Part 9 Cerita Kakek
Ustadzah Cantik
Part 9
Aku tidak mengangkat panggilan dari Ustadzah Indah, karena ibuku hendak berbicara. Saat kita ngobrol dengan seseorang, kita harus fokus mendengar dan jangan sibuk memainkan ponsel, karena itu terkesan tidak sopan. Kumasukkan ponselku ke kantong celana, lalu fokus mendengar ibuku berbicara.
"Kamu pernah dengar cerita Kakek, kalau dia punya anak angkat?" tanya ibuku.
Aku diam mengingat-ingat sesuatu.
"Kakek pernah cerita kalau dia punya anak angkat, tapi anak angkatnya cewek dan katanya udah jadi kepala sekolah," jawabku.
"Selain itu juga ada lagi. Dulu di kampung kakek kamu ada pengiriman guru buat ngajar di sekolah SD di desa kira-kira sekitar tahun delapan puluhan. Para guru dikirim ke kampung itu untuk ngajar di SD, itu program pemerintah. Si Burhan itu termasuk salah satu tenaga pengajar yang dikirim ke kampung, usianya masih muda. Dia berasal dari daerah lumayan jauh. Karena Burhan memerlukan tempat tinggal, akhirnya dia tinggal di rumah kakek kamu bareng sama ibu dan adik-adik ibu. Kakek begitu baik memperlakukan dia seperti anaknya sendiri. Pernah gaji gurunya telat sekitar tiga bulan, kakek mencukupi semua kebutuhan dia, bahkan sepatu, kaos, celana dan semua perlengkapan Burhan itu dibeliin sama kakek. Kebetulan saat itu kakek kamu sedang maju usahanya dan kakek kamu seorang Ustadz, tokoh masyarakat yang sangat dihormati," terang ibuku menceritakan ayahnya Ustadzah Indah.
"Terus?" Aku menyuruhnya melanjutkan ceritanya.
"Beberapa tahun Burhan tinggal di rumah kakek sampai dia punya uang dan tabungan sendiri. Kakek sama nenek kamu benar-benar memperlakukan dia dengan baik seperti anaknya sendiri. Burhan juga orangnya kalem, baik dan taat beribadah, terus Burhan ngajak nikah sama ibu, katanya buat balas budi kebaikan kakek dan Burhan juga ternyata diam-diam suka sama ibu. Saat itu ibu udah punya pilihan dan hanya anggap Burhan sebagai kakak sendiri. Ibu kan udah hubungan dari SMP sampai ibu lulus kuliah sama Si Hendra. Akhirnya kakek sibuk nyariin Burhan istri dan dia dijodohkan sama wanita anak teman akrab kakek, mereka nikah." Ibuku melanjutkan ceritanya.
"Hendra? Hendra Mantan kepala sekolah yang sekarang jadi bos dan udah naik haji itu. Firman pernah denger kalau Pak Haji Hendra pernah cerita masa mudanya sama ibu. Pantesan aja dia baik banget sama Firman dan sering bersikap genit sama ibu, terus ibu juga sok centil kayak ABG labil tiap ketemu dia. Firman juga pernah denger kalau Pak Haji Hendra manggil ibu dengan panggilan Ayang Mbeb waktu acara Maulid tahun kemarin, terus ibu ketawa-tawa kayak anak ABG sampe ibu-ibu yang lain geger," pungkasku.
Ibuku senyum-senyum seperti sedang jatuh cinta.
"Tuh kan, ibu pasti sedang Nostalgila!" sewotku.
"Apa sih kamu ini. Ibu enggak Nostalgia atau Nostalgila kok! Semenjak nikah sama bapak kamu, ibu enggak pernah selingkuh sama siapapun. Iya sih Si Hendra masih sering godain ibu, waktu itu juga nowel-novel pipi ibu katanya, Fat, kamu masih suka kan sama aku, ayo ngaku, masih cinta kan. Kita kan belum putus sampe sekarang, hihihi," elaknya sambil senyum-senyum.
"Terus mama cantik masih cinta sama Haji Hendra?" tanyaku.
"Enggak lah, kan ada bapak kamu, dikit-dikit mah boleh dong, hihihihi," jawabnya sambil tertawa dan bertingkah konyol mirip bocah ABG Bucin.
"Dih, mama kayak belut sawah, wajahnya juga memerah," sindirku.
"Jangan cemburu sih, mama cantik sekarang cuma cinta dan sayang sama kamu. Kan kita udah jadian kan? Ngapain mama nostalgia, sekarang udah ada kamu yang lebih ganteng dari dia, hihihihi," kelakarnya sambil merangkul dan mendaratkan ciuman di pipiku.
Aku bergidik ngeri dan geli dibuatnya.
"Ini Si Mama genit, kok bisa-bisanya godain anak sendiri? Seru juga sih daripada marah-marah mending bersikap genit kayak gini sekalipun gue geli dibuatnya," gumamku sambil senyum sendiri.
"Berarti Pak Burhan itu anak angkatnya kakek dan dia pernah suka sama Mama? Iya, Firman ingat, kekek pernah cerita kayak gitu, tapi kata kakek namanya Agus, bukan Burhan," ujarku.
"Iya, namanya Burhan Agus Sutrisno. Kakek menyebutnya Agus. Setelah dia sukses dan kaya malah lupa sama jasa kakek kamu. Waktu kakek kamu sakit keras sebelum meninggal juga dia enggak nengokin, giliran udah meninggal baru nangis-nangis minta maaf," terang ibuku.
Aku mengangguk pelan.
"Ustadz Ilham juga pernah jadi anak angkat Kakek kamu, dia disekolahin sambil mesantren sampe dia jadi Ustadz sekarang," sambungnya.
"Iya, Ustadz Ilham juga sering cerita kebaikan kakek, bahkan dia pernah bercerita sambil meneteskan air mata. Termasuk Pak Pian yang sekarang jadi pengusaha Ikan Lele juga katanya pernah diurus sama kakek waktu kakek masih jadi orang kaya, termasuk Pak Sarnan juga pernah cerita kalau dia anak buah kakek, kakek orangnya loyal dan ramah suka becanda. Giliran Firman lulus sekolah SMA pengen kuliah, malah kakek udah sakit-sakitan dan enggak sanggup biayai cucunya. Jadi ingat ucapan kakek, katanya, Firman, kalau kakek banyak uang udah kakek biayai kamu sekolah kedokteran. Jangankan anak atau cucu sendiri, anak orang lain aja kakek sekolahin sampe pada sukses, tapi setelah sukses pada lupa sama jasa. Sekarang kakek enggak bisa apa-apa lagi, maafin kakek enggak bisa kuliahin kamu," ujarku menceritakan kebaikan kakekku, ayah dari ibuku.
"Gitu lah, Man, namanya juga dunia. Kalau lagi jaya, banyak orang yang ngedeketin, tapi kalau lagi ambruk dan lagi susah, pada ngejauh, gitu kehidupan di dunia. Bener apa yang dinyanyikan Rhoma Irama itu, banyak teman di meja makan, tapi saat lagi susah, yah enggak ada teman," pungkasnya.
Aku menarik napas dan teringat Kakekku sampai tanpa sadar aku meneteskan air mata.
"Ayo kita temui ayah kamu yang lagi ngobrol sama Fahmi," ajak ibuku sambil membawa dua gelas air.
Kami menemui ayahku yang tengah ngobrol akrab dengan Pemuda yang lumayan terkenal baik dan taat ibadah itu.
"Nak Fahmi, ini diminum dulu." Ibuku menyuguhkan air minum.
"Makasih Bu Ustadzah," balas Fahmi dengan sopan sambil menunduk.
"Jadi gini, maksud kedatangan Fahmi kesini, Fahmi mau ngelamar anak bapak sama ibu yaitu Tiara. Maaf kalau kedatangan Fahmi ini kurang sopan dan mengganggu. Fahmi udah lama jatuh cinta sama anak bapak dan ibu, terus daripada Fahmi ngajak pacaran dan berbuat dosa, mending Fahmi datang kesini untuk mengkhitbahnya," ujar Fahmi dengan hati-hati dan terus menunduk.
Kulihat badan dan tangannya bergetar. Aku teringat pada diriku sendiri saat sore waktu melamar Ustadzah Indah.
"Tunggu, tunggu, Nak Fahmi diem dulu," ucap ayahku tiba-tiba.
"Man! Fahmi ini udah berani dengan gentleman datang ngelamar adik kamu. Nah, tadi kamu udah datang ke rumah Ustadzah Indah belum, buat ngelamar dia?" tanya ayahku.
"Iya, udah," jawabku singkat.
"Gimana hasilnya?" tanyanya lagi.
"Tanggapannya positif dan tadi Ustadzah Indah juga udah blak-blakan ngungkapin perasaannya," jawabku dengan hati-hati.
Ayahku menunduk dan kembali menatap Fahmi.
"Lanjutin," perintahnya pada Fahmi.
Pemuda itu semakin gerogi dan wajahnya berkeringat. Aku tertawa dalam hati dan begitu mengerti perasaannya.
"Gitu Pak, saya berniat mengkhitbah anak bapak," ujar Fahmi dengan suara pelan nyaris tak terdengar.
Ibuku hanya tersenyum dan sesekali melihatku.
"Bu, kerjain Bu, biar seru," bisikku pada ibuku.
Wanita pahlawanku itu tersenyum dan mengangguk pelan.
"Fahmi!" ucap ibuku setengah ngebentak.
Sontak pemuda itu kaget dan ketakutan. Keringat terus bercucuran, ia terus menunduk dengan badan bergetar. Aku tertawa sambil merangkul ibuku.
"Berani, beraninya kamu ngelamar anak ibu," sambungnya pura-pura berbicara ketus.
Reaksi Fahmi semakin tegang dan ketakutan. ia pun gugup dan semakin bergetar tangannya.
"Ma-maaf Bu Ustadzah," ucapnya dengan gugup.
Aku terus tertawa dan Fahmi semakin tegang.
"Biasa aja sih, Fahmi, jangan tegang gitu. Ibu cuma becanda kok," ucap ibuku, lalu tertawa.
"Usah, udah, jangan ngerjain anak orang," tegur ayahku.
Aku dan ibuku tertawa.
"Man, kamu kan udah dewasa, coba kamu jawab lamaran Fahmi buat adik kamu ini," perintah ayahku.
"Siap!" balasku.
Aku mengucapkan bismillah sebelum berbicara.
"Alhamdulillah, kami sekeluarga merasa bahagia dengan kedatangan saudara Fahmi dan saya berdoa semoga ini menjadi nilai ibadah dan semoga Allah meridhoi obrolan kita malam ini. Adapun niat tulus Fahmi, saya berdoa semoga mendapat keberkahan dan keridhaan Allah. Untuk jawabannya, kami serahkan sama Tiara. Apapun jawabnya semoga ini yang terbaik buat kita semua," ujarku dengan serius.
Ayahku tersenyum dan mengacungkan dua jempol. Ibuku merangkul dan mencium pipiku.
"Panggil adik kamu, kayaknya lagi melayang-layang bahagia tuh," perintah ibuku.
Aku menemui adikku di kamarnya dan ia sudah dandan rapih dengan jilbab dan bedak seperti tepung terigu.
"Tuh temui Si Cungkring, dia ngelamar kamu," ucapku pada Tiara.
"Iya kakakku yang ganteng," jawabnya, lalu tiba-tiba memelukku dengan manja.
"Sekarang kamu udah gede, sebentar lagi mau dikawinin sama Si Cungkring. Put, pasti gede tuh Onderdilnya Si Cungkring segede ikan gabus punya Pak Darmin," godaku.
"Apa sih?! Ngaco amat kali! Punya kakak tuh yang gede kayak Ikan Betok!" sewotnya.
Aku tertawa ngakak sambil menoles kepala adikku yang kadang manja dan cengeng itu. Kami berjalan berdua menemui Fahmi dan kedua orangtuaku.
"Heh! Jaga jarak! Enak aja mau duduk deket-deketan, belum Muhrim! Nyosor amat kali jadi cewek," tegurku saat Tiara hendak duduk di samping pemuda yang melamarnya itu.
Kedua orangtuaku tertawa dan Fahmi salah tingkah.
"Putri, apa kamu mau nikah sama Fahmi, kamu kan udah lulus SMA dan sekarang sedang kuliah, kalau kamu mau langsung nikah enggak apa-apa, tapi kuliah lanjut terus. Gimana Put?" tanya ayahku pada anaknya yang bernama Tiara Adisti Putri itu.
Adikku hanya diam sambil menunduk. Ia pun senyum malu-malu.
"Bapak sudah tahu kalau kalian ini saling suka udah lama, tapi bapak salut sama kalian, karena kalian enggak pacaran dan di mata bapak juga, Fahmi ini anaknya baik dan taat beribadah. Fahmi juga sering silaturahmi kesini. Anak bapak hanya diam waktu ditanya. Diamnya seorang wanita saat dilamar itu berarti dia menerima," tandas ayahku.
Fahmi terlihat senang dan adikku terus menunduk malu-malu.
"Ngomong dong, jangan diem aja kayak Patung Pancoran," tegurku pada Tiara sambil memoles keningnya.
"Apa sih? Bisa diem enggak tangannya?!" sewot adikku.
"Kamu mau enggak nikah sama Fahmi?" tanyaku.
"Kepo! Masalah buat loe!" timpalnya.
Aku mengerutkan dahi dan kedua orangtuaku tertawa.
"Udah! Langsung aja kawinin besok!" ceplosku.
"Apa sih?! Kakak aja tuh kawinin sama Si Marimar Markonah!" selorohnya.
"Udah, udah, berarti anak ibu menerima niat baik Fahmi. Sekarang Nak Fahmi tinggal bawa kedua orangtua Nak Fahmi kesini, lebih cepat lebih baik," ujar ibuku.
"Siap Bu Ustadzah, Insha Allah secepatnya," jawab Fahmi.
Kemudian Pemuda itu pamit pulang. Adikku langsung ngeluyur ke kamar sambil senyum-senyum sendiri.
"Ada-ada aja, Si Firman yang berusaha mah pengen nikah sama Ustadzah Indah, eh, malah Si Putri tiba-tiba dilamar anak orang," ucap ayahku.
"Alhamdulillah lah, semoga semuanya lancar," balas ibuku.
Aku melihat layar ponselku dan ternyata ada pesan Wa dari Ustadzah Indah.
[Kok enggak diangkat, Sayang?] Kubaca pesan Wa dari gadis yang kucintai.
[Maaf, tadi lagi sibuk, karena ada yang ngelamar adikku,] balasku.
[Terus gimana lamarannya, Lancar? Selamat kalau gitu, nanti saya ingin ketemu sama adik Mas Firman.] Kubaca pesan darinya lagi.
[Alhamdulillah lancar, karena enggak ada calon lain dan hanya satu lelaki. Enggak kayak aku ini, harus bersaing sama si Onoh,] balasku sedikit becanda.
[Dih, tenang aja enggak mesti bersaing kok, Si Onoh pasti tereliminasi,] balas Ustadzah Indah.
Ia pun mengirim emoticon senyum dan emoticon love yang banyak. Aku begitu bahagia malam ini dan benar-benar baper, plus Bucin ditambah pede gila, dikasih bonus lebay. Rasanya hidungku naik turun keluar asap mirip Siluman Kerbau dalam film Kera Sakti. Badanku gerah sehingga kubuka baju dan hanya memakai celana pendek sambil mondar-mandir sesekali berjoget ria.
"Ah, dia bikin gue Bucin dan berbunga-bunga. Bunga-bunga indah terus bermekaran. Cie, yang terus-terusan kepikiran. Karena hidup banyak rasa Kopi Go*d day pilihannya. Ah, gue udah gila kayaknya ini, masa jatuh cinta sampe ngikutin iklan merek kopi segala." Aku berbicara sendiri sambil senyum-senyum enggak jelas dan rasanya ingin terus tersenyum.
"Bila mimpi pasti kau dapat, masihkah kita terus menantikannya? Seluas samudera membentang, tersimpan mimpi tuk ditemukan. Hey! Generasi kita berdiri, menari di hangat sinar mentari. Meski luka pasti kau temui, cobalah untuk bangkit kembali. Lompatlah tinggi menembus langit biru. Lets go! Angkatlah tangan ke angkasa, harapan bersemi di ujung sana. Ganbare! Ayo kita berlari mengejar destiny yang menanti." Tanpa sadar aku menirukan nyanyian dalam Iklan minuman isotonik asal negeri sakura yang sangat terkenal di Indonesia.
"Gini amat sih jatuh cinta, indah banget, tapi menyiksa. Gue udah mulai gila kayaknya, harus segera dikawinin ini mah biar sembuh, hihihihi. Emang bener kata dalam lagu Kokoronotomo, bahwa cinta itu menina bobokan. Tidur enggak enak, makan enggak enak, berjalan pun rasanya hampa, kosong dan terus terbayang wajah dia. Indah, Indah, kamu membuatku gila. Astaghfirullah, gini amat sih dilanda cinta, melebihi orang mabok kecubung. Ampun, Ferguso. Tidak semudah itu, Ferguso. Emak, anakmu ini pengen kawin biar sembuh penyakit asmara membara dan memabukan ini," gumamku sambil menahan perasaan yang kian membara seolah menenggelamkanku dalam samudera asmara yang dalam dan dingin tanpa sinar mentari. Aseek, beneran kayaknya otak udah geser.
"Firman, kamu kenapa senyum-senyum sendiri, joged-joged sendiri, terus ngacak-ngacak rambut, balik lagi bercermin, bolak-balik kayak setrikaan? Kamu juga cuma pake celana pendek doang, kayak lagi di Pantai?" tanya ibuku dengan heran melihat tingkahku.
"Gadis remaja, fajar kan segera tiba. Masa depan yang sekarang akan dimulai. Woo! Woo! Gadis remaja, jangan pernah engkau menyerah. Singkirkanlah segala kesedihan di hati. Berlarilah! Sekuat tenaga!" Tiba-tiba aku menyanyi lagu JKT48 di depan ibuku lengkap dengan koreo grafi yang pernah kupelajari sebagai Fans berat idol grup kerjasama Indonesia dan Jepang itu.
"Astaghfirullah! Kamu kok kayak cacing kepanasan?" Ibuku sepertinya heran.
"Lagi jatuh cinta sama Mama cantik. I love you, Mamah Fathia yang cantik, manis, kawaii, mirip Ayana Shahab JKT48," ucapku semakin gila.
"Beneran kamu jatuh cinta sama mama? Sini, sini mama cium sama peluk," balas ibuku sambil hendak merangkulku.
Seketika aku berlari masuk ke kamar dan langsung kukunci pintu, karena ngeri dengan sikap ibuku yang genit melebihi ABG lagi kasmaran.
"Aman, aman, Si Mama genit, malah gangguin anaknya lagi kasmaran aja," gerutuku.
"Kamu malah kabur! Awas besok, enggak bakal mama lepasin!" teriak ibuku.
Aku merinding dan kembali kasmaran mengingat Gadis cantik bernama Indah Fuji Latifah.
[Aku mau tidur dulu yah, Mas Firman, Sayang. Met, bobo yah calon suamiku yang unyu-unyu imut mirip bayi Panda.] Kembali kubaca pesan darinya.
Aku semakin melayang melupakan semua problematika kehidupan.
[Iya, semoga mimpi indah yah, calon istriku yang lembut dan kawaii, kawaii. Aku sayang kamu,] balasku.
Ia mengirim emoticon mata berkaca-kaca dan mengirim emoticon senyum. Aku berusaha menenangkan diri dan aku pun kembali sadar dari kekonyolan dan kegilaan yang baru saja kulakukan.
"Astaghfirullah, Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah. Kenapa perasaan ini begitu dalam sehingga sulit hamba kendalikan," ucapku dalam hati sambil meneteskan air mata.
Aku tertidur dan terbangun di sepertiga malam. Seperti biasa aku melaksanakan shalat malam bersama ibuku. Aku berdoa dan memohon ampun dari segala kesalahan dan kekhilafan. Aku pun memohon ampun dari segala kesalahan terhadap Ibuku. Ibuku akhirnya menangis dan kuusap air matanya, lalu kuusapkan pada wajahku.
"Firman! Kesini sebentar! Lihat siapa yang datang!" sahut ibuku saat pagi.
Aku yang sedang menulis sebuah cerita di media sosial untuk mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sangat kucintai, langsung menemui ibuku.
"Subhanallah!" ucapku kaget saat melihat seseorang yang datang ke rumahku pagi itu.
"Siapa nih yang datang? Ibu hebat kan?" goda ibuku.
Aku berjalan pelan dengan perasaan campur aduk dan sulit dijelaskan. Seseorang yang bertamu ke rumahku itu melemparkan senyuman indahnya. Aku dibuat tak berdaya.
Bersambung.
