Part 7 Perjuangan Lewat Udara
Ustadzah Cantik
Part 7
[Mas Firman jangan becanda. Jangan bikin saya Baper ya, Mas. Maaf,] balasnya.
Aku tertawa sendiri, tapi hatiku bercampur cemas dan gerogi. Gejolak di hati semakin tidak karuan. Aku berusaha menahan dan menenangkan diri.
"Jika kusuka, kan kukatakan suka. Tak kututupi kukatakan sejujurnya. Jika kusuka, kan kukatakan suka. Dari hatiku terbuka kukatakan. Aitakatta! Aitakatta! Aitakatta! Yes! Denganmu." Aku semakin gila bahkan terus menyanyi lagu Idol grup kesukaanku, meski menyanyi dalam hati.
Setelah menenangkan diri, kembali kukirim pesan.
[Saya serius. Saya ingin jadikan Ustadzah sebagai pendamping hidup dan ibu dari anak-anakku. Boleh saya menghadap orangtuanya Ustadzah buat silaturahmi dan menyampaikan niatku ini? Semoga Allah meridhoi niatku.] Kukirim pesan lagi setelah mengucapkan bismillah.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya ibuku yang ternyata terus memperhatikan.
"Lagi berjuang lewat udara," jawabku.
Ibuku tertawa dan memberikan dukungan sepenuhnya.
[Makasih yah, Mas. Boleh silahkan kesini aja kalau mau silaturahmi. Aamiin,] balasnya.
Aku semakin bahagia dan rasanya ingin berjingkrak ria sambil menyanyi lagu Koisuru Fortune Cookies. Jiwa remaja dan mudaku terus membawa dan rasanya ingin terus mengirim pesan dan ingin meneleponnya.
"Rasa sayang yang terus menerus meluap. Heavy rotation," gumamku menyayikan lagu kesukaaanku.
Kucoba menahan gejolak di hati dan tidak berlebihan. Aku pun menghentikan pengiriman pesanku. Aku terus mensugesti diri supaya jangan berlebihan dan supaya jangan berharap lebih, karena kita hanya boleh berharap pada Allah.
"Udah, udah, jangan berlebihan dan jangan berharap lebih. Tahan Firman, nanti juga bakal ada keajaiban yang tak terduga. Hati ini berfirasat kalau aku bisa saling mencinta bersamanya," gumamku sambil menarik napas untuk menenangkan diri.
[Mas, kok diem?] tanya Ustadzah Indah lewat pesan Wa.
Aku begitu bahagia membacanya dan lagi-lagi aku benar-benar baper, salah tingkah dan pede gila, bahkan lebih dari itu. Rasanya semuanya terasa indah dan bersinar terang.
[Iya, maaf. Besok sore boleh aku ke rumah kamu?] balasku dan bertanya.
[Boleh, kebetulan besok aku libur ngajar,] balasnya.
Aku kembali tersenyum bahagia dan gelora di hati semakin besar. Perasaanku terus berlanjut semakin besar dan dalam. Aku berusaha bersikap biasa dan tidak mau menuruti kata hati yang berlebihan.
"Astaghfirullah, enggak boleh berlebihan, enggak boleh lebay. Jangan dituruti bisikan hati yang berlebihan. Ya Allah, ampuni aku," gumamku.
Sesampainya di rumah, aku terkejut melihat adikku yang masih Kuliah semester satu dan sedang mesantren di pesantren modern yang lumayan terkenal itu tengah duduk sendirian di luar rumah.
"Ibu sama bapak kemana aja sih? Tiara pulang kok pada enggak ada di rumah? Masuk juga dikunci," sewot adik Perempuanku yang bernama Tiara Adisti Putri.
Aku tertawa ngakak dan kucubit pipinya.
"Kasihan banget sih anak ibu yang cantik ini. Maaf tadi habis nganterin kakak kamu," rayu ibuku sambil memeluk adikku itu.
"Ayo, ayo, masuk ke dalam. Kasihan banget sih adikku yang Soleh dan unyu-unyu ini." Aku memapahnya masuk ke dalam rumah.
"Put, kamu pasti capek dan haus, kakak buatin minuman dingin yah?" ujarku sambil sesekali mengelus kepalanya yang tertutup jilbab.
Adikku itu bengong melihat sikapku.
"Ini minumnya udah siap, khusus buat cewek cantik dan solehah. Pokoknya kakak beruntung punya adik cantik, berbakti dan solehah kayak kamu. Kalau butuh apa-apa panggil kakak aja yah, Tiara Putri yang cantik secantik Tiara Andini," rayuku sambil menyuguhkan minuman untuknya.
Tiara semakin bingung melihat sikapku. Ia pun seperti salah tingkah dan gugup. Apalagi saat aku mengelus kepalanya dan merangkulnya dengan manja.
"Bu, Kak Firman kenapa?" tanya adikku, "tumben banget sikapnya baik dan enggak cuek, biasanya kan cuek dan suka marah. Sikapnya baik sama kayak pura-pura gitu."
Aku yang menguping dari dapur hanya tersenyum.
"Kakak kamu itu sudah berubah sekarang," jawab ibuku.
"Alhamdulillah kalau kakak dapat hidayah," ujar adikku.
[Apakah ini jawaban dari setiap doaku?] Kubaca status Wa Ustadzah Indah.
Aku sedikit geer, tapi segera kutepiskan rasa itu.
"Aku tak ingin berharap pada makhluk, tapi hanya berharap dan berserah diri padamu, ya Allah," gumamku.
Setelah melaksanakan Shalat Isha, aku menemui ibuku yang tengah ngobrol bersama adikku di sofa.
"Anak ibu yang ganteng, belum tidur?" tanya ibuku.
"Pengen denger suara ibu ngaji dulu," jawabku.
"Ayo, kita tadarus bareng yah, sekalian nanti ibu ajarin doa-doa sunah malam pengantin," ujar wanita pahlawanku.
"Nikah aja belum, masa langsung diajarin itu," tawarku.
"Buat ilmu pengetahuan kamu," tegasnya.
Kami tadarus Al-Qur'an bersama. Aku meminta ibuku mengawasi setiap bacaan ayat-ayat Al-Qur'an yang kubaca. Aku serius belajar membenarkan bacaan Al-Qur'an supaya lebih Tartil dan ibuku begitu bersemangat mengajariku. Adikku pun ikut tadarus bersama.
"Man, rumah akan terasa tentram apabila sering dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Nanti kita juga belajar tafsirnya," ujar ibuku sambil mengelus kepalaku setelah kami selesai tadarus.
"Maksudnya belajar tafsir gimana?" tanyaku.
"Kita sama-sama belajar, kebetulan ibu punya buku Tafsir Al-Azhar," terangnya.
"Tafsir Al-Azhar karya Ulama Buya Hamka itu? Firman pernah baca itu sambil dijelasin sama Kakek waktu Firman masih sekolah Aliyah," tanyaku sambil mengingat-ingat ucapan almarhum Kakekku.
"Iya, iya, itu. Ulama sekaligus pahlawan nasional. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, namanya. Beliaulah penulis Tafsir Al-Azhar. Kata beliau, tali yang kuat untuk bergantung adalah tali pertolongan Allah." Ibuku menjelaskan.
"Afwan, Bu Hajah Fathia Nurniah," balasku sedikit becanda dengan menyebut nama lengkap ibuku beserta gelarnya setelah ia melaksanakan ibadah rukun Islam kelima.
Ibuku tertawa sambil mencubit pipiku.
"Panggil aja ibu dengan Mama cantik, jangan panggil Hajah, ibu enggak suka dipanggil Hajah, karena khawatir timbul rasa riya' di hati. Kalau dipanggil Mama cantik, kan itu fakta, kalau sebenarnya ibu masih cantik kayak Si Tiara Andini itu tuh yang nyanyi gemintang hatiku," ujarnya dengan raut wajah berubah dari serius menjadi genit.
"Iya, iya, mama mirip banget sama Tiara Andini, apalagi gigi kelincinya tuh mirip banget," pujiku sedikit berbohong, tapi semoga tidak dosa, karena supaya ibuku senang.
"Hati ini terbius candu asmaramu. Namamu melintang di hatiku. Kemilau gemintang di hatiku. Senyumanmu, oh, kasih hiasi bingkai asmaraku. Kau menjadi bintang di hatiku. Kemilau gemintang di hatiku." Ibuku tiba-tiba menyanyi lagu penyanyi yang cantik dan imut favoritku itu.
Ia pun mentoel pipiku beberapa kali hingga aku bergidik ngeri dan takut.
"Ini Si Mama genit, kok jadi kayak gini sih? Gimana masa mudanya nih? Masa umur hampir kepala lima bisa hapal lagu anak muda. Kalau lagi marah semua penghuni rumah enggak ada yang berani, tapi kalau lagi bahagia, melebihi ABG labil, hihihi," gumamku sambil tertawa dalam hati.
"Suara mama bagus banget udah mirip Tiara Andini. Wajah mama juga mirip Tiara Andini versi hijab," pujiku sedikit terpaksa.
"Kamu bisa aja bikin mama baper dan tambah jatuh cinta sama anak mama yang ganteng mirip Jeon Jongkok ini," kelakarnya dengan salah menyebut nama Personil Boyband Negri Gingseng itu.
"Kok ada sih seorang ibu suka godain anaknya sendiri? Enggak apa-apa lah asal ibuku senang dan bahagia. Bahagiain orangtua kan pahalanya besar," batinku.
Aku pamit ke dapur untuk mengambil air minum dan tiba-tiba adikku menghampiri.
"Kak, itu ibu kenapa? Kok kayak orang mabok Genjer. Waktu itu juga pernah ibu karaokean lewat YouTube nyanyi lagu yang tadi sambil joget sendirian di kamar," ungkap adikku dengan berbisik.
Aku tertawa ngakak mendengarnya.
"Lagi pada ngomongin ibu yah?" tiba-tiba ibuku muncul.
"Eng-enggak Bu! Ini Kak Firman katanya suka denger suara ibu lagi nyanyi." Adikku beralibi.
"Iya lah, Kaka kamu itu suka sama ibu katanya ibu cantik, imut, seksi mirip Artis pavoritnya," selorohnya.
Aku saling beradu pandang dengan adikku, lalu tertawa ngakak.
"Ibu sama Si Puput, lebih cantikan siapa?" candanya.
"Lebih cantik ibu lah, buktinya Firman suka, apalagi kalau ibu lagi ngisi Tausyiah di pengajian Mazlis Taklim, uh! Bikin orang gagal fokus, pasti disangkanya Tiara Andini lagi nyanyi bukan lagi Tausyiah," jawabku sambil mengacungkan jempol.
Wanita pahlawanku itu tertawa sambil mencubit pipiku. Aku pamit untuk ke kamar. Saat aku merebahkan diri di tempat tidur sambil melihat layar ponsel, aku kaget ternyata ada pesan Wa dari Ustadzah Indah.
[Mas Firman besok kerja masuk apa?] Kubaca pesan darinya.
Seketika hatiku berbunga-bunga dan seperti banyak kupu-kupu indah berterbangan di kamarku. Aku benar-benar terhanyut dan terbawa oleh perasaan aneh yang begitu indah. Aku terus tersenyum dan rasanya ingin segera menghalalkan Ustadzah Indah.
[Maaf baru bales. Masuk pagi lagi, kan sorenya mau ke rumah Ustadzah,] balasku.
Ia mengirim emoticon senyum sehingga membuatku tak percaya. Aku semakin tenggelam dan ternina bobokan oleh perasaanku. Namun, sekuat tenaga kutahan dan berusaha menenangkan diri supaya tidak berlebihan.
"Apa dia juga jatuh cinta sama aku? Perasaan apakah ini? Keadaan seperti apakah ini? Kenapa aku begitu haus padahal ada sungai di sekitarku? Jangan pernah katakan selamat tinggal, karena itu akan menghancurkan sebuah harapan." Aku mendadak menjadi Bucin yang menirukan kalimat dalam film India.
[Selamat beristirahat yah. Jangan pernah katakan selamat tinggal, karena itu akan menghancurkan sebuah harapan. Harapan seseorang untuk bertemu kembali.] Kukirim pesan Wa padannya dengan hati berbunga-bunga.
[Dapet darimana tuh kata-katanya? Nyontek yah dari Film. Film apa coba judulnya,] balasnya seolah menggoda.
Kubalas dengan menyebutkan salah satu judul film India. Ia membalas dengan emoticon tertawa. Aku begitu bahagia malam itu, lalu tidur dengan tersenyum.
"Bu, doain yah nanti sore mau datang menghadap orangtuanya Ustadzah Indah," ujarku pada ibuku saat pagi sebelum berangkat kerja.
"Semoga lancar, mau ibu temenin tah?" balasnya dengan mengajukan diri.
"Enggak usah dianter, nanti aja kalau Firman enggak kuat sendiri, baru ibu diturunin. Kalau ibarat perang, ibu itu senjata nuklir atau bom atom, nanti aja digunakannya kalau sudah terdesak," ucapanku sambil menyalaminya.
Aku bekerja dengan konsentrasi dan tidak mau terganggu oleh perasaanku. Setiap perasaanku membara, aku menyebut nama Allah dan mengucapkan istighfar supaya tidak berlebihan. Akhirnya jam pulang kerja tiba, setelah Shalat Ashar di Masjid terdekat, kukirim pesan pada Ustadzah Indah kalau sore itu aku hendak ke rumahnya dan ternyata Ustadzah Indah sedang libur mengajar hari itu.
"Ingat ini cuma ikhtiar dan berusaha, apapun hasilnya biar Allah yang menentukan. Ya Allah ampuni segala kelalaian dan kekhilafanku selam ini. Aku serahkan semuanya padaMu." Aku mensugesti diri saat perjalanan ke rumah Ustadzah Indah.
Sesampainya di rumah itu, aku berusaha menenangkan diri dan bersikap biasa sambil terus kulantunkan kalimat tayibah dalam hati. Kuucapkan salam saat berdiri di depan pintu rumahnya. Aku disambut oleh seorang lelaki gagah meski usianya tidak muda lagi. Aku berbasa-basi dan ia mengaku sebagai ayahnya wanita yang hendak kuhitbah. Saat aku duduk di sofa, tiba-tiba Ustadzah Indah datang menyuguhkan air mineral. Aku berusaha menjaga pandangan dengan perasaan tidak karuan.
"Ini Nak Firman?" tanya lelaki yang mengaku ayah dari Ustadzah Indah.
Aku menyetujui dan mempersiapkan mental untuk mengutarakan niatku datang bersilaturahmi. Lelaki itu begitu ramah dan langsung mengajakku berbasa-basi. Obrolan kami nyambung saat membahas seputar olahraga badminton. Setelah berbicara cukup lama dan kami semakin akrab, akhirnya aku bersiap untuk mengutarakan niatku datang bersilaturahmi dan ingin menghitbah anaknya.
"Pak, saya datang kesini Insha Allah semata-mata dalam rangka mengharapkan ridho Allah," ucapku hati-hati setelah kami panjang lebar mengobrol.
"Subhanallah, bapak senang kalau gitu dan semoga bernilai ibadah buat kita semua dan semoga mempererat tali silaturahmi dan ukhuwah islamiah," balasnya.
"Firman ke-kesini pertama bersilaturahmi dan se-semoga memperbanyak saudara. Selanjutnya ingin menghitbah anak Bapak," ujarku dengan tegang, gerogi, sedikit gugup dan terus menunduk.
"Iya, iya, bapak ngerti. Bapak udah bicara dengan anak bapak," balasnya.
Aku terus diam dan semakin gerogi. Namun, bukan Firman namanya kalau tidak bisa mengendalikan keadaan.
"Nak," sahutnya dengan pelan.
Aku menatapnya memberanikan diri.
"Maafin bapak sekeluarga yah Nak Firman. Bapak bangga dan salut sama keberanian Nak Firman, tapi sekali lagi bapak mohon maaf, kalau Khitbah Nak Firman, tidak bisa bapak terima," ucapnya tiba-tiba.
Bagai petir menggelegar dan bagai bencana tsunami menghantam, aku kaget dan terkejut mendengarnya. Kulantunkan kalimat tayibah untuk menenangkan hati dan pikiranku.
"Nak Firman semoga dapat jodoh terbaik. Kami mohon maaf kalau ini membuat Nak Firman kecewa. Maaf kami sekeluarga tidak bisa menerima niat baik Nak Firman," sambungnya.
Aku benar-benar terkejut dan tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku hanya diam sambil terus beristighfar dalam hati. Lelaki itu pun meneteskan air mata sambil menunduk.
"Dah, Indah," panggilnya.
Wanita yang kucintai akhirnya muncul kembali dan duduk di samping ayahnya dengan wajah merah menahan tangis. Ia menatapku beberapa saat dan kulihat air matanya menetes. Aku melihat dengan jelas kalau ia menahan tangisnya.
"Coba kamu bicara," perintah bapak itu pada anaknya.
Tiba-tiba Ustadzah Indah menangis hebat sambil bersandar di dada ayahnya. Aku benar-benar melihatnya dengan jelas kalau ia benar-benar menangis sambil bersandar pada lelaki pahlawannya itu. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Aku bingung dan tidak mengerti dengan keadaan.
"Sudah, sudah, maafin bapak. Maafin bapak." Ia menenangkan anaknya.
Aku semakin bingung, heran dan begitu bersedih dengan dada terasa sesak.
"Apa kamu mencintai Firman?" tanyanya sambil mengelus putrinya.
Ustadzah Indah terus menangis dan ayahnya berusaha menenangkan. Tak terasa air mataku menetes dan segera kuhapus. Aku menarik napas sambil terus beristighfar. Sungguh tak tega melihat wanita yang kucintai menangis.
"Ada apa ini ya Allah? Kenapa jadi gini?" bisikku dalam hati dengan perasaan bingung.
Ustadzah Indah menatapku dengan berlinang air mata setelah ia agak tenang.
"Maafin saya dan keluarga ya, Mas," ucapnya lirih, lalu ia kembali menangis.
Ustadzah itu kembali ke kamarnya setelah berbicara kalimat singkat itu sambil menangis. Entah apa yang kurasakan saat itu. Aku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata.
"Apa anak bapak sudah ada yang menghitbah sebelum saya?" tanyaku.
"Maafin bapak, Nak Firman. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik dari anak bapak," jawabnya tidak nyambung.
"Insha Allah, Firman ikhlas dan mungkin ini yang terbaik dari Allah," ujarku dengan sedikit kesal dan terpaksa.
Lelaki itu memelukku sambil menangis. Ia pun terus mengucapkan maaf tanpa menjelaskan dengan jelas, kenapa lamaranku ditolak. Ia menyuruhku pulang dengan bahasa halus. Aku pamit pulang dengan terus menenangkan diri. Sore itu aku benar-benar dilanda rasa galau, sedih dan perasaan bingung. Tubuhku begitu lemas dan dada sesak. Air mata pun tumpah dan tangisku pecah saat aku pamit pulang.
"Ampuni aku ya Allah, beri aku kesabaran menerima kenyataan dan kebingungan ini," gumamku.
Saat aku memarkirkan motor untuk pulang, tiba-tiba kulihat mobil mewah datang di depan rumah itu. Aku diam sambil memperhatikan. Kuusap air mataku dan terus menguatkan hati. Kulihat seorang pemuda turun dari mobil itu diikuti oleh kedua pasangan yang sepertinya itu ayah dan ibunya. Mereka melihatku dengan heran. Aku pergi tanpa mengucapkan apapun pada mereka.
"Apa itu calon suaminya Ustadzah Indah?" Aku merasa curiga dan menebak-nebak.
Karena rasa penasaran, aku mencari informasi pada tetangganya dengan mampir di sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumah itu. Beberapa ibu-ibu Kudengar sedang ngerumpi.
"Itu calon suaminya Ustadzah Indah. Katanya dia juga Tahfiz Qur'an lulusan luar negri." ujar salah satu ibu-ibu yang tak sengaja kudengar.
"Masha Allah, Pak Burhan memang hebat, anaknya solehah dan calon menantunya juga seorang lulusan Al-Azhar Mesir," ujar ibu-ibu satunya.
Seketika dadaku sesak dan darahku mendidih. Aku begitu emosi, tapi akhirnya aku bisa menenangkan diri setelah meraba diriku sendiri dan sadar kalau aku tidak sempadan bersanding dengan Ustadzah Indah.
"Firman, Firman, orang brengsek dan penuh dosa kayak loe masa mimpi ingin jadi suaminya Ustadzah Indah. Tobat loe aja belum tentu diterima. Sadar woy, loe siapa dan dia siapa. Kalau mimpi jangan tinggi-tinggi, sekali jatuh sakit kan? Udah, udah, jangan banyak mimpi, mending fokus perbaiki diri dan tobat dengan sebenar-benarnya tobat." Aku berbicara sendiri dalam hati sambil meraba diriku sendiri dan bercermin pada kaca yang lebar.
Saat perjalanan pulang, aku terus menangis meski sudah kutahan sekuat tenaga. Aku benar-benar galau dan sedih, tapi tak ingin terus tenggelam dalam kesedihan. Berserah diri pada Allah dan menyerahkan semuanya pada Rabb pun menjadi jalan terakhirku. Tiba-tiba turun hujan begitu deras sampai aku basah kuyup. Namun, aku terus melanjutkan perjalanan pulang dengan mengendarai kuda besi, meski keadaan hujan deras dan hatiku begitu bersedih.
Bersambung.
