Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6 Ibuku

Ustadzah Cantik

Part 6

Sore itu kami makan bersama di warung lesehan yang pemandangannya indah, karena dekat pantai. Ibuku terlihat bahagia dan terus mengajak Ustadzah Indah ngobrol, bahkan membahas seputar dunia olahraga badminton Indonesia yang meraih piala Thomas.

"Ini Si Mama genit ternyata hebat juga ilmu komunikasinya," gumamku.

"Maklum aja yah, Ustadzah, ibunya Firman ini suka ngobrol," ujar ayahku.

"Enggak apa-apa, Pak, makasih nih udah ngajak saya kesini," balas gadis pujaan hatiku sambil tersenyum.

"Firman, nih ibu udah bawain kamu baju buat ganti, masa pake baju seragam kerja," pungkas wanita pahlawanku sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi bajuku.

Aku mengambilnya, lalu berjalan ke kamar mandi untuk ganti baju. Aku kaget saat melihat pakaian yang dibawakan oleh ibuku, karena ia membawakan kaos warna pink bertuliskan idol grup kesukaanku.

"Ini Si Mama, malah bawain kaos ini, ini kan kaos khusus saat aku menjadi Wota. Biarin lah," gumamku saat memakainya.

"Anak mama ganteng amat," puji ibuku saat aku kembali.

Ustadzah Indah menatapku tanpa berkedip saat aku berjalan menemui mereka yang sehabis makan.

"Mama cantik tahu aja bawain kaos kesukaaanku," ceplosku.

Ibuku tersenyum dengan senyuman genit.

"Kita lihat Sunset yuk," ajak ayahku.

"Iya, iya, biar ingat masa muda kita saat baru nikah," balas ibuku.

Ibuku mengajak Ustadzah Indah berjalan ke pantai dan aku berjalan di depan dengan ayahku.

Kami berdiri di pinggir Pantai menikmati Sunset indah sore itu. Aku beberapa kali melirik Ustadzah Indah dari samping dan terlihat wajahnya begitu mempesona tersorot oleh cahaya matahari yang akan tenggelam.

"Maafkan Summer, menyilaukan saat tatap wajahmu dari samping. Dalam hatiku ingin menyentuhmu lembut, keisenganku saja. Maafkan summer, pergi jauh menuju cakrawala ujung sana. Akupun sendirian menatap langkah kaki tak mampu bilang suka. Maafin summer." Aku menyanyi lagu JKT48 dalam hati sambil menatapnya diam-diam.

Jiwa mudaku meronta dan rasanya ingin menghalalkan Ustadzah yang tengah berdiri di sampingku dengan tatapan matanya melihat sunset sore yang indah di Pantai Anyer.

"Nanti kita Shalat Maghrib di Musholla sini aja," ucap ibuku.

"Iya, biar Firman jadi imamnya," tambah ayahku.

"Enggak lah, malu," balasku.

"Malu kenapa sih? Masa anak mama malu disuruh jadi imam. Kamu kan calon imam yang nantinya jadi imam pasangan kamu," ujar ibuku.

"Malu lah, kan ada dua Ustadzah cantik, nanti diketawain," candaku.

"Kalau malu pake helm aja, Man," kelakar ibuku.

Aku sedikit tertawa dan Ustadzah Indah tersenyum sambil menatapku dengan tatapan sendu.

"Ya Allah, senyumnya indah banget sih. Apakah dia jodohku?" bisikku dalam hati.

Kami menikmati indahnya suasana Pantai. Cahaya Sunset sore itu terlihat kemerahan dan gelombang ombak seolah menambah keindahan suasana di sekitarnya. Ibuku tiba-tiba merangkul Ustadzah Indah yang tengah melihat Sunset. Mereka terlihat langsung akrab seperti ibu dan anak.

"Makasih yah, Bu, udah ngajak saya kesini. Makasih juga ibu baik sama saya." Tiba-tiba Ustadzah Indah berbicara pada ibuku sambil meneteskan air mata.

Ibuku memeluk dan mengelus kepalanya yang tertutup jilbab. Aku sedikit bingung, karena Ustadzah cantik itu seperti menangis dalam pelukan ibuku. Ayahku menarik tanganku mengajak menjauhi dua wanita Solehah yang tengah berpelukan itu.

"Ibu kamu itu pandai berbicara dan dia juga bisa memahami keadaan psikologis seseorang, karena kan ibu kamu pernah kuliah jurusan psikologi. Kayaknya cewek pujaan kamu mulai terpengaruh tuh. Semoga aja ini langkah awal yang baik, Man. Bapak dukung sepenuhnya dan bapak cocok banget kalau gadis itu jadi istri kamu, biar bimbing kamu," ujar ayahku sambil menepuk pundakku.

"Minta doanya semoga Ustadzah Indah mau," balasku.

"Jadi dia yang bikin kamu berubah," tebaknya.

"Bukan, Firman ketemu sama dia setelah berusaha berubah ke arah lebih baik," elakku.

"Alhamdulillah, kalau gitu. Bapak siap bantu sepenuhnya asal kamu bahagia dan menjadi lebih baik lagi," tandasnya.

"Alhamdulillah," jawabku.

"Bapak udah nyiapin rumah buat kamu kalau kamu rumah tangga. Rumah yang disewa Si Sukmara nanti buat kamu kalau udah nikah. Kurang baik apa bapak selama ini sama kamu," terangnya.

Aku hanya diam dan merasa malu, karena selama ini aku selalu membantah dan tidak membantunya saat ayahku mendirikan rumah keduanya yang katanya buat investasi dan buat disewakan.

"Firman!" panggil ibuku.

Aku menghampirinya.

"Mulai sekarang Ustadzah Indah ini anak ibu juga," ujar ibuku sambil merangkul gadis berjilbab yang kucintai itu.

Aku begitu heran mendengarnya. Entah bahasa apa yang diucapkan ibuku pada Ustadzah Indah sampai gadis itu menangis dan langsung akrab dengan ibuku. Aku begitu heran dan salut dengan sikap ibuku.

"Udah Maghrib, ayo kita Shalat," ajaknya.

Kami berjalan ke sebuah Musholla di rumah makan lesehan itu.

"Bu, kok Ustadzah Indah nangis sih?" tanyaku dengan berbisik saat Ustadzah Indah berwudhu.

"Ibu hebat kan? Serahin sama ibu, ini demi anak ibu yang ganteng dan soleh. Brondong Gemes mama," jawabnya sedikit becanda.

Aku tertawa, lalu kami berwudhu dan melaksanakan shalat berjamaah dengan aku menjadi imamnya.

"Ustadzah Indah, nanti pulangnya kami Anyer aja ke rumah," ujar ibuku setelah kami shalat.

"Enggak usah, Bu, ngerepotin," tolaknya.

"Enggak apa-apa. Jangan nolak yah." Ibuku memaksa.

"I-iya, maaf yah ngerepotin," ucapnya sambil menunduk.

Ibu dan ayahku berjalan berdua menuju tempat duduk hingga tinggal aku dan Ustadzah Indah di depan Musholla.

"Ustadzah," ucapku memberanikan diri.

"I-iya," balasnya sedikit gugup.

"A-aku sayang sayang sama kamu. Mau enggak jadi pendampingku?" ucapku, tapi hanya dalam hati.

"Maaf yah ganggu waktu Ustadzah," ucapku pelan.

"Enggak apa-apa, Mas, justru saya senang bisa ketemu sama Bu Fathia yang baik. Ayo kita kesana, enggak baik berduaan disini, apalagi udah malam kayak gini, takut jadi fitnah," balasnya sambil tersenyum padaku, lalu ia kembali menunduk.

"Apa Ustadzah Indah juga menyukaiku? Sikapnya gugup dan kayak salah tingkah. Dia juga selalu tersenyum. Ah, jangan dulu geer. Fokus Firman, tenang jangan berlebihan. Sabar hati," gumamku.

Kami mengantarkan gadis cantik itu ke rumahnya. Ibuku benar-benar bersikap baik, bahkan seperti pada anaknya sendiri. Sesampainya di sebuah alamat yang disana rumah tempat tinggal Ustadzah Indah, kami turun dari mobil dan ternyata rumahnya sepi.

"Ibu mampir dulu yah, tapi maaf rumahnya sepi," ucap Ustadzah Indah.

"Iya, makasih," balas ibuku.

Kami duduk di sofa dan rumah Ustadzah Indah lumayan besar dan rapih. Ia pun menjelaskan kalau penghuni rumah sedang berkunjung ke rumah kakeknya. Setelah beberapa saat mengobrol, kami pamit pulang. Aku benar-benar bahagia saat itu.

"Makasih yah, Ibu, Bapak, Mas Firman. Hati-hati di jalannya," ujar Ustadzah cantik itu saat kami pamit.

"Lancar kan rencana kita hari ini?" tanya ayahku pada ibu saat di perjalanan pulang.

"Alhamdulillah, bahkan lebih lancar dan lebih bagus dari yang direncanakan. Kita berdoa semoga dia benar-benar jodohnya anak kita," jawab ibuku.

"Man, jangan berharap sama manusia yah, tapi tetap kita harus berharap sama Allah. Kalau Ustadzah Indah jodoh kamu ya Alhamdulillah, tapi kalau kalian enggak jodoh, jangan kecewa, pasti itu yang terbaik menurut Allah," pesan wanita yang melahirkanku.

"Iya, siap," jawabku.

"Menurut ibu kayaknya dia itu kurang kasih sayang dari orangtua dan tadi dia keceplosan bilang katanya ibunya sudah meninggal saat dia SMP. Mungkin juga dia tinggal sama ibu tirinya," tebak ibuku.

Aku hanya diam dan berpikir sejenak.

"Ibu mau tanya lebih jelas, tapi khawatir membuatnya enggak nyaman. Dia juga bilang katanya sikap ibu mirip sama almarhumah ibunya. Ibu tadi berbicara dari hati ke hati dan berusaha masuk ke dunianya. Man, ibu berusaha membuatnya nyaman dan nyambung saat ngobrol. Pokoknya kalau kamu benar-benar serius suka sama dia dan ingin jadikan dia istri kamu, kamu harus berusaha keras dan perbaiki diri," sambungnya.

"Mama emang hebat yah, Firman salut banget. Masa sekali ketemu langsung akrab. Sakti banget mama cantik ini," pujiku.

"Alhamdulillah semenjak ibu aktif di masyarakat dan aktif di kader ibu-ibu, ibu banyak mendapat ilmu, terutama ilmu bersosialisasi gitu. Saran dari ibu, berjuang terus dapetin dia dan niatkan dalam rangka beribadah yaitu untuk menjadikannya pendamping hidup kamu yang sah, bukan untuk main-main. Menurut penilaian ibu, kayaknya dia juga suka sama kamu. Ibu bisa lihat dari cara dia lihat kamu. Ibu juga pernah muda dan masih muda sampai sekarang," tuturnya.

Kubuka ponselku dan kukirim pesan Wa pada Ustadzah Indah.

[Assalamualaikum, ini nomorku yah,] pesanku pada Ustadzah Indah lewat Wa.

[Wa Alaikum salam. Makasih yah, Mas Firman. Maaf kalau tadi sikap saya agak kurang sopan. Maaf kalau ada ucapan saya yang salah sama orangtuanya Mas Firman.] Kubaca balasan pesan darinya.

"Bu, gimana nih harusnya?" tanyaku pada ibuku.

"Maksudnya gimana?" Ibuku malah balik bertanya.

"Firman harus gimana ini biar berjodoh sama dia?" tanyaku.

"Secepatnya datang menghadap orangtuanya. Kamu udah bilang belum sama dia kalau kamu cinta?" jawabnya dan balik bertanya.

"Belum bilang, takut ditolak," jawabku.

"Lebih cepat lebih baik, sebaiknya kamu bilang sama dia kalau kamu suka dan ingin jadikan dia sebagai istri, lalu kamu datang sama orangtuanya," tegas ibuku.

"Kalau dia nolak, gimana?" Aku ragu-ragu dan tidak berani.

"Berdoa pada Allah. Minta petunjuknya dan ingat jangan banyak berharap, khawatir kecewa nantinya, tapi berdoa dan ikhtiar terus hasilnya serahkan pada Allah," terang ibuku.

"Minta doanya, Bu," rengekku.

"Bukan hanya doa, tapi ibu siap turun langsung asal kamu bahagia dan berubah jadi lebih baik," tandasnya.

"Ibu sama bapak emang hebat. Enggak sia-sia nih berusaha jadi anak berbakti," ujarku.

Aku diam sambil berpikir dan terus kuucapkan Istighfar, Tahmid, Tasbih dan Takbir dalam hati untuk menenangkan hati dan pikiranku.

"Cinta selalu punya kekuatan yang aneh. Cukup ada disanapun kamu bersinar, berbeda dengan orang di sekitarmu. Kau pancarkan aura yang berbeda. Dari kemarin makin suka, setiap bertemu, terkesima. Walaupun ingin berteman saja, sudah tak kuat aku ingin lega. Apakah kamu ada yang punya? Jikalau ada bagaimana? Kalau dipikir dada berdebar dan terasa sangat menyesakkan. Terlalu suka." aku menyanyi lagu JKT48 yang menceritakan seorang remaja sedang jatuh cinta.

[Boleh saya datang lagi ke rumah Ustadzah?] tanyaku lewat pesan Wa.

[Boleh aja. Emang mau ngapain, Mas?] balasnya.

[Boleh saya ketemu sama orangtua Ustadzah? Saya ingin mengkhitbah Ustadzah.] Aku memberanikan diri mengirim pesan dengan napas sesak dan gerogi, karena khawatir Ustadzah Indah marah dan menjauhiku.

Jantungku berdetak kencang dan napasku tak beraturan saat pesanku sudah dibaca olehnya. Ia sedang mengetik balasan dan aku menunggunya dengan hati tegang, cemas dan khawatir. Kutarik napas untuk menenangkan diri.

"Ya Allah, ampuni aku, semoga dia enggak marah," gumamku.

Akhirnya Ustadzah Indah pun membalasnya dan langsung kubaca balasan pesan darinya.

Bersambung.

Kira-kira apa balasnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel