Pustaka
Bahasa Indonesia

WANITA PEMBUNUH BAYARAN

51.0K · Tamat
Strgood
40
Bab
392
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sepuluh tahun lalu, Ara Chan kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah pembunuhan brutal yang dilakukan oleh pesaing bisnis ayahnya. Malam itu, dia yang masih berusia 14 tahun bersembunyi di dalam lemari, menyaksikan kematian keluarganya tanpa bisa berbuat apa-apa. Rasa takut dan kesedihan berubah menjadi satu hal: dendam. Bertahun-tahun kemudian, Ara muncul kembali sebagai seorang pembunuh bayaran yang dingin dan mematikan. Dia telah melatih dirinya dalam seni membunuh, menyusup ke dunia gelap yang sama dengan para pembunuh keluarganya. Satu per satu, dia memburu mereka, menghabisi orang-orang yang bertanggung jawab atas tragedinya. Namun, di tengah perjalanannya, Ara mulai menghadapi dilema apakah balas dendam benar-benar bisa menghapus luka di hatinya? Atau justru menyeretnya semakin dalam ke kegelapan? Saat rahasia masa lalu terungkap dan musuh baru muncul, Ara harus memilih: tetap menjadi bayangan kematian atau menemukan jalan keluar dari lingkaran darah yang selama ini dia jalani. Dapatkah Ara menemukan kedamaian, atau takdirnya memang ditulis dengan darah?

RomansaDewasaSweetMenyedihkanBaperMusuh Jadi CintaPsikopatIdentitas GandaCerita

Bab 1: Bayangan Masa Lalu

Hujan deras mengguyur gang sempit kota. Lampu jalan berkedip samar, menciptakan bayangan yang menari di dinding tua.

Seorang wanita melangkah perlahan. Mantel hitam panjangnya berkibar tertiup angin. Langkahnya tenang, matanya tajam, mengawasi sekitar dengan penuh waspada.

Namanya Ara Chan.

Di dunia bawah tanah, namanya bukan sekadar sebutan. Dia adalah eksekutor, pembunuh bayaran yang bekerja dalam bayangan. Tak ada yang tahu asal-usulnya, tak ada yang berani bertanya tentang masa lalunya.

Satu hal yang pasti, setiap targetnya tidak pernah bertahan hidup.

Malam ini, dia punya satu misi.

Ara menyandarkan punggung ke dinding, menarik napas dalam. Tangannya merogoh saku mantel, memastikan pisau kecil dan pistolnya masih di tempat. Tidak ada ruang untuk kesalahan.

Targetnya ada di dalam bar kumuh di ujung gang.

Hideo Kamijo.

Mantan eksekutif yang kini menjadi pemain di dunia kejahatan. Seorang pria yang seharusnya sudah mati sejak lama.

Ara melangkah masuk.

Bau alkohol dan asap rokok langsung menyambutnya. Musik berdentum pelan, bercampur suara tawa kasar dari sudut ruangan.

Di sana, Kamijo duduk. Dua wanita menggantung di lengannya, wajahnya penuh percaya diri.

Ara mendekat.

"Permisi, boleh aku duduk di sini?" tanyanya santai.

Kamijo meliriknya, menyeringai kecil. "Wanita sepertimu? Tentu saja, duduklah."

Dia tidak mengenalinya. Tidak tahu siapa Ara sebenarnya.

Ara tersenyum tipis. Dia menyesap minumannya, lalu meletakkan gelas perlahan.

"Kau tampak menikmati malam ini."

Kamijo tertawa. "Hidup harus dinikmati, bukan?"

Ara mencondongkan tubuhnya sedikit.

"Aku setuju," bisiknya.

Seketika, tangannya bergerak. Pisau kecil melesat dari bawah meja, menusuk tepat di antara tulang rusuk Kamijo.

Darah mengalir.

Mulut Kamijo terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Matanya melebar, tangannya gemetar meraba luka di tubuhnya.

Ara mendekat, berbisik di telinganya.

"Ini untuk kedua orang tuaku."

Kamijo tersentak. Napasnya memburu. Matanya mulai mengenali sosok Ara, bayangan dari masa lalu yang dulu ia lupakan.

Namun, sudah terlambat.

Ara menarik pisaunya, meninggalkan luka fatal. Kamijo terhuyung, tubuhnya ambruk ke meja.

Orang-orang di bar belum menyadari apa yang terjadi. Musik masih berdentum, suara tawa masih terdengar.

Sementara itu, Ara sudah berjalan keluar.

Hujan deras kembali menyambutnya saat dia melangkah ke dalam kegelapan.

Malam ini, satu nyawa lagi telah ia ambil. Tapi perjalanannya belum berakhir.

Hujan masih turun deras saat Ara melangkah menjauh dari bar. Jalanan basah dan sepi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki di kejauhan. Ia menurunkan tudung mantelnya sedikit, membiarkan udara dingin menusuk wajahnya.

Di dalam genggamannya, darah masih melekat di pisau kecil yang baru saja ia gunakan untuk menghabisi Hideo Kamijo. Dengan satu gerakan halus, ia menghapus noda merah itu menggunakan sapu tangan hitam, lalu menyelipkan pisau ke dalam saku mantel.

Matanya tetap waspada.

Malam ini belum berakhir.

Sebuah mobil hitam diparkir di ujung jalan, lampunya mati. Ara melirik sekilas, lalu berjalan melewati kendaraan itu dengan langkah santai. Ia bisa merasakan ada mata yang mengawasinya dari dalam mobil.

Ia berhenti.

Dari balik kaca gelap, seseorang mengintainya.

Ara berpura-pura tidak peduli, tetapi tangannya sudah siap menarik pistol di balik mantelnya jika situasi menjadi buruk. Namun, sebelum ia sempat bertindak, kaca mobil perlahan turun, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan setelan jas gelap. Rambutnya tertata rapi, wajahnya bersih tanpa ekspresi.

“Ara Chan,” suara pria itu terdengar tenang, nyaris seperti bisikan.

Ara diam.

Pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya—sebuah amplop putih tebal. Dengan satu gerakan ringan, ia melemparkannya ke luar jendela, jatuh tepat di kaki Ara.

“Pekerjaan baru,” lanjutnya. “Kau pasti tertarik.”

Ara menatap amplop itu tanpa membungkuk untuk mengambilnya.

“Siapa yang mengirim ini?”

Pria itu tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab.

Hening.

Hanya suara hujan yang mengisi udara.

Akhirnya, Ara membungkuk, mengambil amplop itu, lalu menatap pria itu sekali lagi.

“Terlalu cepat untuk memberi pekerjaan baru,” gumamnya.

“Dunia kita tidak pernah tidur.” Pria itu menutup kaca jendela. Dalam hitungan detik, mobil hitam itu melaju pelan, menghilang ke dalam kegelapan kota.

Ara berdiri diam di tempat, merasakan berat amplop itu di tangannya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, ia mendapatkan informasi melalui cara yang lebih tersamar, bukan dengan pertemuan langsung di jalanan seperti ini.

Dia menghela napas, lalu berbalik, berjalan menuju sebuah gedung tua di ujung jalan.

Pintu apartemennya terbuka dengan bunyi berderit pelan. Sebuah ruangan kecil, tanpa banyak perabotan. Hanya ada meja kayu dengan kursi usang, sebuah ranjang di sudut, dan rak penuh buku serta beberapa senjata yang tertata rapi.

Tanpa menyalakan lampu, Ara melempar mantel basahnya ke kursi, lalu duduk di tepi ranjang. Amplop putih itu masih ada di tangannya.

Dia membuka isinya.

Di dalamnya, ada satu foto.

Seorang pria. Usianya sekitar 50 tahun, dengan rambut mulai memutih dan tatapan tajam yang sulit dibaca. Di belakang foto itu, hanya ada satu nama tertulis dengan tinta hitam.

Katsuro Takeda.

Ara menyipitkan mata. Nama itu terdengar familiar.

Ia mengambil rokok dari saku mantelnya, menyalakannya, lalu menyandarkan punggung ke dinding. Pikirannya mulai bekerja, mencoba mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu sebelumnya.

Beberapa detik kemudian, ia menemukannya.

Katsuro Takeda bukan orang sembarangan. Dia adalah salah satu pemimpin bisnis gelap terbesar di kota ini. Orang yang berhubungan langsung dengan politikus, polisi korup, dan mafia kelas atas.

Jika seseorang menginginkan Takeda mati, itu berarti ada kekuatan besar yang sedang bergerak di balik layar.

Ara mengembuskan asap rokoknya pelan.

Misi ini berbeda.

Lebih berisiko.

Lebih besar.

Tapi ada sesuatu yang mengganggunya.

Kenapa nama ini terasa begitu dekat?

Dan kenapa pria di dalam mobil tadi menemuinya langsung hanya untuk memberikannya pekerjaan ini?

Dia tahu, malam ini bukan hanya tentang menyelesaikan misi.

Ada sesuatu yang lebih dalam dari ini.

Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan masa lalunya.

Ara menatap foto di tangannya untuk terakhir kali, sebelum memasukkannya kembali ke dalam amplop.

Lalu, tanpa suara, dia bangkit, mematikan rokoknya, dan menghilang ke dalam bayangan malam.

Misinya baru saja dimulai.

Pagi datang dengan langit kelabu. Hujan semalam telah berhenti, meninggalkan genangan di jalanan kota yang masih sepi. Ara Chan berdiri di depan jendela apartemennya, menatap dunia luar dengan pikiran yang berkecamuk. Di tangannya, amplop putih itu masih ada.

Katsuro Takeda.

Nama itu bukan hanya sekadar nama. Dia adalah seseorang yang pernah muncul dalam bayangan masa lalunya, meski Ara belum bisa mengingat dengan jelas bagaimana atau kapan mereka pernah berhubungan.

Dia harus mencari tahu lebih banyak.

Dengan gerakan cepat dan terlatih, Ara mengenakan pakaian yang lebih kasual—celana panjang hitam, kaus gelap, dan jaket kulit yang cukup ringan untuk bergerak cepat. Dia tidak akan membawa banyak senjata hari ini, hanya pisau lipat kecil yang ia selipkan di balik jaketnya.

Tujuannya adalah Kita no Kumo, sebuah restoran mewah yang dikenal sebagai tempat pertemuan orang-orang berkuasa. Takeda sering terlihat di sana, dan jika dia masih menjalankan bisnis kotornya, seseorang di sana pasti tahu keberadaannya.

Ara menarik napas dalam sebelum melangkah keluar dari apartemen.

---

Setibanya di Kita no Kumo, suasana tampak lebih tenang dari yang ia perkirakan. Tidak banyak tamu yang datang pagi ini, hanya beberapa pria bersetelan rapi yang sedang menikmati sarapan sambil berbincang pelan.

Ara berjalan masuk, menghampiri seorang pelayan wanita di dekat pintu.

“Aku mencari seseorang,” ucapnya singkat.

Pelayan itu menatapnya dengan sedikit curiga. “Kami tidak menerima tamu tanpa reservasi.”

Ara mengeluarkan selembar uang dari sakunya, menyelipkannya ke tangan pelayan itu. “Aku yakin kau bisa membuat pengecualian.”

Wanita itu ragu sejenak, lalu melirik ke arah dapur. Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan, dia berbisik, “Siapa yang kau cari?”

“Katsuro Takeda.”

Pelayan itu terdiam, ekspresinya berubah seketika. Seakan nama itu terlalu berbahaya untuk disebut di tempat ini.

“Kami tidak berbicara tentang orang itu di sini,” katanya pelan.

Ara menyipitkan mata. “Jadi dia memang ada di sekitar sini?”

Pelayan itu menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Aku tidak tahu. Tapi jika kau benar-benar ingin menemukannya, ada seseorang yang mungkin bisa membantumu.”

“Siapa?”

“Orang yang biasa duduk di sudut sana.” Pelayan itu mengangguk ke arah meja di pojok ruangan, di mana seorang pria tua sedang minum teh sendirian. Pakaiannya sederhana, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatnya terlihat seperti seseorang yang pernah menjalani kehidupan keras.

Ara mengangguk. “Terima kasih.”

Dia berjalan menuju meja pria itu, lalu menarik kursi tanpa meminta izin.

Pria tua itu menatapnya sekilas sebelum tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka akan melihat seseorang sepertimu di tempat ini.”

“Aku butuh informasi.”

Pria itu mengaduk tehnya perlahan. “Banyak orang datang kepadaku untuk hal yang sama.”

“Berapa yang kau mau?”

Pria itu terkekeh. “Uang tidak cukup untuk informasi yang kau cari.”

Ara menatapnya dalam diam, menunggu.

Pria itu akhirnya mendesah. “Katsuro Takeda bukan orang yang mudah ditemukan. Dia tahu kapan harus menghilang.”

“Aku tidak percaya dia bisa benar-benar menghilang,” balas Ara.

Pria itu tersenyum kecil. “Memang tidak. Tapi dia cukup pintar untuk menutup jejaknya. Yang aku tahu, dia terakhir kali terlihat di sebuah rumah di distrik timur kota ini. Tidak ada alamat pasti, hanya sebuah tempat yang disebut Hoshiko Estate.”

Ara mengingat nama itu. Sebuah vila tua yang dulunya milik keluarga kaya sebelum akhirnya diambil alih oleh orang-orang berbahaya.

“Kenapa dia di sana?”

“Banyak alasan. Tapi satu hal yang pasti—Takeda tidak akan bertahan lama di tempat yang sama. Jika kau ingin menemukannya, kau harus bergerak cepat.”

Ara mengangguk. “Terima kasih.”

Saat ia hendak berdiri, pria itu berkata, “Kau bukan satu-satunya yang mencarinya.”

Ara berhenti. “Maksudmu?”

“Beberapa orang sudah datang sebelum kau. Mereka tidak seperti dirimu. Mereka datang dengan senjata, bukan dengan pertanyaan.”

Itu berita buruk.

Jika ada orang lain yang juga mengincar Takeda, maka misi ini jauh lebih berbahaya dari yang ia perkirakan.

Tanpa berkata lagi, Ara berbalik dan berjalan keluar dari restoran. Langkahnya cepat.

Dia harus sampai ke Hoshiko Estate sebelum orang lain melakukannya.

Sebelum nyawa Katsuro Takeda jatuh ke tangan yang salah.