Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 5 Kembali Bertemu

Ustadzah Cantik

Part 5

Setelah cukup lama ngobrol dengan Ustadzah Indah dan adik sepupunya yang masih ABG itu, aku pamit pulang dari bengkel itu. Pekerja bengkel sibuk memperbaiki motor sepupunya Ustadzah Indah yang bernama Amel itu.

"Pulang dulu ya," pamitku.

"Makasih yah, Kakak Ganteng," ucap Amel.

Aku tersenyum dan kulihat Ustadzah Indah meringis sambil menunduk saat aku pamit pulang.

"Pulang dulu yah," ucapku lagi.

"Ma-makasih yah, Mas Alfa," balas Ustadzah cantik itu dengan suara pelan dan sedikit gugup.

"Selamat tinggal," ceplos Amel.

"Jangan pernah katakan selamat tinggal, karena itu akan mengucurkan sebuah harapan." Tiba-tiba aku mencontek kata-kata dialog dalam film India yang dibintangi Shahrukh Khan dan Rani Mukherjee.

Ustadzah Indah terkejut dan tiba-tiba menatapku dengan tatapan sayu.

"Semoga kita ketemu lagi," ceplosku.

"Jawab sih, Kak," perintah Amel pada Kakak sepupunya.

Aku memainkan alis dan mataku pada Amel, lalu melirik Ustadzah Indah. Amel tersenyum dan membalas aksiku dengan kedipan mata sambil mengarahkan pandangannya pada Ustadzah Indah. Ia pun mengacungkan kepalan tangannya.

"Kayaknya Si Amel paham nih maksudku, kalau aku menyukai kakak sepupunya," gumamku.

"Eh, nama Kakak, siapa?" tanya Amel.

"Firman," jawabku pelan.

"Oh, ternyata! Kakak ini tah, hihihihi, cie, cie," ujar Amel seolah menggoda kakak sepupunya yang terus diam sambil menunduk.

"Apaan sih, Mel," tegur Ustadzah Indah.

"Maaf, Kak Indah, maaf. Jatuh cinta, hihihihi ...," pungkas Amel sambil menahan tawa dan seperti terus menggoda Ustadzah Indah.

"Mel, iiih," tegurnya.

Aku sedikit tertawa dan kulihat wajah Ustadzah cantik itu memerah dan ia pun sepertinya gerogi setelah mendengar celotehan konyol adik sepupunya yang ceria dan lucu itu.

"Jangan pernah katakan selamat tinggal, karena itu akan menghancurkan sebuah harapan. Iya, harapan seseorang untuk bertemu lagi," celoteh gadis ABG sepupunya Ustadzah Indah.

Aku tahu kalimat itu, karena itu kalimat yang terdapat dalam film India yang kusukai dan aku sering menontonnya dengan ibuku, meski jalan cerita film itu tidak kusukai, karena mengisahkan tentang perselingkuhan dua pasangan yang masing-masing sudah berkeluarga.

"Assalamualaikum," ucapku setelah tertawa mendengar celotehan gadis ABG bernama Amel.

"Wa Alaikum salam," jawab mereka bersamaan.

Kupacu sepeda motor menuju Pasar Kaget sore itu untuk melihat-lihat sekaligus membeli perlengkapan hidup.

"Dirimu melody, melody, yang kurindukan harmoni, harmoni. Kumenahan rasa sakit, karena ku tak mampu mengatakan suka. Milikku melody, melody, hanya refrain yang bisa kuingat. Masa mudaku yang pilu, hari-hari yang berkilau kan kembali lagi." Aku menyanyi lagu 'Kimi Wa Melody'

Aku begitu bahagia dan rasanya hatiku berbunga-bunga. Aku merasa berada di taman bunga nan indah bermekaran. Seolah banyak kupu-kupu menari-nari diatas kepalaku. Ingin rasanya aku berjoget ria melepaskan kebahagiaan dan keindahan di hati yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Setiap menyebut dan mendengar namanya, hatiku bergetar secara spontan dan bayangan wajahnya terlintas jelas dalam ingatan dan memoriku.

[Lagi apa nih?] Kubaca pesan Wa dari Nufus saat aku di pasar kaget.

[Lagi nyari jodoh,] balasku sedikit becanda.

[Ngapain nyari, aku juga siap kok.] Pesannya lagi.

Aku tertawa sendiri membacanya, lalu beberapa saat kemudian ia menghapus pesan Wa yang terakhir dan mengirim emoticon mata berkaca-kaca. Kubalas dengan emoticon tertawa. Setelah berjalan-jalan sendiri, akupun pulang. Bayangan wajah dan senyum Ustadzah Indah kembali terbayang saat aku mengendarai motor menuju rumah.

[Mong, Si Nufus tuh curhatin loe terus sampe kuping gue sakit dengernya.] Joni mengirim pesan.

Kubalas dengan candaan dan tidak serius.

[Si Nufus aja sikat langsung kawinin sama loe.] Pesan dari Joni lagi.

[Gue lagi berjuang dapetin Ustadzah, Cuy, semoga aja sampe pelaminan,] balasku.

Joni mengirim emoticon mata melotot. Aku hanya tersenyum dan tidak membalasnya. Setelah Maghrib, ibuku mengajak ngobrol.

"Kamu udah pantas berumah tangga, apa kamu udah punya calon?" Interogasi ibuku.

Aku hanya diam.

"Bidan Putri, kayaknya benar-benar suka sama kamu, ibu bisa lihat dari tatapan matanya," ujar ibuku, "kamu mau enggak sama dia?"

"Mau aja sih, tapi saat ini lagi berjuang dapetin Ustadzah," jawabku.

Wanita pahlawanku itu kaget seolah tidak percaya.

"Ustadzah, siapa?" tanyanya semakin kepo.

"Ustadzah yang ngajar di sekolah dan pesantren deket tempat kerja," jawabku.

"Si Anin juga kan sekolah disitu, anaknya Ningsing," pungkasnya.

"Iya itu gurunya Si Anin," jelasku.

"Kapan ibu bisa ketemu sama dia?" tanyanya tiba-tiba.

"Dapetin dia aja belum, masa langsung ketemu? Masih proses, Bu," jawabku.

"Pokoknya ibu harus lihat!" tandasnya.

Aku menarik napas dan diam.

"Besok gimana caranya ibu harus ketemu sama dia, harus ngobrol. Kita samperin dia besok," desak ibuku dengan serius.

"Buru-buru amat sih! Nanti aja kalau udah berhasil perjuangannya," sergahku.

"Enggak bisa gitu! Pokoknya besok pagi atau siang atau sore, ibu harus ketemu." Wanita pahlawanku itu terus memaksa.

Ayahku tiba-tiba datang menemui kami.

"Besok anterin mama nemuin seseorang, Pak," sahut ibuku.

"Nemuin siapa, Bu?" tanya ayahku dengan lembut.

"Pokoknya besok ibu ingin lihat gadis yang sedang disukai sama anak kita, katanya seorang Ustadzah gurunya Si Anin," jawab ibuku.

Ayahku menatapku dengan tatapan ragu dan sepertinya ia tidak yakin.

"Cukur tuh rambut sama kumis, besoknya juga cukur. Pake baju yang rapih dan jangan bersikap aneh-aneh kalau sedang deketin Ustadzah," saran ayahku sambil menjambak rambutku dengan kasar, mungkin ngakak becanda.

"Aduh! Aduh! Udah keren ini rambut mirip Si Jimin!" protesku sambil menyingkirkan tangan ayahku.

"Jimin mana? Jimin tukang ngecor jalan itu tah?!" timpal ayahku.

"Itu mah bukan Jimin, tapi Si Sadimin! Tukang ngecor jalan sama Si Robil," balasku.

"Itu loh, Si Jimin temannya Si Jongkok, personil Boyband Korea. Lebih ganteng anak kita sih daripada Si Jimin, Jimin, enggak jelas tuh," seloroh ibuku sambil mengelus kepalaku.

Aku bergidik ngeri saat ibuku menempelkan pipinya di pipiku.

"Rasanya lembut banget pipi ibu itu mirip kue bakpao dari China," pujiku sedikit pura-pura.

"Makasih. tuh, katanya pipi ibu lembut, tapi bapak sekarang jarang mesra sama ibu," ujar ibuku sambil melirik ayahku.

"Ibu itu cantik kayak gadis ABG, bahkan lebih cantik dari Ustadzah Indah. Pokoknya beruntung banget punya ibu yang cantik dan solehah," rayuku sambil mencium kedua tangannya.

Ibuku tertawa dan sepertinya ia semakin senang. Kedua pipinya memerah seperti ABG labil yang sedang kasmaran.

"Firman, nanti malam kita Tahajud bareng dan kita sama-sama berdoa supaya selalu berada dalam Ridho Allah. Alhamdulillah, ibu bahagia sekarang kamu jadi anak berbakti dan rajin ibadah. Enggak sia-sia ibu selalu menangis ngedoain kamu," ujarnya sambil tersenyum bahagia.

Tak terasa air mataku menetes. Aku pamit ke kamar dan meminta doa dari kedua orangtuaku itu. Saat kutertidur, tiba-tiba aku dikagetkan oleh seseorang mengelus wajahku. Saat aku terbangun, ternyata ibuku sudah duduk di tempat tidurku sambil tersenyum dan mengelus wajahku.

"Mama," ucapku dengan panggilan manjaku pada wanita bernama Fathia yang telah melahirkanku.

"Ayo Tahajud," ajaknya dengan lembut.

"Iya," jawabku.

Kulihat jarum jam ternyata waktu sepertiga malam. Aku berwudhu lalu menjadi imam shalat bersama ibu dan ayahku. Aku berdoa setelah shalat, bukan berdoa semoga semoga berjodoh dengan Ustadzah Indah, tapi berdoa memohon ampun dan berdoa semoga diberikan pendamping hidup yang solehah. Aku pun memohon ampun, karena tidak kuat menahan perasaan cintaku pada Ustadzah Indah yang begitu dalam.

Kulanjutkan tidur setelah membaca doa. Aku kembali bermimpi ketemu Ustadzah Indah. Di dalam mimpiku ia terlihat sedang berdoa sendiri sambil menangis, lalu aku memberanikan diri menghampirinya setelah ia selesai berdoa.

"Kamu enggak sopan masuk kesini. Kamu juga udah lihat fotoku yang enggak pakai jilbab, sekarang kamu harus tanggung jawab nikahin aku sekarang juga," ujar Ustadzah Indah.

Aku hanya berdiri mematung dengan perasaan bingung dan serba salah. Tiba-tiba kulihat ia berlari sambil menangis, kuberanikan diri mengajarnya sampai ia berhenti duduk di bangku bawah pohon rambutan.

"Aku sayang sama kamu, Firman, tapi enggak berani ngungkapin, aku kan cewek, harusnya kamu yang duluan ngungkapin. Aku sering nyebut nama kamu setiap berdoa semoga kita berjodoh," ujarnya sambil menangis.

Aku terbangun dari tidur saat mendengar alarm kencang di ponselku dan mimpi itu berakhir.

"Astaghfirullah, kenapa mimpiin dia lagi?" gumamku setelah bangun tidur.

Saat pagi aku bersikap berangkat kerja dan tiba-tiba ibuku menghampiri dan bersikap genit melebihi ABG yang sedang mabuk asmara.

"Firman, nanti sore sepulang kamu kerja kita tengokin Si Karin sekalian ibu mau ketemu Ustadzah yang kamu sukai itu. Ibu penasaran sama cewek yang disukai brondong gemes ibu," ujar ibuku sambil mentoel dagu dan pipiku.

"Iiih bahagia banget ditowel wanita cantik, pagi-pagi," ucapku sedikit becanda.

Wanita pahlawanku itu semakin genit, malah menempelkan pipinya di pipiku.

"Mama genit amat," ceplosku.

"Genit sama anak sendiri, enggak apa-apa toh, apalagi ganteng kayak kamu, uuuh! Dede Gemes mama, pokoknya," kelakarnya sambil mencubit pipiku.

Aku pamit berangkat kerja dengan mencium tangannya.

Sesampainya di tempat kerja pagi itu, aku dipusingkan dengan intruksi pekerjaan dan target yang lumayan banyak. Namun, candaan dan kekonyolan rekan kerjaku bernama Maemunah membuatku terus tertawa. Ia pun pandai menawarkan produk promosi mingguan. Sikapnya yang ceria dan lucu kadang membuat pembeli tertawa dan banyak juga yang modus menggodanya.

"Pak, Pak, lihat ke depan," serunya.

"Subhanallah," ucapku spontan saat melihat ke pintu masuk.

Ternyata Ustadzah Indah datang sendirian berjalan hendak masuk ke Minimarket tempat kerjaku.

"Selamat pagi, selamat datang di Alf*ma*t." Aku melakukan tatap, senyum dan sapa pada Ustadzah Indah saat ia masuk.

Ia melihatku, lalu melemparkan senyuman indahnya. Dimulailah ide modusku.

"Keranjangnya, Embak," ucapku sambil menyerahkan keranjang belanjaan.

"Iya, makasih yah, Mas Alfa," balasnya sambil sedikit tersenyum.

"Lanjutkan, perjuangan dimulai," batinku.

Aku berusaha melayaninya dengan baik dan sedikit berbasa-basi menawarkan produk promosi dengan bicara hati-hati supaya tidak terlihat lebay.

"Mana Si Daus?! Mana Si Daus?!" tanya ibu-ibu langganan belanja yang sudah akrab denganku.

"Daus!" panggilnya dengan suara cempreng.

"Eh, iya Ibu," jawabku sambil menemuinya.

"Ibu? Sejak kapan panggil saya, ibu?" protesnya.

Aku sedikit tertawa.

"Mana hadiah piring cantik sama gelas cantik? Kemarin tante udah ngeborong sampe bawa asisten pribadi," ucapnya.

"Siap, siap," jawabku.

"Ini gangguin orang lagi berjuang dapetin jodoh aja," gerutuku.

Setelah menyelesaikan urusan dengan pembeli yang sering datang itu, kembali kutemui Ustadzah Indah yang tengah belanja.

"Mas, ini bayar pake shope* p*y yah," ucap Ustadzah Indah tiba-tiba saat aku menemuinya.

"I-iya, bi-bisa." Aku gugup dan salah tingkah, bahkan salah baper dan mungkin salah fokus.

Ia tidak risih dan tidak merasa terganggu saat aku sedikit berbasa-basi mengajaknya ngobrol. Rekan kerjaku memangil dan aku hendak menemui.

"Mas," ucap Ustadzah Indah saat aku berjalan hendak menemui rekan kerjaku.

"I-iya," balasku semakin gugup dan melirik ke arahku dengan menghentikan langkahku.

"Ini uang siapa yah?" Ustadzah Indah mengambil selembar uang yang tergeletak di lantai.

"Kayaknya ada pembeli yang uangnya jatuh," terangku.

"Simpan aja, Mas, takutnya orangnya balik lagi nyariin," sarannya.

Aku mengangguk pelan dan mengambil dari tangannya saat ia menyerahkan selembar uang kertas pecahan lima puluh ribuan. Tanganku menyentuh tangannya tidak sengaja dan membuatku semakin gerogi. Aku mencuri pandang saat kembali berjalan dan kulihat Ustadzah cantik itu senyum sendiri sambil menunduk. Ia tertangkap basah sedang tersenyum sendiri, bahkan ia pun tertangkap basah sedang melirikku. Aku menjadi pede gila dan hatiku berjoget ria.

"Kamu berharga lebih dari siapapun, meski kau tolak tak akan kusesali. Kamu berharga lebih dari siapapun, tadinya kuingin ungkapkan rasa ini. Aitakatta, Aitakatta, Aitakata, yes, denganmu. Aitakata, Aitakatta, Aitakata, kimi ni." Hatiku tak sadar menyanyi lagu JKT48.

"Apa sih Mun, gangguin orang lagi berjuang aja?" tanyaku sedikit kesal pada Maemunah.

"Maaf, maaf, uang kembalian habis, minta lagi receh, hihihihi," jawabnya sedikit tertawa.

Setelah menyelesaikan urusan dengan Maemunah yang minta dipanggil Marimar itu, aku hendak kembali mengobrol dengan Ustadzah Indah, tapi kuurungkan, karena khawatir mengganggunya.

"Makasih yah, Mas," ucap Ustadzah Indah saat ia hendak pulang setelah menyelesaikan pembayaran.

Kembali kulihat senyuman yang menggemaskan dengan lesung pipi indah.

"Iya, hati-hati. Alhamdulillah, semoga ketemu lagi," balasku.

"Eh, katanya mau ngasih info seputar promo lewat Wa," ujarnya sambil tersenyum.

"Iya, iya, nanti dikabari," jawabku salah tingkah.

Ia pamit pergi dengan mengangguk pelan. Saat berjalan menuju parkiran motornya, tiba-tiba ia menoleh ke belakang melihatku sampai tatapan mata kami bertemu. Kuberanikan diri tersenyum dan melambaikan tangan. Ia pun membalas senyumanku dengan senyuman indah yang membuatku tak nyenyak tidur. Itu pertemuanku yang ketujuh.

"Kayaknya dia suka sama Bapak. Semoga berjodoh, Bosku," ujar Maemunah.

"Aamiin," balasku.

"Lucu juga Pak Firman penggemar Jeketi Forty-eight bisa jatuh cinta sama Ustadzah, hihihihi," kelakarnya sambil tertawa.

"I want you. I need you. I love you. Bertemu denganmu. Semakin dekat jarak diantara kita, maximum high tension." Aku menyanyi lagu idol grup kesukaanku saat masa remaja.

Rekan kerjaku sebagai kasir minimarket itu tertawa ngakak.

"Tuh kan penyakit alay gue kumat lagi," ucapku sambil berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu menenangkan diri.

Saat sore sepulang kerja, kulihat mobil ayahku parkir di depan tempat kerjaku. Aku menghampirinya saat hendak pulang ke rumah. Ayah dan ibuku keluar dari mobil dengan penampilan rapih seperti habis kondangan.

"Habis darimana ini, rapih amat?" tanyaku.

"Kan mau nemuin calon mantu, mama," jawab ibuku asal nyeplos.

Aku bengong dan heran dan ayahku tertawa.

"Kamu udah shalat ashar belum?" tanya ibuku.

"Udah, tadi di gudang, soalnya enggak sempat ke Masjid," jawabku.

"Sekarang kita temui, mana yang namanya Indah, Indah itu," ajak ayahku sambil menarik tanganku supaya masuk ke mobil.

"Temuin dimana?" tanyaku bingung.

"Pokoknya ikut aja," tandas ibuku.

Aku menurutinya dengan perasaan bingung. Mobil melaju ke pondok pesantren dan sekolahan tempat Ustadzah Indah mengajar. Aku semakin bingung dan tegang.

"Udah mama atur, jangan khawatir," ucap wanita pahlawanku.

"Kami mau nengokin Si Anin," tambah ayahku.

Sesampainya di jalan dekat gerbang pondok pesantren itu, kulihat Ustadzah Indah tengah berjalan berlawanan dengan mobil yang dikendarai ayahku. Ustadzah cantik itu berjalan sambil membawa buku dan tas kecilnya.

"Itu orangnya," ucapku tiba-tiba.

"Mana? Mana?" Ibuku penasaran dan ia melihat ke kaca mobil dengan menempelkan wajahnya sambil bertingkah khas emak-emak rempong dan kepo badai.

"Cantik, cantik, Bu," puji ayahku.

Tiba-tiba mobil berhenti mendadak dan wajah ibuku terbentur di kaca mobil.

"Aduh! Aduh! Bapak! Pelan-pelan sih, sakit nih pipi ibu!" sewot ibuku sambil memegang pipinya.

Aku tertawa ngakak, begitupun ayahku. Ustadzah Indah terus berjalan di samping mobil yang ditumpangi. Secara tiba-tiba dan mengejutkan, ibuku turun dari mobil.

"Assalamualaikum, Ustadzah!" sahut ibuku saat turun dari mobil.

Ustadzah indah menoleh ke arah ibuku, lalu kulihat ibuku berjalan semakin mendekat. Mereka bertemu dan bersalaman. Aku heran bercampur bingung melihatnya. Kedua wanita itu terlihat saling berbasa-basi dan sesekali ibuku tersenyum, begitupun gadis solehah pujaan hatiku itu.

"Ibu kamu itu jago melobi dan jago berdiplomasi, dia juga mudah akrab sama orang. Kita lihatin aja disini, nanti kita lihat kehebatan ibu kamu. Kita lihat aja kedua Ustadzah itu berbicara, mungkin lagi adu wawasan agama," terang ayahku.

Entah memakai bahasa dan rayuan apa, tiba-tiba ibuku berjalan berdua dengan Ustadzah Indah menuju mobil yang tak jauh dari mereka.

"Tuh, ibu kamu berhasil merayunya," ucap ayahku.

Aku tersenyum dan begitu bahagia. Aku turun dari mobil dan Ustadzah Indah kaget melihatku.

"Mas Alfa," ucapnya sambil melihatku dengan tatapan kaget lalu menunduk.

"Ini anak ibu, kakak sepupunya Si Anin," ungkap ibuku.

"Ustadzah enggak sibuk kan sekarang?" tanya ibuku.

"Enggak, Bu," jawabnya pelan.

"Ya udah, berarti sekarang ayok temani ibu jenguk Si Anin." Ibuku sedikit memaksa.

Ayahku memarkirkan mobil, lalu kami berjalan masuk ke lingkungan Pesantren. Ibuku terus berbasa-basi kepada Ustadzah Indah. Ternyata aku baru menyadari, kalau ibuku jago melobi dan berkomunikasi. Sesekali kulirik wajah Ustadzah Indah dan ia pun sesekali melirikku. Kami menjenguk saudara sepupuku setelah mendapat izin. Anin terlihat senang. Ibuku membawakan makanan kesukaannya.

"Anin rajin belajar disini dan semoga menjadi solehah seperti Ustadzah Indah," pesan ibuku pada Anin.

Setelah menjenguk saudara sepupuku, kami pamit pulang, tapi lagi-lagi ibuku melakukan aksi lobi dan berkomunikasi dengan Ustadzah Indah.

"Ustadzah, kami ini rencananya mau makan bersama, ibu mohon Ustadzah ikut, karena ibu masih ingin ngobrol banyak sama Ustadzah," ujar ibuku.

Wanita pujaan hatiku itu tadinya menolak ikut dengan bahasa sopan dan lembut, tapi ibuku terus merayu sedikit memaksa sampai Ustadzah Indah mau ikut bersama. Sore itu kami menuju warung makan lesehan dekat Pantai. Aku begitu gerogi dan salah tingkah. Ibuku terus mengajak Ustadzah Indah ngobrol dengan santai dan ramah. Obrolannya pun bermacam-macam, mulai dari membahas Anin sampai membahas seputar kehidupan sehari-hari. Mereka langsung terlihat akrab.

"Ya Allah, semoga ini pertanda baik. Semoga Ustadzah Indah menjadi menantunya Ustadzah Fathia, ibuku yang tercinta," gumamku penuh harap.

"Makanan kesukaan Firman, ibu udah tahu nih," ujar ibuku setelah kami sampai di warung lesehan yang tempatnya indah, karena terlihat pemandangan pantai yang memanjakan mata.

"Apa kesukaaan Firman?" pancingku.

"Kesukaan kamu itu, ikan bakar, tumis kangkung saos tiram, sambel sama sayur asem," tebak ibuku.

"Ada yang kurang," ceplosku.

"Iya, iya, kamu juga suka ikan asin sama tempe goreng." Ibuku menebak.

Aku hanya tertawa. Ibuku berceloteh sedikit konyol sampai membuatku terus tertawa, begitupun Ustadzah Indah, ia beberapa kali tertawa mendengar celotehan wanita pahlawanku. Aku semakin jatuh cinta dan perasaan itu semakin dalam.

"Ustadzah Indah, mau pesen apa?" tanya ibuku.

"Terserah ibu aja, maaf yah ngerepotin," jawabnya.

"Enggak ngerepotin, justru ibu terima kasih, Ustadzah mau makan bareng sama kami. Ya udah berarti disamain aja yah sama makanan kesukaan anak ibu," terangnya.

Ustadzah cantik dan lembut itu tersenyum menatapku. Ia pun ternyata memiliki kepribadian yang sopan dan indah dalam bertutur kata.

"Gimana ini, ibuku udah turun langsung? Ya Allah, bolehkah aku berharap padamu supaya ia menjadi istriku? Ampuni aku ya Allah," gumamku.

Aku mengingat-ingat ternyata itu pertemuanku yang kedelapan dengan Gadis lembut solehah bernama Indah Fuji Latifah.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel