Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 8 Galau Tingkat Tinggi

Ustadzah Cantik

Part 8

Sore itu aku pergi ke sebuah Pantai untuk melamun dan menenangkan diri. Aku begitu sedih dan galau dengan keadaan sekujur tubuh basah kuyup, karena hujan. Sekuat tenaga kutahan kesedihan dan kutahan air mata untuk tumpah, tapi aku tidak sanggup. Semakin kutahan semakin tak berdaya menahan kesedihan dan rasa sesak di hati.

"Ya Allah, ampuni segala dosa dan kehilanganku. Aku tidak meminta supaya dia menjadi jodohku, tapi aku hanya meminta ketenangan hati dan hilangkan rasa ini yang membuat hamba tersiksa dan lupa mengingatMu. Hamba bersyukur dengan anugerah hidup yang telah Engkau berikan ini. Jadikanlah hamba menjadi hambaMu yang hatinya selalu tertuju padaMu," lirihku sambil terus beristighfar sambil meneteskan air mata.

Aku terus berusaha menenangkan diri, tapi semakin mencoba perasaan itu semakin dalam. Aku benar-benar tenggelam oleh perasaanku terhadap gadis lembut bernama Indah Fuji Latifah.

"Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir." Aku teringat ucapan dalam Film kera sakti.

Tiba-tiba Ustadzah Indah meneleponku. Dengan ragu, tapi hati geer dan pede gila, kuangkat panggilan darinya.

[Mas, maafin saya dan keluarga yah, makasih keluarga Mas Firman udah baik sama saya,] ucapnya lewat sambungan telepon.

Sepertinya ia menangis.

[Maaf untuk apa?] balasku pura-pura cuek.

[Saya ngerasa salah sama Mas Firman. Jangan marah atau benci yah sama saya,] terangnya dengan suara lirih seperti sedang menangis.

[Saya yang minta maaf, karena udah enggak sopan datang ke rumah Ustadzah Indah untuk mengkhitbah. Harusnya aku bercermin pada kaca yang lebar. Saya enggak marah atau benci, tapi nyesek aja.] Aku berbicara nyeplos tanpa dipikir dan disaring.

[Sekali lagi maafin saya yah, Mas. Saya sama sekali tidak tahu kalau bapak mau ngomong kayak gitu, karena bapak bilangnya ingin ketemu sama Mas Firman dan mempersilahkan Mas Firman silaturahmi ke rumah kalau ingin bicara serius. Saya juga kaget dan sedih waktu denger bapak ngomong gitu sama Mas Firman. Sekali lagi maaf banget.] Ia berbicara sambil menangis.

Aku mendengar dengan jelas kalau Ustadzah Indah menangis. Aku hanya diam dengan perasaan campur aduk tidak karuan. Aku kebingungan harus bicara apa lagi.

[Saya sayang sama kamu dan ingin jadikan kamu pendamping hidupku satu-satunya, ibu dari anak-anakku. Saya cinta sama kamu terlepas apapun statusku. Maaf kalau ucapanku kurang sopan sama Ustadzah. Ini dari hati yang sebenarnya. Saya tidak main-main,] tandasku dengan perasaan membara seolah tertantang.

Kali ini aku berani mengungkapkan perasaanku. Jiwa mudaku, bahkan jiwa beraniku bangkit. Aku tidak kuat menahan gejolak dan desakan perasaan yang semakin membara.

[Makasih yah Mas udah datang ke rumah dan makasih semuanya. Iya, iya, saya ngerti maksud Mas Firman. Bapakku menjodohkan saya dengan anak sahabatnya. Saya udah menolak beberapa kali, tapi bapak terus memaksa. Saat ini saya ingin ketemu sama ibunya Mas Firman dan rasanya ingin ngobrol lama. Saya ngerasa kasih sayang dari seorang ibu yang mana ibuku sudah meninggal waktu saya kelas satu SMP,] terangnya dengan suara lirih sambil terus menangis.

[Kenapa nolak dengan perjodohan itu? Bukannya dia Soleh dan layak jadi suami Ustadzah?] tanyaku seolah menginterogasi.

[Saya cuma suka sama seseorang dan inginnya dia yang jadi imamku. Jangan panggil saya Ustadzah lagi, ini bukan lingkungan sekolahan. Saya ngerasa belum pantas dipanggil Ustadzah, karena masih harus banyak belajar, terutama belajar dari ibunya Mas Firman,] jawabnya dengan merendah.

[Kalau boleh tahu siapa orang yang beruntung yang kamu sukai itu? Maaf, kalau kurang sopan,] tanyaku lagi.

[Seseorang itu sering datang ke Masjid dekat pesantren setiap waktu Shalat Dzuhur kalau dia masuk kerja pagi dan dia datang ke Masjid saat waktu Ashar dan Maghrib setiap dia masuk kerja siang. Dia juga akrab sama Kiyai Ahmad, meski bukan santrinya. Dia juga sering gombalin saya dengan malu-malu setiap saya belanja di tempat kerjanya. Dia anaknya Ustadzah Fathia yang datang ke rumahku tadi. Namanya Firman Firdaus Husen,] jawabnya panjang lebar.

Aku kaget dan tidak percaya mendengarnya. Hatiku berbunga-bunga dan rasanya ingin berteriak sambil menyanyikan lagu JKT48 yang berjudul Koi Suru Fortune Cookies dengan menari-nari riang gembira. Aku seperti mendapatkan kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup dan menghadapi tantangan apapun.

[Ustadzah enggak bohong kan? Ini kayak mimpi amat disukai sama Ustadzah cantik dan solehah.] Aku keceplosan dan gombalanku kembali keluar.

[Seumur hidup baru kali ini ada seseorang yang selalu saya sebut di setiap doa. Baru kali ini loh aku nangis kayak gini gara-gara suka sama seseorang. Aku juga wanita biasa Firman. Aku juga bisa jatuh cinta sama lawan jenis. Pantesan aja kamu orangnya baik dan taat ibadah, ternyata ibu kamu juga cerdas dan solehah,] ujarnya dengan suara lirih masih seperti seseorang sedang menangis.

Aku begitu baper, geer, pede gila dan seperti mendapatkan durian runtuh satu kebun. Hatiku berjoget ria dan rasanya ingin berselebrasi penuh emosional seperti para punggawa bulutangkis Indonesia saat berhasil mengalahkan punggawa Negri Tirai Bambu di Final piala Thomas.

[Kenapa diem? Kamu enggak percaya? Sedih tahu kayak gini. Pengen nangis tahu. Kamunya langsung pulang aja, padahal aku berharap kamu jangan pulang saat cowok yang dijodohkan denganku itu datang ke rumah,] ujarnya dengan bahasa manja seperti gadis ABG labil.

[I-iya percaya, percaya kok, Sayangku. Alhamdulillah ya Allah. Saya kayak mimpi mendengarnya,] pungkasku sambil menarik napas panjang.

"Mama yakin dia itu jatuh cinta sama kamu. Mama bisa lihat dari tatapan mata dan dari sikapnya, apalagi setelah ngobrol tadi di Pantai. Mama keluarin semua bahasa biar dia baper dan melayang-layang jatuh cinta sama anak mama sekaligus Brondong Gemes mama ini. Udah, serahin sama mama dan terus berdoa sama Allah. Mama hebat kan? Kalau Mama cantik ini bukan ibu kandung kamu, pasti kamu juga jatuh cintanya sama mama." Aku teringat ucapan ibuku sambil mengelus kepalaku setelah kami mengajak Ustadzah Indah ke Pantai.

[Saya akan berusaha dan berjuang supaya kita jadi pasangan halal. Saya serius, Ustadzah. Bantu dengan doa yah,] tegasku.

[Aamiin, Mas. Saya enggak mau kita pacaran, karena saya takut nantinya kita melanggar larangan Allah. Makasih yah udah berani datang ke rumah. Sekali lagi maafin aku yah, Mas Alfa. Hihihi,] balasnya, lalu sedikit tertawa.

"Dasar wanita, tadi nangis sekarang ketawa. Kamu wanita spesial yang aku perjuangkan sampai-sampai ibuku turun tangan. Gue tambah cinta sama Mama cantik Rock and Roll. Enggak sia-sia jadi anak berbakti," gumamku.

[Mas Firman lagi dimana? Kalau lagi di rumah, mau ngomong sama ibu,] tanyanya dengan suara manja melebihi ABG labil.

[Ini lagi di Pantai, lagi ngelamun. Lamunin Ustadzah Indah yang cantik, hahahaha,] jawabku sedikit gombal.

[Dih! Pasti lamunin jorok yah?] tanyanya seolah menggoda.

[Boro-boro lamunin jorok, lagi galau mah iya, gara-gara lamaranku ditolak, hahahaha,] candaku.

[Kasihan banget sih lamarannya ditolak. Jangan putus asa yah, nanti coba lagi ya Sayangku,] balasnya.

"Wadidaw, asik, ampun Ferguso, ternyata Ustadzah cantik itu bilang sayang. Oh, tidak semudah itu, Ferguso untuk putus asa. Maju terus sebelum bendera kuning berkibar. Sekalipun janur kuning berkibar, janur kuning bisa dirobohin selama bendera kuning belum berkibar, Ferguso," batinku.

[Siap! Saya akan berusaha supaya kita jadi pasangan halal. Saya sayang sama kamu dan ingin jadikan kamu pendampingku satu-satunya untuk menjalani hidup dan meraih Ridho Allah,] tandasku.

[Iya, A-amiin, Mas. Semangat yah, calon imamku,] balasnya sedikit gugup dan masih dengan bahasa manja.

[Iya, aamiin. Makasih yah calon istriku sekaligus calon ibu dari anak-anakku.] Aku kembali bergombal.

"Astaghfirullah, ini sudah berlebihan. Ingat Firman, jangan melewati batas, harus fokus dan tetap ingat Allah. Jangan berlebihan mencintai seseorang. Ingat harus fokus perbaiki diri dan bertaubat. Jangan berharap pada manusia, tapi berharap hanya pada Allah," gumamku dengan mensugesti diri.

Kami menghentikan sambungan telepon setelah aku pamit dan sedikit bergombal. Kulanjutkan perjalanan pulang dengan perasaan yang sulit kupahami. Aku terus mengucapkan istighfar setiap gejolak hatiku berlebihan.

"Alhamdulillah anak ibu udah datang, kok baju kamu basah? Mandi dulu, nanti shalat Maghrib," ujar ibuku saat aku sampai di rumah waktu Maghrib.

[Jangan lupa shalat Maghrib yah, Mas Firman.] Kubaca pesan dari Ustadzah Indah.

Aku senyum sendiri dan membalasnya. Setelah shalat Maghrib, ibuku mengajak ngobrol. Saat hendak ngobrol dengan ibuku, tiba-tiba ada tamu datang. Ibuku menyambut dengan ramah. Aku begitu kaget dan heran, karena yang datang seorang pemuda yang lumayan baik dan katanya baru lulus dari pesantren. Ia tinggal di desa sebelah dan kenal denganku, meski tidak akrab. Aku tahu namanya Fahmi.

"Bu, bapaknya ada?" tanya Fahmi setelah ibuku mempersilahkan duduk.

Ia pun menyalamiku dengan sopan. Ibuku memanggil ayahku. Fahmi terlihat serius hendak bicara dan wajahnya agak berkeringat. Ia terlihat tegang dan grogi.

"Ada apa ini?" tanyaku dalam hati.

"Nak Fahmi datang sendirian? Ada keperluan apa yah?" tanya ayahku.

Kuemui ibuku di dapur.

"Man, ini ayahnya Ustadzah Indah?" tanya ibuku sambil menunjukkan foto Ustadzah Indah dengan ayahnya.

"Iya, Bu," jawabku.

"Ini kan Si Burhan," celetuk ibuku.

"Ibu kenal? Kenal dari mana?" tanyaku heran.

Ibuku menarik napas dan hendak berbicara. Tiba-tiba ponselku berdering dan ternyata Ustadzah Indah meneleponku.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel