasnya tersengal. “Mereka mencari sesuatu…”
Ara diam sejenak, lalu bertanya, “Apa yang mereka cari?”
Takeda menelan ludah. “File… sebuah dokumen…”
Ara tahu ini bukan hanya sekadar perampokan biasa. Jika seseorang mengincar dokumen dari seorang pria seperti Takeda, itu berarti sesuatu yang besar sedang terjadi. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pembunuhan biasa.
Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari luar.
Ara langsung berdiri, menarik pisau lipatnya. Matanya menatap pintu dengan tajam.
Mereka kembali.
Dan kali ini, dia harus siap bertarung.
Ara merasakan detak jantungnya berpacu, seolah waktu melambat di sekelilingnya. Ketegangan menyelimuti ruangan sempit dan suram itu. Aroma besi memenuhi udara, bercampur bau luka yang masih basah, luka miliknya dan luka musuhnya. Dalam sekejap, dia terperangkap dalam labirin pilihan: hidup atau mati, menyelamatkan kawannya atau dirinya sendiri.
Takeda terbaring di lantai, tubuhnya lemah dan napasnya tersengal. Dahulu, dia adalah pendamping setia dalam setiap misi, kini hanya bayangan dari sosok kuat yang pernah Ara kenal. Hatinya diliputi perasaan ganjil, perpaduan antara rasa cemas dan kemarahan. Takeda bukan sekadar sekutu. Dia adalah sahabat, bukti nyata dari perjalanan panjang yang mereka lalui bersama.
Pikirannya melayang ke masa lalu, ke saat pertama mereka bertemu. Dunia saat itu terasa lebih terang, belum dinodai pengkhianatan dan kehilangan. Takeda selalu menjadi pelindung, penuh keyakinan. "Kita bisa melewati ini," ucapnya kala itu, dengan keteguhan yang kini terasa begitu jauh. Kata-kata itu kini kembali, namun dengan bayangan suram yang menyertainya.
Tatapan Ara jatuh pada dokumen di tangannya. Nama-nama tercetak jelas di sana. Salah satunya membangkitkan ingatan yang telah lama terkubur, nama seseorang yang menyeretnya ke dalam dunia kelam ini. Sekarang, seolah takdir mempermainkannya, nama itu kembali menghantuinya.
"Takeda…" bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Sebuah tekad menguat di dalam dirinya. Dia tidak hanya harus menyelamatkan sahabatnya, tetapi juga menemukan kebenaran. Namun, benarkah kebenaran sepadan dengan nyawa orang-orang yang ia cintai?
Takeda mengerang pelan, mencoba membuka matanya. "Ara… jangan lupa… siapa kita…" suaranya lemah, hampir tak terdengar, tapi ada sesuatu yang teguh di dalamnya. Mereka selalu punya pilihan, meski hanya satu: mengikuti hati mereka.
Sirene mendekat.
Ara melirik ke luar jendela. Lampu merah dan biru berkedip di kejauhan, bayang-bayang bergerak cepat. Waktu mereka hampir habis.
"Kita harus pergi!" serunya, mengusir rasa takut yang sempat mengakar di hatinya.
Dia berlutut, merangkul tubuh Takeda, membantu pria itu bangkit. "Kita bisa melewati ini, satu langkah pada satu waktu!"
Takeda mencoba berdiri, tubuhnya goyah. Ara bisa merasakan keraguannya, tapi ini bukan saatnya untuk merasa lemah. Mereka telah bertahan sejauh ini, dan dia tidak akan menyerah sekarang.
Cahaya dari luar semakin mendekat. Bayangan-bayangan bergerak di ambang pintu.
Takeda menggigit bibir, menahan rasa sakit. "Ara, kamu harus pergi… Mereka datang!"
"Aku tidak akan meninggalkanmu!" Ara menggeleng tegas. Matanya menyala dengan tekad yang tidak bisa digoyahkan.
Dengan segala tenaga yang tersisa, dia menarik Takeda lebih dekat ke jendela. Jalan di depan mereka gelap, penuh ketidakpastian, tapi Ara tidak peduli. Masa lalu telah membawanya sejauh ini, dan dia akan terus melangkah, bukan hanya untuk menyelamatkan Takeda, tapi untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik semua ini.
Angin malam menusuk kulit saat Ara mendorong jendela hingga terbuka lebar. Kegelapan menyambut mereka, hanya diterangi lampu jalan yang berpendar redup. Tak ada waktu untuk berpikir panjang. Dengan segenap kekuatan, dia menyampirkan lengan Takeda ke bahunya, menopang tubuh sahabatnya yang hampir tak berdaya.
“Pegang aku,” bisiknya.
Takeda mengangguk samar, matanya nanar menahan sakit. Namun, saat langkah mereka mundur, suara sepatu berat bergema dari lorong di belakang mereka.
“Mereka di sini,” lirih Takeda.
Ara menggigit bibir, menatap ke bawah. Lima meter di bawah mereka, sebuah gang sempit membentang, dikelilingi tembok bata yang lembap. Itu satu-satunya jalan keluar.
“Aku akan lompat dulu, lalu kutangkap kau,” katanya tegas.
Takeda mencoba menolak, tapi Ara tak memberi waktu untuk debat. Dia melangkah ke ambang jendela, menarik napas dalam, lalu melompat. Tubuhnya jatuh dengan bunyi berdebum di atas tumpukan kardus dan plastik. Rasa nyeri menjalar di lututnya, tapi dia tak peduli.
“Ayo, Takeda! Percaya padaku!”
Takeda terhuyung di tepi jendela, ragu. Namun suara langkah kaki di lorong semakin dekat. Dengan sisa tenaganya, dia mendorong tubuhnya ke depan.
Ara menangkapnya. Tubuh mereka jatuh ke lantai gang, napas keduanya tersengal.
“Tahan sebentar lagi, kita harus terus bergerak,” ucap Ara sambil membantu Takeda berdiri.
Langkah mereka tertatih, menyusuri gang sempit yang berbau sampah dan logam berkarat. Tapi baru beberapa meter berjalan, cahaya senter menyorot ke arah mereka.
“Sana!” terdengar suara lantang.
Ara menoleh cepat. Dua sosok berpakaian hitam muncul dari ujung gang, senjata terangkat. Jantungnya mencelos.
Takeda terbatuk, tubuhnya semakin berat di bahu Ara. Waktu mereka hampir habis.
Lalu, di kejauhan, terdengar suara yang familiar. Bunyi deru motor.
Sebuah sepeda motor melaju kencang ke arah mereka, lampunya berkedip dua kali—kode yang langsung dikenali Ara.
Tanpa pikir panjang, dia menarik Takeda dan berlari sekuat tenaga ke arah motor itu.
Tembakan meletus di belakang mereka.
Ara menggertakkan giginya, memaksa kakinya melaju lebih cepat. Saat mereka hampir mencapai motor, pengendaranya mengulurkan tangan. Ara meraih pegangan motor dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain masih mendukung Takeda.
Dalam sekali gerakan, mereka naik ke atas motor. Pengendara itu langsung memutar gas, membawa mereka melaju ke kegelapan malam, meninggalkan suara sirene dan teriakan di belakang.
Di tengah perjalanan, Ara akhirnya menoleh, mencoba mengenali siapa penyelamat mereka.
Wajah di balik helm hitam itu menoleh sedikit, suara familiar keluar dari balik masker.
“Kukira kau butuh tumpangan, Ara.”
Dada Ara terasa sesak. Nama itu kembali menghantuinya.
Kiyoshi.
