

Part 4 Bidan Nufus
Ustadzah Cantik
Part 4
Setelah bertemu dengan Ustadzah Indah di rumah bibinya itu, aku begitu bahagia dan hatiku tenang.
"Tenang aja, jodoh pasti bertemu kata Afgan juga, hihihihi," gumamku sambil berjalan bersama Joni dan Nufus.
"Fus, habis ini kegiatannya apa lagi?" tanyaku pada gadis manis calon bidan yang berjalan di sampingku.
"Paling acara ngobrol santai atau diskusi seputar kegiatan Karang Taruna," jawabnya.
"Bukan ngebahas politik atau seputar pemilihan Pilbub, kan?" tanyaku lagi.
"Bukan lah," jawabnya singkat.
"Kita izin pulang duluan aja sih," ucap Joni.
"Emang mau kemana, Pak Ketua?" tanyaku.
"Kan habis Dzuhur, kita mau pasang jaring di lapangan futsal desa," jawabnya.
"Ajak aja nih Bu Nufus biar jadi penyemangat," candaku.
"Enggak lah! Nanti banyak yang modus, lagi," balas Nufus.
Aku sedikit tertawa dan kami sampai di Kantor Kecamatan tempat anak-anak Karang Taruna kumpul. Aku duduk di kursi sambil terus membayangkan wajah manis Ustadzah Indah. Senyumnya yang manis, lesung pipinya yang menggemaskan dan tatapan matanya yang menyejukkan hati membuatku semakin tenggelam oleh perasaan di hati.
"Mau kemana?" tanya Nufus saat aku berjalan di depannya setelah duduk.
"Mau ke Musholla," jawabku.
"Ikut." Tiba-tiba ia mengikutiku dari belakang.
Aku masuk Musholla dan mengambil wudhu, lalu Shalat Dhuha. Gadis bernama Hayatunnufus pun ikut melaksanakan Shalat Dhuha. Ternyata di Musholla itu sudah ada beberapa pemuda Karang Taruna yang melaksanakan Shalat Dhuha.
"Kakak lagi apa?" tanya Nufus saat aku duduk di depan Musholla setelah melaksanakan Shalat.
"Nungguin kamu," jawabku.
Ia melihatku heran dan membulatkan matanya.
"Iya, kamu," tegasku.
"Ma-makasih, Kak," balasnya sedikit gugup.
Kami kembali menemui Pemuda lainnya yang tengah berkumpul. Setelah semuanya selesai, aku dan Joni pulang. Sesampainya di rumah, aku kembali teringat sosok Ustadzah Indah. Kucoba menepiskan perasaan, tapi semakin aku mencoba, perasaanku semakin dalam.
"Astaghfirullah, gimana aku mau tobat dan mau lebih mendekatkan diri pada Allah, sedangkan hatiku berlebihan menyukai wanita," gerutuku.
Malamnya saat aku tertidur, kembali aku bermimpi bertemu dengannya. Aku bermimpi Ustadzah cantik itu sedang menangis sendirian. Namun, saat aku menghampirinya, ia berlari seperti menghindar. Aku bingung dengan mimpiku itu. Shalat malam pun kulakukan dan kucurahkan semua isi hatiku pada Sang Pencipta. Setiap aku shalat, aku selalu menghayal seandainya Ustadzah Indah menjadi Makmumnya bahkan saat aku membaca Alqur'an, bayangan senyum dan raut wajahnya seolah menari-nari diatas ayat-ayat Al-Qur'an yang kubaca.
"Beginilah cinta deritanya tiada pernah berakhir." Aku teringat ucapan dalam Film Kera Sakti Sun Go Kong.
Aku begitu tersiksa oleh perasaanku sendiri, tapi begitu indah kurasakan. Cinta mungkin menina bobokan dan cinta juga menyiksa, meski terasa indah. Bisa dikatakan cinta itu siksaan yang indah.
"Bu, Firman bantuin yah," ucapku saat melihat ibuku mencuci baju lumayan banyak saat pagi.
"Bu, anak ibu ini udah pantas berkeluarga belum, Bu?" tanyaku sambil membantunya.
"Umur kamu kan udah dua lima, Man, menurut ibu udah pantas lah," jawabnya.
"Kamu udah punya calon tah?" tanya wanita pahlawanku.
"Udah sih," jawabku sedikit becanda.
"Siapa? Siapa? Kenalin sama ibu." Ibuku mulai kepo.
"Namanya Ayana, Bu," ceplosku.
"Ayana, siapa?" tanyanya semakin penasaran.
"Anaknya cantik, putih dan bikin gemes. Dia juga berhijab dan taat ibadah," celotehku.
"Orang mana dia? Dia masih kuliah apa kerja?" tanya ibuku begitu penasaran.
"Jauh rumahnya. Dia seorang selegram dan artis dari Korea," kelakarku.
"Ayana Moon, maksudnya?!" tebaknya, "kamu ini ada-ada aja, kirain serius udah punya calon. Ngehalu banget sih sampe ke Ayana Moon segala."
Aku tertawa begitupun ibuku.
"Ibu pasti saat masa remajanya cantik, sekarang aja masih cantik mirip Ayana Moon," kelakarku.
"Iya lah cantik, buktinya bapak kamu sampe tergila-gila. Dia datang ke rumah ibu ngajak nikah, terus katanya sebelum datang, dia minta doa dulu sama ibunya sambil nangis-nangis," ujar ibuku.
"Terus ibu sampe jatuh cinta?" tanyaku.
"Tadinya ibu enggak ada perasaan, karena waktu itu ibu mau nikah sama calon suami ibu, tapi enggak tahu kenapa tiba-tiba jadi suka sama bapak kamu, katanya sih bapak kamu minta doa sama nenek, terus nyuci kaki nenek sambil minta didoain," terangnya.
"Berarti doa seorang ibu itu mujarab yah?" Aku menatap wajahnya dengan serius.
"Iya mujarab, makanya kamu jangan durhaka sama ibu," tandasnya.
"Kalau benar doa seorang ibu itu mujarab, berarti aku harus minta doanya," gumamku.
Tiba-tiba aku meraih kakinya dan sedikit kupijit.
"Kamu mau apa?" tanyanya kebingungan.
"Mama cantik pasti capek ngerjain pekerjaan rumah, Firman pijitin yah," rayuku sambil memijit kakinya.
"Gitu dong, coba kalau dari dulu kamu kayak gini, ibu bahagia," balasnya sambil mengedipkan mata genit.
"Si Mama udah seneng nih, tinggal nanti kuminta doanya," bisikku dalam hati.
"Mama itu cantik dan solehah, pokoknya cinta pertama Firman itu mama sendiri. Mama itu cocok dipanggil Sugar Mommy," rayuku.
Aku memanggilnya ibu, tapi kadang aku memanggilnya mama kalau sedang merayunya. Wanita yang menyayangiku dengan tulus itu tertawa sambil mencubit pipiku.
"Kamu kenapa?" tanyanya saat aku tiba-tiba meneteskan air mata.
"Maafin Firman yah selama ini enggak pernah berbakti. Katanya seorang anak itu wajib berbakti pada orangtuanya, terutama pada ibu, apalagi kalau ibunya solehah," jawabku sambil menunduk.
"Iya, iya, tanpa minta maaf pun ibu udah maafin kamu, Man. Ibu selalu doain kamu disetiap sujud, bahkan setiap detik ibu selalu berdoa semoga kamu jadi anak Soleh selama dunia akhirat." Ibuku berbicara sambil meneteskan air mata.
Kuberanikan diri menghapus air matanya dan meletakkan di kepalaku.
"Mulai sekarang Firman akan membuat mama selalu menangis, tapi menangis karena bangga." Tanpa sadar kalimat itu terucap.
Ibuku terus meneteskan air mata sampai kedua matanya memerah, kemudian memelukku sambil mengelus kepalaku dengan lembut.
"Ada apa ini?!" tanya ayahku yang tiba-tiba datang.
"Bikin masalah apa lagi dia?!" tanyanya dengan suara tinggi.
"Enggak apa-apa, ibu cuma terharu sama sikap anak kita," jawab ibuku.
"Ibu selalu membelanya. Bapak yakin pasti dia ada maunya," tukas ayahku sambil menatapku dengan tatapan tajam.
"Iya, ada maunya," balasku sambil mengangguk.
Ayahku menarik napas dan tangannya bergetar.
"Saat ini Firman cuma ada satu keinginan, enggak lebih, Firman cuma mau ibu sama bapak doain supaya Firman menjadi lebih baik dan menjadi orang yang bermanfaat," sambungku.
"Alhamdulillah," ucapku ibuku sambil kembali mengelus kepalaku dengan lembut.
"Pak, anak kita sekarang udah berubah, emang bapak enggak sadar, kalau selama ini Firman rajin ibadah dan dia juga jadi Pemuda kebanggaan kampung dan desa kita," ujar ibuku.
"Bapak masih belum percaya sama dia," balas ayahku lalu pergi entah kemana.
Aku berkali-kali mengucapkan istighfar. Ibuku terus menenangkanku. Hari itu aku hanya berdiam diri di rumah dengan melamun dan sesekali mendengar ceramah di YouTube. Aku terus berusaha memperbaiki diri dan belajar ilmu agama, bahkan aku menyempurnakan bacaan shalatku lewat internet. Aku pun sering berkonsultasi dan ngobrol dengan para Ustadz yang kukenal.
"Astaghfirullah, ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku di masa lalu. Terimalah tobatku dan jauhkan aku dari godaan kaum hawa," bisikku dalam hati.
Saat di sepertiga malam seperti biasa aku terbangun dan hendak Tahajud. Aku ingin memohon ampun pada Allah. Namun tiba-tiba ayahku menemuiku saat aku hendak memulainya.
"Man, bapak juga mau Tahajud," ujar ayahku.
"Alhamdulillah, bapak jadi imamnya," balasku.
"Kamu aja," tawarnya.
Aku pun menyetujui dan kami Tahajud berjamaah. Kusalami dan kurangkul ayahku sambil meminta maaf setelah kami selesai Tahajud.
"Maafin bapak juga, bapak tadi ketemu sama Ustadz Ilham dan bapak juga ketemu sama Pak Lurah, mereka cerita tentang kamu. Alhamdulillah, ternyata kamu sudah berubah, bapak bangga sama kamu. Maaf selama ini bapak selalu sinis dan berkata kasar, tapi ternyata kamu sekarang sedang berjuang membangun masyarakat kita. Bapak enggak percaya kalau kamu juga sering bertausyiah di kegiatan-kegiatan Pemuda atau Karang Taruna, tapi tadi bapak lihat videonya sampe bapak terharu," ujar ayahku.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
"Kalau kamu butuh apa-apa untuk kegiatan, kamu bilang aja, Insha Allah, bapak bisa bantu," sambungnya.
Aku merasa tenang, karena ayahku sudah memaafkan kesalahanku dan ia percaya kalau aku benar-benar sudah berubah.
"Bapak mau tidur dulu, besok kita main badminton, udah lama nih enggak main raket sama kamu," ucapnya, lalu berjalan pergi.
Saat pagi, kami main badminton bersama di halaman rumah yang lumayan luas. Aku cukup berkeringat dan senang pagi itu. Ibuku melihat kami dengan heran.
"Tumben banget bapak sama anak akrab," sindir ibuku.
"Kata siapa akrab? Ini mah enggak ada orang aja yang bisa diajak maen raket," sanggah ayahku.
Ibuku sedikit tertawa dan kami beristirahat.
"Gimana pekerjaan kamu?" tanya ayahku.
"Alhamdulillah lancar, tapi tuntutan semakin berat," jawabku.
"Sabar aja namanya juga kuli sama orang," pesannya.
Aku hanya mengangguk, lalu pamit hendak mandi.
"Man, kamu dandan yang ganteng, katanya Bidan Putri mau kesini, terus nanti ibu kenalin sama kamu, mudah-mudahan aja jodoh," ujar wanita yang melahirkanku.
"Lebih cantik mama lah daripada dia mah. Firman tuh sukanya yang solehah, berjilbab, cantik, manis dan kecil menggemaskan kayak mama ini," kelakarku.
"Yah, pagi-pagi digombalin sama anak sendiri. Kamu sekarang tambah ganteng semenjak rajin Tahajud," balas ibuku sambil mencubit kedua pipiku.
"Kamu ini kalau bukan anak mama, pasti udah mama jadiin cem-ceman," sambungnya dengan nada bercanda.
"Mulai deh penyakit genit emak gue kumat. Iiih ngeri kalau udah kayak gini, nanti pasti dia nyiumin anaknya yang cakep mirip artis Korea ini," gumamku sambil berjalan ke kamar dengan sedikit ketakutan melihat sikap ibuku.
Tiba-tiba ibuku ikut masuk ke kamarku. Aku sedikit ngeri melihat wajahnya yang senyum aneh.
"Pokoknya kamu pake baju yang rapih dan wangi, biar Bidan cantik itu terpesona lihat anak mama sekaligus Brondong Gemes mama, hihihihi," selorohnya sambil tertawa.
"Iya mama cantik," jawabku.
Ibuku semakin genit dan mencium pipiku seperti kebiasaannya saat becanda, meski aku udah dewasa.
"Ya Allah! Astaghfirullah!" ucap ayahku kaget saat melihat ibuku mencium pipiku.
"Bapak ini gangguin ibu aja! Ibu lagi berduaan sama anak kita," tegur ibuku.
"Belakang ini sikap ibu sama Firman aneh banget, kemarin bapak lihat kalian ngobrol di belakang rumah kayak orang pacaran, terus lihat kalian nyuci bareng sambil ngobrol, waktu kemarin malam juga lihat kalian tidur bersama. Kemarin lihat ibu nangis sambil berduaan. Jangan-jangan ada hubungan terlarang antara ibu sama anak," ujar ayahku sedikit konyol.
"Iya nih, katanya anak kita jatuh cinta sama ibu, ibu kan cantik mirip Ayana Moon." Ibuku menambahkan dengan candaan.
Kami tertawa dan aku merasa bahagia pagi itu, karena kami saling membalas candaan dan tertawa, bahkan ayahku menceritakan masa kecilku yang penuh dengan kekonyolan.
"Assalamualaikum!" sahut seorang dari luar rumah.
Aku segera memakai baju yang rapih. Kedua orangtuaku membukakan pintu.
"Ini anak ibu yang sering ibu ceritain itu," ujar ibuku pada gadis berkacamata dan berjilbab yang bertamu ke rumahku.
Aku menyalami gadis itu dengan tidak bersentuhan.
"Firman, ini Bidan Putri," ucap ibuku.
Kulemparkan senyuman pada gadis yang berprofesi sebagai Bidan itu. Ia pun membalas senyumku. Kami ngobrol dan aku berusaha menjaga pandangan. Aku pun bersikap baik dan sopan. Kuakui Bidan Putri lumayan manis dan sopan. Ia pun asik diajak ngobrol. Ibuku sepertinya senang melihat kami langsung akrab.
"Gimana orangnya, kamu suka enggak?" tanya ibuku saat Bidan Putri pulang.
"Mirip Si Elsa," ceplosku.
"Elsa, siapa?" tanyanya heran.
"Elsa Kartun Frozen," jawabku.
Ibuku tertawa dan memukulku pelan.
"Semoga aja kalian jodoh, soalnya anaknya baik dan enggak sombong," tukasnya.
Aku hanya tersenyum, lalu masuk ke kamar.
"Tenang, anakmu ini akan berjuang dapetin Ustadzah," bisikku dalam hati saat di kamar.
Saat aku berangkat kerja, aku berharap bisa bertemu dengan Ustadzah Indah. Namun, sampai jam sembilan malam, aku tidak melihat atau bertemu dengannya. Kupendam perasaan dan kerinduanku. Sampai saat pulang pun aku tidak bertemu dengannya, meski kudengar katanya ia belanja di tempat kerjaku saat pagi dan ia seperti sedang mencari seseorang, katanya informasi dari rekan kerjaku.
"Kok Ustadzah cantik enggak kesini yah?" tanyanya pada Yuri, rekan kerjaku yang paling cantik.
"Kata Pak Edi, katanya tadi pagi dia kesini bayar Shop*e," jawab Yuri.
Aku sedikit tersenyum.
"Kejar Pak, orangnya cantik dan solehah," tambahnya.
Aku tertawa dan merasa dapat dukungan.
"Ya Allah, ampuni aku yang tidak bisa menghindari perasaan ini," gumamku saat perjalanan pulang.
Sesampainya di rumah, aku merebahkan diri di kasur dan rasanya semakin tidak kuat menahan gejolak hati.
[Kakak.] Kubaca pesan dari Nufus.
Ia pun mengirim emoticon senyum. Kubalas dengan emoticon gigi nyengir.
[Kakak lagi apa?] tanyanya lewat pesan Wa.
[Lagi tiduran sambil ngehalu,] balasku.
Ia pun mengirim emoticon tertawa.
[Mau tidur dulu yah, Kakak Sayang,] pesannya.
Aku hanya tersenyum dan membalas dengan emoticon tertawa ngakak.
[Kok ketawa sih?] tanyanya lagi.
[Ya udah met tidur,] balasku.
Besoknya aku bekerja masuk pagi. Aku begitu sibuk hari itu sampai pulang pun sedikit terlambat. Aku kembali tidak melihat atau bertemu dengan gadis solehah bernama Indah Fuji Latifah.
"Sebelum pulang ke rumah, mending aku jalan-jalan ke pasar kaget," gumamku setelah shalat ashar.
Aku pergi ke pasar kaget sore itu, karena kebetulan ada pasar yang buka sebulan sekali tak jauh dari tempat kerjaku. Saat aku mengendarai motor ke tempat yang dituju, aku melihat seseorang tengah berdiri di pinggir jalan dengan motor tidak hidup. Ia memakai jilbab dan masker. Awalnya aku cuek saat melihatnya, tapi saat aku melewatinya, rasanya aku ingin menyapa. Aku menghampiri dan berbasa-basi.
"Mogok apa gimana?" tanyaku basa-basi.
"Iya, Mas," jawabnya.
"Aku step sampe ke bengkel yah." Aku bermaksud membantunya.
Ia mengangguk pelan dan aku membantunya menuju bengkel.
"Makasih yah, Kak," ucapnya setelah sampai bengkel.
Aku hanya tersenyum.
"Kakak mau kemana?" tanyanya.
"Mau ke depan aja," jawabku asal.
Saat aku hendak pergi, tiba-tiba kulihat seseorang datang dan turun dari motor. Ia memakai masker penutup wajah dengan jilbab yang kukenal. Ia pun sedikit berbasa-basi dengan gadis yang kutolong.
"Apakah ini Ustadzah Indah?" tanyaku dalam hati.
"Mas Alfa," ucap seseorang yang baru datang itu sambil melihatku.
Aku sangat mengenal suaranya. Ia membuka maskernya dan aku begitu gugup. Seraut wajah cantik yang sangat kukenal dan kurindukan. Wajah yang selalu terbayang dalam setiap ingatanku.
"Ustadzah Indah," ucapku spontan.
Ia melemparkan senyuman manisnya. Aku begitu terpana dan diam mematung.
"Indahnya senyum manismu dalam mimpiku. Selalu disituasi yang sama," bisikku dalam hati menyayikan lagu JKT48.
"Kak, tadi Kakak ini yang bantuin aku kesini," ungkap gadis yang kutolong.
"Makasih yah udah bantuin adikku," ucap Ustadzah cantik itu.
"Sama-sama, Ustadzah mau kemana?" jawabku, lalu balik bertanya.
"Mau nemuin adikku yang katanya mogok," jawabnya dengan lembut.
Aku mengangguk.
"Kalian saling kenal, cie, cie," goda gadis yang katanya adiknya Ustadzah Indah.
Ia membuka maskernya dan ternyata masih ABG.
"Kalian bersaudara?" tanyaku memberanikan diri.
"Adik sepupu," jawab Ustadzah Indah.
Aku melihat Ustadzah Indah terus tersenyum melihatku, meski ia menjaga pandangan. Aku pun melihatnya dengan jelas, kalau ia tersenyum sambil menunduk.
"Duduk dong, Kak," tegur gadis ABG sepupunya Ustadzah Indah.
Aku tersenyum dan tiba-tiba aku memainkan alis pada ABG yang akhirnya kutahu namanya Amel itu. Amel tertawa dan ia terus mengajakku berbicara saat aku duduk.
"Hari ini gue enggak boleh sia-siain kesempatan ketemu Ustadzah Indah. Perjuangan dimulai, adapun hasilnya biar Allah yang nentuin," gumamku.
"Mas, kemarin saya belanja, tapi kok poin member saya enggak bertambah yah, padahal udah diinput nomornya?" tanya Ustadzah Indah tiba-tiba.
"Iya, biasanya bertambahnya paling lambat tiga hari," jawabku.
Ustadzah cantik itu mengangguk sambil tersenyum. Aku terus berbicara basa-basi, bahkan aku pura-pura bertanya seputar pasar kaget. Ustadzah Indah sepertinya tidak risih denganku dan kami begitu nyambung dalam ngobrol. Aku bertekad akan berjuang sungguh-sungguh mendapatkan hati Ustadzah cantik dengan lesung pipi menggemaskan itu.
"Boleh minta nomornya?" ucapku pada Ustadzah Indah.
Ia menatapku dengan tatapan yang sulit kupahami.
"Kami sebagai Karyawan Alfam*rt disuruh selalu memberikan informasi seputar promosi, salah satunya disuruh memberi informasi lewat Wa. Bisa juga bertanya lewat Wa seputar promosi." Aku beralibi dan sedikit modus.
"Kebetulan aku mau nanya-nanya, boleh Mas," tandasnya.
Aku begitu bahagia, tapi berusaha bersikap biasa. Ia menyebutkan nomor dan kusimpan di kontak ponselku.
"Atas nama Indah Fuji Latifah," ucapku saat menyimpan nomornya.
Ia heran mendengarnya, karena aku hafal nama lengkapnya.
"Kok bisa hafal?" tanyanya sambil tersenyum menunduk.
Aku mengangguk sambil menatapnya. Ia pun terus mengajakku ngobrol dan ternyata ia begitu ramah dan bersahabat. Aku pun menanyakan sepupuku yang menjadi muridnya di sekolah atau pesantren tempat ia ngajar.
Itulah pertemuanku yang keenam dengan Ustadzah cantik bernama Indah Fuji Latifah.
Bersambung.
