Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 3 Semoga Dia Jodohku

Ustadzah Cantik

Part 3

Setelah pertemuanku yang keempat dengan gadis yang dipanggil Ustadzah itu, aku tidak lagi bertemu dengannya selama dua hari aku bekerja. Aku benar-benar merindukan dan wajahnya terus terbayang. Aku pun duduk santai di warung depan gerbang pondok pesantren Modern yang ternyata disitu bukan hanya pesantren, tapi ada sekolah setingkat SMP dan SMA. Aku berharap bisa bertemu lagi dengan Ustadzah cantik bernama Indah Fuji Latifah itu, tapi semua sia-sia.

"Ustadzah Indah, semoga kita ketemu lagi," gumamku.

Aku pulang ke rumah setelah bekerja dan rasanya semakin rindu pada gadis anggun dan solehah itu, tapi rindu hanya tinggal rindu. Aku hanya berdoa dan menyerahkan semuanya pada Allah.

"Jika dia jodohku, dekatkanlah, tapi jika dia bukan jodohku, hapuskanlah perasaan ini," ucapku saat berdoa.

Saat malam, aku pergi ikut pengajian Ustadz muda di kampung sebelah untuk mencari ilmu dan memperbaiki diri. Seperti biasa aku membawa buku catatan untuk mencatat isi Tausyiah dari Ustadz yang menyampaikan. Aku pun sering belajar berbicara dan belajar bertausyiah bersama pemuda di kampungku bersama para pengurus Karang Taruna. Di setiap kegiatan Karang Taruna pun aku sering menyampaikan sambutan atau sekedar memberi Tausyiah. Sejak kecil aku sudah aktif di masyarakat diajak oleh kakek atau sering menemani Kakekku yang dimana ia seorang tokoh masyarakat sekaligus Ustadz di kampungku yang lumayan dihormati saat beliau masih hidup.

"Kayaknya Si Firman ini mirip sama Kakeknya, soalnya dia aktif di masyarakat kita." Terngiang ucapan salah satu tokoh masyarakat.

Sesampainya di tempat pengajian, aku membantu para pemuda yang lain mempersiapkan konsumsi dan membuatkan kopi untuk para jama'ah. Ustadz tampan bernama Ilham itu pun senang setiap aku hadir dan sering mengajakku ngobrol setelah selesai pengajian.

"Para jama'ah, ayo kita sama-sama memohon ampun pada Allah, kita bermuhasabah diri, hisab diri kita sebelum Allah menghisapnya. Kita mohon ampun dari segala dosa dan khilaf yang pernah kita lakukan. Ingat, kian hari sisa napas kita kian habis dan kita semakin dekat dengan saat perpisahan. Mohonlah ampun sebelum saat perpisahan itu datang. Yang paling dekat dengan kita itu adalah kematian, semoga kita mati dalam keadaan beriman dan semoga kita mati di jalan Allah," tutur Ustadz Ilham diujung Tausyiahnya.

Aku meneteskan air mata sambil mengingat semua dosa-dosa dan kesalahan di masa lalu. Aku memohon ampun kepada Allah dan meminta supaya dimatikan dalam keadaan beriman dan bertakwa.

"Kalau kita ada keinginan, mintalah pada Allah dan jangan sampai kita terperdaya oleh fitnah dunia ini. Semua yang kita kerjakan, yang kita perbuat akan diminta pertanggung jawaban dihadapan Allah. Ayo kita beristighfar," sambungnya.

"Man, jangan dulu pulang," cegah Ustadz Ilham setelah selesai pengajian.

"Iya," jawabku dengan sopan.

"Makasih ilmunya, makasih saya sudah banyak belajar dari kamu," ujarnya.

Aku bingung mendengar ucapannya.

"Justru saya yang banyak belajar dari Ustadz," jawabku.

"Saya salut sama kamu, karena kerja keras kamu dan pemuda yang lain desa kita banyak kegiatan positif. Kamu juga menyampaikan setiap Tausyiah saya di kegiatan Karang Taruna, tanpa saya suruh. Sekalipun saya lebih tua dari kamu, tapi saya belajar dari kamu di setiap kegiatan-kegiatan terutama kegiatan keagamaan. Alhamdulillah, sekarang pemuda-pemudi kita peduli sama desanya dan peduli sama kegiatan keagamaan. Saya terkesan mendengar sambutan kamu di kegiatan Maulid Nabi kemarin," terangnya.

Aku hanya diam dengan perasaan malu, karena aku sering mencontek Tausyiahnya yang kutulis di buku.

"Ma-maaf kalau saya sering mencontek materi Tausyiah yang Ustadz sampaikan," ucapku pelan.

"Enggak usah minta maaf, justru saya senang dan bangga ada pemuda seperti kamu. Alhamdulillah berarti ilmu yang saya sampaikan ada yang mengamalkannya. Terus lanjutkan, harus kuat hati dan telinga kalau kita berkecimpung di masyarakat. Saya bukan orang benar kok, cuma ditipin ilmu dan harus disampaikan pada jamaah dan masyarakat," ujar Ustadz tampan itu dengan bahasa merendah.

Kami asyik mengobrol membahas kegiatan-kegiatan di masyarakat baik kegiatan kampung atau kegiatan desa.

"Kamu udah punya calon belum?" tanyanya di tengah obrolan.

"Belum," jawabku datar.

"Kalau kamu sudah siap nikah, Insha Allah, saya bisa bantu carikan dan kebetulan kemarin ada Santriwati yang minta dicarikan suami, semoga aja cocok sama kamu," terangnya.

Aku diam sambil tersenyum mendengar ucapannya.

"Pikirkan dulu ucapan saya tadi, nanti kalau udah mantap, kita ngobrol lagi," sambungnya.

Aku kaget mendengar ucapan Ustadz Ilhan. Ia begitu akrab denganku, bahkan ia lah yang membimbingku untuk memperbaiki diri. Aku pulang ke rumah setelah berpamitan.

[Mong, besok libur enggak?] tanya Joni, Ketua Karang Taruna, lewat pesan Wa.

[Iya libur,] balasku.

[Anterin gue besok, ada kegiatan santunan anak yatim yang diadakan sama Karang Taruna kecamatan sebelah, saya diundang,] pesannya lewat Wa.

[Oke siap,] balasku.

Aku merebahkan diri di tempat tidur dan kembali teringat pada Ustadzah Indah. Aku terus beristighfar dan berusaha menghapus bayangannya, tapi aku semakin tenggelam oleh perasaanku.

"Alqur'an adalah obatnya, bersabar itu solusinya, Tahajud juga penolongnya, berzikir banyak manfaatnya." Aku teringat salah satunya Tausyiah seorang Ustadz.

Aku tadarus Al-Qur'an untuk mengobati hati yang tidak tenang dan gundah. Aku pun selalu berusaha Dawam Wudhu.

*****

"Aku selalu berdoa semoga kamu jadi suamiku. Kenapa yah aku bisa suka sama kamu? Masa sih harus aku duluan yang ngomong? Khitbah aku dong sebelum ada yang menghitbahku." Tiba-tiba Ustadzah Indah berbicara padaku saat kami bertemu di halaman masjid.

Aku gugup dan tidak percaya.

"Orang kayak gue ini, mana mungkin disukai Ustadzah Tahfiz Qur'an. Apa dia beneran bicara serius, loh kok dia nangis?" Aku bergumam sendiri sambil melihatnya menangis dengan menunduk.

Tiba-tiba Ustadzah Indah pergi dengan berlari sambil menangis.

*****

Aku terbangun dari mimpi, karena mendengar ibuku mengaji di sampingku. Ternyata aku ketiduran setelah aku mengaji dan merebahkan diri di kamar kosong rumahku yang dijadikan Musholla keluarga.

"Kamu ketiduran yah habis ngaji?" tanya ibuku setelah ia selesai membaca Al-Qur'an.

"Alhamdulillah akhirnya doa ibu terkabul. Ibu waktu naik haji nangis-nangis di depan Ka'bah doain kamu supaya kamu jadi anak Soleh. Bapak kamu saat itu udah putus asa lihat kelakuan kamu sampe dia bilang katanya mending kamu dipanggil sama Allah aja kalau masih suka bermaksiat dan enggak tobat," ujar ibuku dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa sadar aku hendak menangis dan membenamkan wajahku di kedua pahanya. Aku ingin minta maaf dan memohon ampun, tapi aku malu sehingga aku hanya bisa meneteskan air mata sambil bersandar di pahanya.

"Kamu kenapa?" tanyanya sambil mengelus kepalaku.

Aku hanya diam dan tiba-tiba aku menangis tanpa bisa kutahan. Terbayang olehku wajah ibuku saat menangis melihat kedurhakanku di masa lalu. Namun, ia masih menyayangiku dengan tulus. Ketulusan, kesabaran dan semua kasih sayangnya kurasakan, meski aku tidak pernah berbakti dan selalu membangkang.

"Kok nagis?" tanyanya.

"Pengen denger ibu ngaji lagi biar tenang," jawabku.

Ibuku mengaji sambil aku terus bersandar. Aku merasa ketenangan dan kelembutan dari setiap sentuhan tangan wanita pahlawanku itu. Ia pun meneteskan air mata. Aku menangis sampai tertidur.

"Astaghfirullah," ucapku saat terbangun dan ternyata aku sudah memakai selimut dan bantal.

Aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu, karena sudah subuh.

"Kamu semalam sakit, badan kamu demam," ujar Wanita yang melahirkanku setelah aku pulang dari Masjid untuk shalat subuh berjamaah.

Aku sedikit membantu ibuku memasak di dapur sambil sedikit mengobrol.

"Man, Bidan Putri kemarin nanya ke ibu, katanya ibu punya anak lelaki yah, ibu jawab aja punya, terus dia minta dikenalin, hihihi," ujarnya sedikit tertawa.

Aku hanya tertawa tidak menanggapi.

"Ngapain sih minta kenalan segala? Ah, gue enggak mau kenalan sama wanita dan enggak mau tergoda sama wanita, karena kalau penyakitku kumat, bisa-bisa gue terjerumus lagi karena godaan kaum hawa," gerutuku.

Saat pagi, aku pun membantunya mencuci pakaian dan beres-beres rumah. Aku baru menyadari ternyata berbakti pada orangtua itu tidak rugi dan membuat hati tentram.

"Awas, biasanya ada maunya kalau dia mau bantuin ibu," sindir ayahku saat pagi.

Aku hanya diam sambil beristighfar dalam hati.

"Ibu ini masih percaya aja sama dia. Bapak masih belum percaya kalau dia benar-benar berubah," tambah ayahku.

Aku hanya diam tidak menanggapi dan memperlakukannya dengan baik.

"Seumur hidup, ibu belum pernah nangis di depan orangtua sambil minta maaf, tapi anak kita itu, nangis di depan ibu minta maaf." Wanita pahlawanku akhirnya angkat bicara membelaku.

"Air mata Buaya! Buaya dikadalin, kecoa lagi yang ngadalinnya," timpal ayahku.

"Astaghfirullah," ucapku sambil menunduk.

Ayahku pergi berangkat ke warung sembakonya.

"Jangan didengar omongan bapak kamu. Ibu mau nengok adik kamu dulu di pesantren, katanya dia sakit," ujar ibuku, lalu pergi.

Saat aku duduk di depan rumah sambil memikirkan Ustadzah Indah, tiba-tiba Joni datang ke rumahku dengan mengendarai motor gede miliknya. Ia datang dengan penampilan rapih dan kacamata hitam terpasang mirip mafia-mafia dalam film Mandarin.

"Duduk dulu, ngopi hitam kita." Basa-basiku.

"Kita berangkat aja sekarang, nanti gue traktir bubur ayam," balasnya.

Aku berganti baju dan membawa dompet. Setelah berdandan rapih, kami pun berangkat.

"Semoga aja ada cewek cakep," ujar Joni saat di perjalanan.

Sesampainya di tempat yang dimaksud, kami disambut oleh para pengurus Karang Taruna disitu. Aku membantu mereka menyiapkan bahan-bahan yang akan dibagikan sebagai santunan anak yatim.

"Ini sistemnya gimana, mau dianterin apa dikumpulin disini penerimanya?" tanyaku pada Joni.

"Nanti gue tanyain sama panitianya," jawabnya sambil berjalan ke arah kumpulan orang.

"Katanya mau dianterin ke rumahnya masing-masing. Mereka udah ngedata jumlah ayah yatim dan orang jompo disini," ujar Joni yang tiba-tiba muncul saat aku sibuk membantu yang lain.

Semuanya berkumpul dan mendengarkan arahan dari pemimpin kegiatan. Akhirnya diputuskan dibagi beberapa kelompok untuk menyebar membagikan paket makanan dan uang tunai dalam amplop. Kami pun menyebar dan aku hanya bertiga dengan Joni dan satu wanita bernama Nufus.

"Mana Fus, nama penerima sumbangan dan alamatnya?" tanya Joni.

Gadis berjilbab yang aktif di Karang Taruna itu menunjukkan catatan nama penerima beserta alamatnya yang akan kami datangi.

"Kita sarapan dulu yuk, belum makan apa-apa nih," ajakku.

Kami pun sarapan di warung bubur sebelum membagikan paket makanan dan amplop berisi uang.

"Kalau semua Karang Taruna di Indonesia aktif kayak gini yakin para pemudanya banyak yang tertarik ikut kegiatan," ujar Nufus.

"Iya juga yah, Karang Taruna itu kan wadah para pemuda buat berkarya dan belajar. Ini wadah resmi pemerintah loh, bukan kaleng-kaleng," tambah Joni.

Aku mengangguk dan terus teringat pada Ustadzah Indah.

"Kenapa Kak, diam aja?" tanya gadis bernama Hayatunnufus lulusan yang baru saja lulus dari sekolah Kebidanan itu.

"Dia mah lagi jatuh cinta. Katanya lagi jatuh cinta sama Ustadzah yang ngajar Tahfiz Qur'an di Pesantren Alhasimiyah," ceplos Joni.

"Beneran? Hebat juga kalau sampai berhasil," ujar Nufus.

"Kalau enggak berhasil, mending sama lulusan Bidan aja, Mong," cerocos Joni.

"Kalau mau orangnya, kalau enggak mau yah paling nyari lagi," balasku.

"Mau enggak, Fus?" goda sahabatku yang menjadi Ketua Karang Taruna di desaku itu.

"Insha Allah, kalau jodoh," jawab Nufus sambil tersenyum.

"Kita jalan kaki aja yah bagiinnya." Aku mengalihkan pembicaraan.

"Jujur yah, saya tuh salut sama kamu, Fus, kamu itu anak orang kaya, tapi mau gabung Karang Taruna, terus mau panas-panasan kayak gini." Aku keceplosan.

Gadis manis berjilbab itu hanya tersenyum sambil melanjutkan sarapannya.

"Kayaknya bakal ada yang baper plus berbunga-bunga nih," sindir Joni.

Aku hanya tertawa dan tidak menanggapi. Setelah sarapan, kami melanjutkan berjalan kaki menuju alamat yang dimaksud. Kebetulan alamatnya tidak terlalu jauh. Ada enam nama anak yatim yang akan kami datangi untuk menyerahkan paket makanan dan amplop. Kami pun jalan bertiga sambil membawa paket makanan. Bantuan yang kami berikan diterima dengan baik oleh keluarga Si Penerima, bahkan ibu dari anak yatim itu ada yang sampai meneteskan air mata.

"Tinggal dua lagi nih, ayo semangat," ucap Nufus.

Saat kami sampai di rumah yang dimaksud, Joni mengucapkan salam. Namun, tiba-tiba jantungku berdetak kencang mendengar seseorang yang menjawab salam. Aku semakin grogi dan salah tingkah saat melihat seseorang yang membukakan pintu. Aku tidak bermimpi dan itu benar-benar nyata, bahwa kulihat Ustadzah Indah membukakan pintu, lalu ia menatapku heran.

"Ustadzah!" ucapku kaget saat melihat seseorang membuka pintu.

"Eh, Mas, yang kerja di Alfam*rt." Ia berbicara pelan sambil menatapku dengan tatapan heran.

Kulemparkan senyuman indah. Ia pun membalasnya dengan senyuman yang membuatku terus terbayang. Perasaanku semakin besar dan dalam. Aku terus menatapnya tanpa berkedip. Ia terlihat indah dengan jilbab rapih berwarna biru muda.

"Subhanallah, senyuman dan lesung pipinya begitu indah ditambah gigi gingsul yang menggemaskan," gumamku.

Tiba-tiba tatapannya berubah menjadi sendu, lalu ia menundukkan wajah.

"Ustadzah, disini rumahnya?" tanyaku.

"Bu-bukan, i-ini rumah bibiku, kebetulan aku kesini silaturahmi," jawabnya sedikit gugup.

Ia kembali menatapku, lalu menunduk dan kulihat ia tersenyum sendiri sambil menunduk. Aku melihatnya dengan jelas, kalau ia senyum-senyum sendiri setelah menatapku. Joni dan Nufus berjalan menjauh seolah memberiku waktu untuk mengobrol dengan Ustadzah cantik yang memiliki lesung pipi dan gingsul indah itu.

"Ini bukan mimpi, ini nyata. Dia juga senyum-senyum sendiri setelah melihatku seperti saat pertemuan di Pondok Pesantren tempat ia ngajar. Semoga dia jodohku ya Allah," gumamku.

"Kami dari Karang Taruna kebetulan mau nyerahin santunan anak yatim buat anak bernama Alim," terangku.

"I-iya, Si Alim lagi main, nanti saya kasih tahu ibunya. Makasih yah, Mas," balasnya.

Nufus menyerahkan bungkusan dan amplop setelah menyalami. Ustadzah Indah tertangkap basah olehku sedang melihatku sambil tersenyum dan tatapan mata kami bertemu. Ia segera menunduk saat tatapan mata kami bertemu. Aku kembali melihat ia tersenyum sambil menunduk. Aku pun melihat sedang mengelus bagian atas dadanya send sambil menarik napas.

"Dari kemarin, semakin suka. Setiap bertemu, terkesima. Walaupun ingin berteman saja, sudah tak kuat aku ingin lega. Apakah kamu ada yang punya? Jikalau ada bagaimana? Kalau dipikir dada berdebar dan terasa sangat menyesakan. Terlalu suka." Tanpa sadar hatiku menyanyi lagu JKT48 yang menceritakan anak remaja sedang jatuh cinta.

Setelah menyerahkan bungkusan dan amplop, Nufus pamit pada Ustadzah Indah.

"Eh, mau kemana?" tanya Ustadzah Indah padaku dengan wajah meringis dan nada suaranya seperti nada suara gadis kecil yang manja.

Aku begitu berbunga-bunga mendengarnya. Entah itu cuma basa-basi atau ia keceplosan bertanya. Aku menoleh dan lagi-lagi tatapan mata kami bertemu.

"Enggak mampir dulu, Mas, Embak?" tawarnya padaku dan pada Nufus beserta Joni.

Wajahnya meringis dan tatapan matanya sendu menatapku, lalu ia kembali menunduk sambil memainkan jari tangannya. Saat aku hendak berbicara, ternyata ia pun hendak berbicara sehingga kami sama-sama mengucapkan suatu ucapan yang terpotong. Aku gugup dan salah tingkah. Ia pun gugup dan kulihat dengan jelas pipinya memerah. Aku tidak mengerti dengan tatapan matanya. Ia menatapku dengan tatapan aneh sebelum kembali menunduk.

"Ustadzah, semoga kita ketemu lagi." Tanpa sadar kalimat itu terucap dari mulutku.

"Aamiin, Insha Allah," ucapnya pelan bahkan nyaris tak terdengar.

Aku pamit dengan mengucapkan salam dan ia membalasnya sedikit gugup sambil menunduk. Aku berjalan pergi. Namun, saat aku menoleh ke arahnya sambil berjalan ia menatapku dengan tatapan sendu yang sulit kujelaskan. Aku sedikit geer dan pede gila, tapi segera kutepis dan berusaha menenangkan diri.

"Dari kemarin, semakin suka. Bagai menambah kecepatan. Mengapa bisa menjadi suka? Aku tak bisa ingat alasannya. Besok atau bulan depan nanti, akan mabuk cinta seperti apa? Kenapa sedih? Terlalu suka." Hatiku kembali menyanyi lagu JKT48 yang seolah mewakili isi hatiku.

"Oh, jangan-jangan itu Ustadzah yang loe maksud," sindir Joni.

Aku hanya tertawa sambil berjalan dan tidak menanggapi.

Itulah pertemuan kelima dengan Ustadzah cantik bernama Indah Fuji Latifah, seorang gadis lembut yang memiliki daya tarik senyuman indah dengan lesung pipi dan gingsul yang menggemaskan.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel