3. Namanya keren, seperti orangnya
Tidak ada film romantis dan terlambat bangun lagi, kali ini Louise memasang 3 buah alarm dan menyimpannya di dekat tempat tidurnya. Ya, meskipun pagi ini terasa seperti di sebuah asrama militer dengan alarm yang berbunyi kencang untuk membangunkan semua tentara. Tapi, itu berhasil. Benar-benar berhasil.
Louise sudah berdandan sangat rapi dengan pakaian formalnya, biasanya ia menggerai rambut atau mengikatnya sembarangan, tidak kali ini. Ia menyanggul rambutnya agar terlihat lebih rapi dan tidak berantakan seperti saat ia wawancara.
“Cantik, menarik, ini sudah cukup!” serunya seraya melihat tampilan dirinya di cermin.
Louise segera bersiap untuk pergi ke kantor, ia tak mau di hari pertamanya bekerja datang terlambat lagi seperti saat wawancara. Setidaknya 15 menit sebelum masuk jam kerja ia sudah ada di tempat, lagipula ia belum tahu akan di tempat di mana. Karena pria yang meneleponnya kemarin belum mengatakan apapun kecuali hari ini ia disuruh datang untuk menggantikan anak magang yang tidak bisa kembali bekerja karena mengalami musibah.
Kini Louise sudah berada di sebuah ruangan, ia diminta untuk menunggu di tempat ini sebelum penanggung jawabnya datang dan memberikan pengarahan padanya.
Louise menolehkan wajahnya pada arah pintu saat mendengar pintu itu dibuka dari luar, terlihat seorang pria dengan setelan jas mahal masuk dan mulai berjalan ke arahnya.
‘Wajahnya tampan, tapi terlihat begitu menyeramkan…’ gumam Louise dalam hati.
“Ehemmm…” Ivanov berdeham karena gadis di depan terus menatapnya membuatnya sedikit tak nyaman.
“Ah… maafkan aku, Pak!” seru Louise sedikit malu dan langsung menundukkan kepalanya.
‘Aduh, kenapa bisa ketahuan. Aishhh… bodohnya aku… pasti wajahku terlihat sangat bodoh barusan,’ sesalnya dalam hati.
Pria berjas dan terlihat begitu rapi itu duduk di kursi yang langsung berhadapan dengannya, hanya terhalang sebuah meja berwarna hitam yang begitu mengkilap.
Ivanov mulai membuka suaranya seraya membuka sebuah map yang entah apa isinya, Louis tak bisa memastikannya.
Saat Ivanov berbicara Louise hanya mengangguk dan menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Louise tak begitu memperhatikannya dengan baik, wajah pria di hadapannya cukup menghipnotisnya.
“Apa kau mengerti dengan apa yang saya jelaskan, Nona Winston?” tanya Ivanov dengan serius.
Louise menjawab “Saya mengerti, Pak.” Tapi kepalanya menggeleng pelan.
Dan itu membuat Ivanov mengerutkan dahinya.
‘CK! Aku yakin ia tidak mempertikan penjelasanku, ya ampun rasanya aku ingin menjambak rambutnya saat ini,’ keluh Ivanov dalam hati.
Matanya sedikit menatap tajam gadis ceroboh di hadapannya.
“Eh… eh… aku mengerti, Pak! Sangat mengerti,” Louise baru saja tersadar dengan tindakan bodohnya.
Ivanov hanya menaikkan satu alis matanya dan menatap Louise dengan tajam.
“Hmm, jika yang Anda maksudkan tata cara dan peraturan bekerja di sini saya mengerti dan tentu saja mengingatnya. Saya akan bekerja sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan Anda.” Louise berkata dengan penuh semangat mencoba meyakinkan atasannya yang sekaligus menjadi mentornya saat bekerja di sini.
Louise bisa menangkap inti pembicaraannya, bahwa ia akan menjadi asisten dari pria bernama Ivanov MacMillan Lambert tersebut.
‘Namanya keren, seperti orangnya,’ gumam Louise dalam hati sambil terkikik geli.
‘Ahh apa aku bisa tahan bekerja seharian dengan pria tampan seperti dia. Oh astaga…’
“Hari ini kau langsung bekerja dan saya akan menunjukkan mejamu,” seru Ivanov seraya berdiri dari duduknya.
Louise mengangguk dengan penuh semangat.
***
“Aaarrrghhhh!!!” Louise menggeram kesal seraya menggaruk rambutnya , ia melemparkan sepatu high heels yang digunakannya sembarang.
“Akuuu kesaalll!!! Aku lelaaahhh!!” pekiknya seraya berjalan ke sofa di ruang tamunya dan melompat ke sofa kemudian berbaring.
“Tampan sih tampan, tapi dia sangat kejam!! Ya, ampunnn aku baru melihat laki-laki menyebalkan sepertinya!” keluh Louise.
Ia baru saja pulang dari kantor dan ini sudah malam, begitu banyak pekerjaan untuknya di hari pertamanya bekerja.
“Hari pertama bekerja tapi pekerjaan yang diberikan untukku mengalahkan besarnya Gunung Everest, CK!” gerutunya.
“Kakiku sakit, badanku pegal, huhu…” Louise terus mengeluh.
Bukan hanya pekerjaan yang begitu banyak diberikan oleh Ivanov, tapi pria dingin sedingin gunung es itu sangat kejam, bahkan kata-katanya begitu tajam, melebihi perkataan ibunya jika sedang marah.
“Apa dia sedang datang bulan, hah?? Dia seperti wanita yang sedang dalam masa period saja!! Sensitive!!”
Bagaimana tidak kesal, Ivanov melempar laporan yang dibuatnya beberapa kali. Bagi Ivanov laporan yang dibuatnya selalu salah. Tak segan Ivanov melempar laporan itu hingga hampir mengenai wajahnya.
“Belum lagi Tuan Lazcano, dia tidak kalah menyeramkan dari pria itu! Huh! Semua tampan tapi mengapa sangat menakutkan, hah??”
Saat Louise sedang asik menggerutu tiba-tiba ponselnya berbunyi, dengan cepat ia meraih ponselnya yang masih berada di dalam tasnya.
Rasa kesal, marah dan lelahnya sirna seketika saat ia melihat sebuah nama yang terpampang di layang ponselnya.
“Karl…” gumamnya dengan sebuah senyuman yang merekah di bibirnya.
Dengan cepat Louise menggulirkan tombol hijau ke kanan untuk menerima panggilan itu.
“Karl…” seru Louise dengan manisnya.
“...”
“Aku sudah di apartemen, sayang.”
“...”
“Aku lelah…” keluh Louise.
“Apa kau tahu? Atasanku sangat kejam! Dia seperti seorang ibu tiri yang senang menyiksa anak tirinya!! Huh!”
“...”
“Jika tidak demi nilaiku, aku ingin bekerja di kantor ayahku saja,” seru Louise.
“...”
“Terima kasih, Sayang. Aku akan bertahan,”
“...”
“Aku mencintaimu, bye…”
Louise segera menutup panggilan dari kekasihnya itu, dengan bibir yang masih tersenyum.
“Kau memang selalu ada untukku Karl, dan aku sangat mencintaimu,” gumam Louise.
Rasa lelah dan kesalnya benar-benar menghilang, kini Louise berniat untuk membersihkan tubuhnya sebelum akhirnya beristirahat dan tidur dengan nyenyak.
“Besok aku akan menghadapi nerakaku lagi,” serunya seraya bangkit dari sofa dan mulai berjalan menuju kamar.
***
“Louiseeeeeee!!!!” geram Ivanov kesal.
Louise hanya bisa meringis mendengar geram Ivanov saat ia baru saja keluar dari lift.
“Hari kedua bekerja dan kau sudah terlambat??!” seru Ivanov dengan amarahnya.
‘Aduh celaka!’ lirih Louise dalam hati.
“M-maaf Pak, macet di jalan!” jelas Louise.
“Macet?”
Louise mengangguk.
“Kau harusnya tahu, jam kerja dan pasti semua orang pergi di saat bersamaan. Mengapa kau tidak berangkat lebih awal?” tanya Ivanov dengan dingin.
‘Saat aku ingin tidur, ada film bagus dan sangat romantis. Jadi tidur larut malam dan membuatku terlambat bangun,’ seru Louise dalam hati yang tentu saja tak akan ia ucapkan sebagai alasan ia datang terlambat.
“Jadi kau terlambat datang karena bangun kesiangan dan semua itu karena menonton film?” tanya Ivanov tak percaya.
Louise hanya melongo.
“Bagaimana Bapak bisa tahu? Apa Bapak cenayang?” tanya Louise heran sekaligus kaget.
“Kau pikir wajahku seperti peramal voodoo? Kau mengatakannya sendiri barusan, ck!”
Mata Louise membelalak seketika dan dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia baru sadar jika ia sedang tidak bergumam dalam hati. Tapi mengucapkannya dengan sangat jelas.
‘Celaka!!!’ serunya dalam hati.
- To be Continue -
