Pustaka
Bahasa Indonesia

USTADZAH CANTIK

61.0K · Tamat
FIRMAN FIRDAUS HUSEN
36
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Novel ini menceritakan seorang pemuda yang tengah berusaha memperbaiki diri dan ia bertemu dengan seorang Ustadzah cantik dan muda di tempat kerjanya. Rasa cinta bersemi di hatinya, tapi banyak rintangan untuk mendapatkan hati Ustadzah cantik itu.

Cinta Pada Pandangan PertamaMenantuWanita CantikRomansaKeluargaMenyedihkanDewasaBaper

Part 1 Pertemuan

Ustadzah Cantik

"Mas, bisa pembayaran sh*pee?" tanya seorang gadis.

Aku menoleh ke arah suara dan terkesima melihat keindahan wajah seorang gadis berjilbab pink.

"Bisa," jawabku sambil mengangguk.

Sebagai pelayan sebuah minimarket, aku melayani pengunjung dengan baik dan ramah.

"Kode pembayarannya, Mbak," pintaku dengan ramah.

Ia memberikan ponsel pintarnya dan kuterima dengan baik. Saat aku melihat layar ponselnya, aku tak sengaja memindahkan layar dan terlihat olehku fotonya tanpa memakai jilbab. Aku begitu terpesona melihat foto itu dan bengong sesaat. Aku terus melihat fotonya yang begitu cantik dan ia sedang tersenyum.

"Astaghfirullah," gumamku, lalu memindahkan layar ponsel ke screenshot kode pembayaran.

"Atas nama Indah Fuji Latifah," ucapku memastikan.

"Iya," balasnya dengan suara lembut.

Aku melayani pembayaran dengan baik dan mengembalikan kembalian dengan tepat.

"Eh, Ustadzah," ucap seseorang pada gadis berjilbab itu.

"Iya, Bu," balasnya.

"Ustadzah Indah lagi apa?" tanya ibu itu.

"Lagi bayar Sh*pee, Bu," jawabnya.

Kulihat mereka sedikit mengobrol dan aku terkejut ternyata gadis cantik, manis dan berjilbab rapih itu seorang Ustadzah.

"Makasih yah, Mas," ucapnya sambil tersenyum padaku.

Aku kembali terkesima, terpesona bahkan lebih dari itu melihat keindahan senyumnya.

"Subhanallah, manis banget, pipinya ada lesungnya, giginya juga bergingsul indah," gumamku sambil melihatnya berjalan keluar Minimarket tempat kerjaku.

Tiba-tiba ia menoleh padaku, lalu melemparkan senyumnya. Aku kembali hanyut oleh keindahan wajah dan senyumnya.

"Mun, itu Ustadzah?" tanyaku pada kasir yang bernama Maemunah.

"Iya, dia Ustadzah yang ngajar di pesantren sana," jawabnya sambil tangannya menunjuk ke arah barat daya.

Aku ingat, ternyata tempat kerjaku tak jauh dari Pondok Pesantren Modern yang terkenal di daerah itu. Aku pernah mengantarkan pesanan dan masuk ke lingkungan Pesantren itu. Saat itu aku dibuat takjub, karena para Santri dan Santriwati disana berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan Arab.

"Cantik yah, Ustadzah Indah?" tanya Maemunah.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Pikiranku terus teringat akan Ustadzah Cantik itu.

"Ustadzah Indah seindah wajah dan sikapnya," bisikku dalam hati.

Saat sore sehabis bekerja dan membuat laporan, aku pulang ke rumah dengan mengendarai kuda besiku. Sepanjang perjalanan pikiranku terus teringat akan sosok gadis berjilbab rapih itu. Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri, bahwa aku tidak ingin pacaran dan akan berusaha memperbaiki diri.

"Ustadzah Indah, Ustadzah Indah, semoga kamu jadi istriku." Tanpa sadar kalimat itu terucap dari mulutku saat aku berdoa sehabis shalat Maghrib.

Aku semakin terbayang dan terus teringat wajah, tutur kata dan senyumnya. Aku berusaha melawan perasaan itu dan terus beristighfar, tapi perasaan itu terus kurasakan. Malam itu aku terus melamun dan membayangkan wajah dan senyumnya. Aku berusaha menenangkan diri dengan terus beristighfar dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an.

"Ya Allah, aku tak ingin mencintai hambaMu dengan berlebihan dan aku ingin bertaubat dari segala kesalahan dan khilaf masa laluku," ucapku dalam hati sambil melamun.

Setelah shalat isha, aku mencoba tidur dan memasang alarm supaya aku terbangun di sepertiga malam untuk Tahajud.

*****

"Kok kamu disini?" tanya Ustadzah Indah saat aku berada di depan Masjid setelah shalat Dzuhur.

"Iya," jawabku.

"Kamu udah lihat auratku, meski lewat foto. Kamu sudah berbuat dzalim," ujarnya dengan tatapan serius.

Aku kaget mendengarnya dan malu, karena ternyata ia mengetahui, kalau aku melihat fotonya di ponsel miliknya saat ia menunjukkan kode pembayaran online.

"Maaf, maaf, saya enggak sengaja." Aku berbicara sambil menunduk malu.

Ustadzah cantik itu terus menatapku dengan tatapan tajam seolah menahan amarah. Aku berkali-kali meminta maaf, lalu ia pergi. Aku berusaha mengejar dan meminta maaf, tapi gadis bernama Indah Fuji Latifah itu terus berjalan, bahkan ia menangis.

"Kenapa kamu buka-buka fotoku yang enggak pakai jilbab? Kamu jahil dan aku enggak terima sama kelakuan kamu," tegurnya.

Aku terus meminta maaf, tapi ia tak menghiraukan malah berlari sambil menangis.

"Ah, dia marah dan enggak terima, padahal salah dia kenapa berfoto seksi di HP dan aku enggak sengaja melihatnya," gumamku.

Aku khawatir, cemas dan takut atas kelakuanku melihat-lihat fotonya yang terlihat auratnya.

*****

"Astaghfirullah," ucapku setelah aku bangun tidur.

Ternyata aku bermimpi bertemu dengan Ustadzah cantik itu dan di mimpiku, ia marah, karena aku melihat-lihat foto pribadinya saat ia menunjukkan kode pembayaran online di ponselnya. Aku terus beristighfar dan ternyata sudah waktu sepertiga malam. Aku shalat malam, lalu membaca Al-Qur'an.

Saat pagi, aku bersemangat masuk kerja dan berharap bertemu dengan Gadis cantik yang dipanggil Ustadzah itu. Namun, sampai waktu Dzuhur, aku tidak melihatnya belanja atau melakukan pembayaran online di minimarket tempat kerjaku.

"Mun, kok cewek kemarin enggak kesini lagi? Semoga aja dia kesini," ucapku pada Maemunah, kasir rekan kerjaku sekaligus bawahanku.

"Cewek yang mana?" tanyanya.

"Ustadzah Cantik itu, Mun," jawabku.

"Ustadzah Indah, maksudnya? Cie, cie, kayaknya ada sesuatu nih," godanya.

Aku hanya tertawa, lalu pamit untuk Shalat Dzuhur di Masjid terdekat. Setelah aku shalat, aku kembali berdoa semoga berjodoh dengan gadis itu, lalu keluar masjid dan memakai sepatu.

"Mas," seru seseorang saat aku berada di depan Masjid dekat tempat kerjaku setelah shalat Dzuhur.

"Subhanallah," ucapku spontan saat aku melihat seseorang yang memanggilku.

Ternyata Ustadzah Indah memangilku dan ia berjalan mendekat.

"U-ustadzah," ucapku gugup saat ia berjalan mendekat.

"Ini, Mas, yang kerja di Alfam*rt itu kan?" tanyanya setelah ia mendekat.

"I-iya," jawabku gugup dan menundukkan wajah.

"Ini, saya mau belanja online buat kebutuhan anak-anak Santri, tapi enggak tahu gimana caranya ini?" Ia menunjukkan sebuah aplikasi belanja online Alfam*rt di ponselnya.

"Maksudnya gimana, yah?" tanyaku.

"Cara bayarnya mengunakan aplikasi, gimana yah? Ajarin dong," tanyanya, lalu meminta aku mengajarinya.

Aku dengan sabar dan sopan mengajarinya.

"Ini pesanannya dianterin, kan?" tanyanya lagi.

"I-iya, dianterin ke alamat yang dikirim Si Pemesan," terangku.

"Makasih yah, tadi saya mau ke toko, tapi lihat Mas, disini," ujarnya.

Aku tersenyum dan ia membalasnya, lalu mengucapkan istighfar sambil menundukkan wajah menghindari tatapanku.

"Saya pamit dulu yah, makasih, Mas," pamitnya, lalu pergi setelah mengucapkan salam.

Aku merasa bahagia bertemu dengannya dan kurasakan perasaanku semakin semakin aneh.

"Ya Allah, semoga dia jadi istriku." Aku berdoa dalam hati.

Hari itu aku bekerja dengan semangat dan bahagia. Aku terus berharap bisa bertemu lagi dengannya. Aku pun tahu alamat rumahnya dan profesinya. Ia seorang pengajar di Pondok Pesantren Modern dan katanya lulusan Pesantren Modern yang cukup terkenal. Aku mengorek informasi dari Embak Ita, penjual warteg dan warung kopi yang katanya kenal dengan Ustadzah itu. Saat aku pulang kerja dan mampir di warung nasi Embak Ita, aku keceplosan menanyakan Ustadzah itu dan ternyata Embak Ita mengenalnya.

"Dia udah punya calon, belum, Embak?" tanyaku.

"Kayaknya belum sih, karena kan dia baru lulus tahun ini, lulus kuliah sama mesantren," jawab Embak Ita.

Aku pulang ke rumah dengan pikiran terus teringat gadis itu. Setelah shalat Maghrib, aku membuka media sosial berlambang huruf F dan mencari akun gadis yang dipanggil Ustadzah itu. Namun, aku tidak menemukan.

"Indah Fuji Latifah," ucapku dalam hati mengingat dengan jelas nama lengkapnya.

Malam itu aku benar-benar seperti orang yang mabuk asmara, padahal hanya bertemu dua kali. Tutur kata, senyuman dan tatapan matanya selalu kuingat dengan jelas. Aku tidak bisa berbuat apa dan tidak bisa menahannya, kecuali dengan berdoa kepada Allah.

"Firman!" panggil ibuku.

Aku menemuinya di dapur.

"Nanti habis isha katanya ada pengajian masyarakat di Masjid, kamu hadir yah," ujar ibuku.

Aku hanya mengangguk pelan dan ibuku ternyata tengah sibuk mempersiapkan kue buat konsumsi pengajian masyarakat. Setelah shalat Isha berjamaah di masjid, aku pun ikut pengajian masyarakat dan membantu yang lain mempersiapkan semuanya.

"Yang ngisi Tausyiahnya Ustadzah Ahmad, tapi Si Angga yang jadi MC enggak bisa datang, katanya dia ada tugas kuliah, enggak bisa pulang," ujar Pak RT.

"Man, kamu aja jadi MC, kamu kan pernah jadi MC di musyawarah pemuda Karang Taruna," perintah Pak RT Sarkawi.

Aku menolak beberapa kali, tapi Pak Sarkawi terus memaksa. Akhirnya aku pun menyanggupi dan bersiap-siap. Akhirnya aku pun berhasil menjadi MC dengan lumayan baik, meski sedikit gugup. Setelah pengajian itu selesai, aku pulang ke rumah, karena rasanya ngantuk.

*****

"Mas, nama kamu siapa sih? Boleh tolongin saya, bawain belanjaan ini?" tanya Ustadzah Indah, saat aku bekerja dan ternyata aku kembali bertemu.

"Firman namaku, Ustadzah. Iya nanti saya bawain ke Pondok disana itu kan?" jawabku.

"Makasih yah, Mas Firman," ucapnya.

"Ustadzah, kok pergi?" Aku mencegahnya saat ia hendak berjalan keluar.

"Mau ke Pondok, mau ngajar lagi," terangnya.

"Ustadzah udah punya calon belum? Saya suka sama Ustadzah." Aku keceplosan.

Ustadzah Indah hanya tersenyum, lalu pamit pergi dengan menunduk. Aku berusaha mengejar, tapi ia terus berjalan.

"Maaf, maaf tadi atas ucapan saya yang enggak sopan." Aku meminta maaf.

Ustadzah Indah terus berjalan, bahkan berlari menghindar dariku. Aku hanya bisa melihatnya semakin menjauh.

"Kenapa dia pergi?" tanyaku dalam hati.

*****

Aku terbangun dari tidur dan ternyata aku kembali mimpi bertemu dengan Ustadzah cantik itu. Entah apa maksud mimpiku, aku beristighfar dan menenangkan diri. Setelah mencuci muka dan ternyata sudah sepertiga malam, aku kembali Tahajud dan berdoa semoga berjodoh dengan gadis manis dan solehah itu.

"Kalau kita ada keinginan, kita harus banyak-banyak berdoa dan minta doa dari orangtua, terutama ibu kita, terus kita berikhtiar semampu kita." Terngiang ucapan Angga, sahabatku.

Saat pagi, aku berolahraga lari pagi dan hari itu aku masuk kerja shift dua, sehingga masuk jam 14.00. aku bisa bersantai di rumah. Saat aku tertidur waktu Dhuha, aku kembali bermimpi tentang Ustadzah itu. Kali ini mimpiku berbeda, aku bermimpi tengah menjadi imam shalat dan Ustadzah Indah menjadi Makmumnya.

"Mohon bimbingannya ya, Mas Firman," ucap Ustadzah Indah saat dalam mimpi.

Aku terbangun dan kali ini aku merasa bahagia dan rasanya aku benar-benar seperti memiliki istri, meski hanya lewat mimpi. Saat aku berangkat kerja, rasanya aku ingin melewati pondok pesantren tempat Ustadzah Indah mengajar. Aku mengendarai kuda besiku melewati tempat itu dan tidak melihatnya.

"Heh, tadi Ustadzah Indah kesini loh, nanyain kamu," ujar Maemunah sambil tersenyum.

"Beneran, Mun?" tanyaku dengan gembira.

"Iya, katanya Si Mas yang biasa jaga sama kamu itu mana, terus aku jawab, lagi masuk siang," terang Maemunah.

Aku begitu gembira dan rasanya geer pede gila. Ingin rasanya aku menari, berjoget ria sambil jingkrak-jingkrak bahagia. Aku bekerja dengan semangat dan bahagia sore itu. Saat ada pesanan yang harus kuantar ke Ponpes itu, aku bersemangat mengajukan diri mengantarkannya dengan harapan bisa bertemu dengan Ustadzah cantik yang selalu hadir di mimpiku itu.

"Semangat amat kayaknya," sindir salah satu rekan kerjaku bernama Didin.

"Ini namanya kerja dengan hati," balasku.

"Kerja dengan hati apa ingin ketemu sama Ustadzah Cantik," sindirnya lagi.

Aku hanya tertawa dan langsung menghindupkan motor mengantarkan pesanan ke tempat yang dimaksud. Aku meminta izin ke penjaga ponpes setempat untuk mengantarkan pesanan. Saat aku masuk dengan berjalan kaki dan bermaksud ke ruang pengajar mengantarkan pesanan dalam plastik besar, aku kagum melihat kesopanan dan akhlak para santrinya. Merekapun menggunakan bahasa Arab dan Inggris untuk berkomunikasi sehari-hari di lingkungan pesantren.

"De, ruang pengajar dimana yah?" tanyaku pada salah satu santri.

Ia pun mengantarkanku.

"Subhanallah," gumamku saat melewati sebuah aula dan disana ada Ustadzah Indah tengah mengajari para Santriwati. Aku berhenti sebentar untuk melihat. Aku begitu kagum ternyata Ustadzah cantik itu tengah mengajari para Santriwati menghafal Al-Qur'an.

"Masha Allah, ternyata kamu guru Tahfiz Qur'an," bisikku dalam hati.

Tiba-tiba Ustadzah Indah melirik ke arahku yang tengah memperhatikannya. Tatapan mata kami bertemu sehingga aku sangat gerogi dan malu.

"Mau anterin pesanan Pak Kiyai," ucapku secara spontan sambil menatapnya dan menunjukkan pesanan dalam plastik besar.

Tiba-tiba gadis yang dipanggil Ustadzah itu melemparkan senyumannya. Ia pun menatapku dengan tatapan cukup lama.

"Astaghfirullah," ucapnya sambil memalingkan wajah dan menunduk.

Ia pun mengelus wajahnya dan merapihkan jilbabnya. Kulihat ia kembali tersenyum sambil menunduk.

"Mas, anterin aja kesana," ucapnya dengan lembut sambil menunjuk sebuah ruangan.

"I-iya, ma-makasih," jawabku gugup, lalu aku berjalan ke ruangan yang dimaksud.

Aku dengan reflek kembali menolah ke arahnya sambil berjalan dan ia pun melihat ke arahku, lalu tiba-tiba ia kembali menunduk setelah melemparkan senyuman indahnya. Aku berhenti sejenak memperhatikan dan kulihat ia senyum-senyum sendiri sambil menggelengkan kepalanya yang tertutup jilbab rapih.

"Ya Allah, jodohkan aku dengan dia." Tiba-tiba aku berucap dalam hati.

Setelah mengantarkan pesanan, aku kembali berjalan melewati Aula yang disitu ada Ustadzah Indah tengah mengajari Para Santriwati menghafal Al-Qur'an.

"Permisi," ucapku saat melewatinya.

Ustadzah Indah yang tengah duduk di Aula dekat jalan yang kulewati itu kembali melirik, tapi ia segera menjaga pandangan matanya.

"Makasih yah, Mas," ucapnya pelan.

"Sama-sama. Assalamualaikum, semoga kita ketemu lagi." Tanpa sadar kalimat itu terucap dari mulutku.

Ia sepertinya kaget mendengarnya, lalu melihatku dengan membulatkan matanya. Kulemparkan senyuman dan ia pun membalasnya, lalu beristighfar dan kembali menunduk. Aku pun pamit pergi dan kulihat ia tersenyum sambil menundukkan wajah.

"Semoga aja dia enggak marah sama ucapanku tadi. Masha Allah, indah banget senyumnya. Ustadzah Indah, kamu emang cantik dan indah seindah namamu," gumamku saat perjalanan pulang mengendarai motor sambil senyum-senyum sendiri.

Itulah pertemuanku yang ketiga dengan Ustadzah cantik bernama Indah Fuji Latifah.

Bersambung.