Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 2 Rasa yang Tak Biasa

Ustadzah Cantik

Part 2

Aku semakin tenggelam oleh perasaanku sendiri setelah bertemu yang ketiga kali dengan Ustadzah bernama lengkap Indah Fuji Latifah itu. Keindahan senyum dengan pipi dihiasi lesung dan gigi gingsul yang menggemaskan. Sikap dan tutur katanya pun begitu lembut dan sopan. Sebagai seorang wanita, ia selalu menjaga pandangannya.

"Gimana ketemu enggak?" tanya Maemunah.

"Ketemu lah," jawabku

"Terus? terus?" pancingnya.

"Kepo!" timpalku.

Aku kembali bekerja sambil terus terbayang Ustadzah cantik, kecil imut menggemaskan itu. Saat pulang, aku senyum-senyum sendiri sambil mengendarai motor dan terus terbayang wajah, senyum, sikap dan tutur kata gadis bernama Indah Fuji Latifah itu. Aku serahkan semuanya pada Allah dan tidak mau berlebihan mencintai seseorang, meski gejolak hati begitu besar. Shalat malam pun kembali kulakukan. Aku berdoa supaya diampuni dari segala dosa-dosaku di masa lalu. Aku menangis dan jijik sendiri setiap mengingat perbuatanku di masa lalu.

"Firman, nih ibu bikinin susu anget buat kamu," ucap ibuku setelah aku selesai Tahajud.

Ibuku menyerahkan segelas susu coklat hangat kesukaanku.

"Makasih, Bu, ibu enggak tidur?" tanyaku.

"Baru bangun, tadinya mau ikut Tahajud bareng, tapi ternyata kamu udah selesai," jawabnya.

Ibuku mengambil wudhu di kamar mandi.

"Apa ini saatnya aku minta maaf dan minta ampun pada ibuku, lalu aku minta doanya. Malu banget kalau harus minta maaf dan minta doanya," gumamku.

"Bu," ucapku saat ibuku keluar sehabis berwudhu.

"Iya, Man," balasnya.

Aku mau bicara, tapi gugup dan malu. Aku tidak jadi meminta maaf dan doanya, karena aku berbicara mengalihkan pembicaraan.

"Ustadzah Indah, Ustadzah Indah, aku tiga kali ketemu dia dan tiga kali mimpiin dia," bisikku dalam hati sambil merebahkan diri di kasur.

Saat pagi, aku berangkat bekerja dan berharap bertemu dengan Ustadzah cantik dan menggemaskan itu. Saat aku bekerja mengecek barang yang datang dan melayani pembeli, tiba-tiba ada yang memanggilku.

"Firman! Kamu kerja disini? Kalau tahu kamu kerja disini, pasti bibi sering mampir," ujar bibiku yang siang itu belanja di Minimarket tempat kerjaku.

"Eh, Bibi cantik. Iya kerja disini, Bibi mau kemana nih?" jawabku, lalu balik bertanya sambil mencium tangannya dengan sopan.

"Mau nengokin Si Anin, kan dia sekarang mesantren di sana," jawabnya.

"Beneran Bi?" tanyaku memastikan.

"Iya, makanya Bibi kesini mau belanja buat keperluannya," terangnya.

"Alhamdulillah, semoga Anin jadi anak yang solehah," balasku.

"Aamiin." Bibiku yang single parent itu tersenyum.

"Wah, berarti sepupuku muridnya Ustadzah Indah dong, hehehehe," gumamku.

Aku membantunya belanja sambil ngobrol santai. Bibiku yang bernama Ningsing adik kandung ayahku itu sangat baik terhadapku dan ia sering mengasuhku saat aku masih kecil. Meskipun profesinya tidak kusukai, tapi aku selalu menghormatinya dan Bi Ningsing itu sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.

"Bibi ingin anak bibi jadi solehah dan berbakti sama orangtua. Cukup bibi aja yang rusak, jangan sampai anak bibi ikutan rusak," ujarnya.

"Aamiin. Bibi baik kok orangnya. Pokoknya Firman beruntung banget punya bini yang cantik dan baik kayak Bibi Ningsih ini," balasku sambil memujinya.

"Bisa aja kamu ini. Udah capek bibi juga kayak gini terus, tapi mau gimana lagi," ucapnya sambil menarik napas.

Aku berusaha menguatkannya dan kuperlakukan ia dengan baik. Aku membantunya membawa belanjaan, kubelikan minuman dingin dan roti untuk anaknya sekaligus sepupuku.

"Makasih yah Firman, bibi mau jenguk Si Anin dulu," pamitnya setelah ia selesai belanja.

"Semoga Bi Ningsing bisa berhenti dari profesinya yang sekarang dan semoga dia bisa bertobat," gumamku saat melihat bibiku yang lumayan cantik itu berjalan pergi.

"Man, kamu enggak malu setelah tahu profesi bibi kayak gini? Jangan bilang sama bapak kamu yah? Maafin bibi." Terngiang ucapannya saat aku mengetahui profesi bibiku.

"Parah loe! Diem-diem ternyata loe main tante-tante. Mantap juga tante-tante yang loe bawa. Kemarin dia kesini nyariin loe, hajar cuy, mantap tuh pasti ganas. Doyan juga loe ternyata. Cakep banget yah mirip Melody Eks member JKT48." Aku teringat ucapan rekan kerjaku di tempat kerja yang dulu saat ia melihatku jalan berdua dengan Bi Ningsing dan rekan kerjaku itu beranggapan kalau aku sedang main tante-tante girang.

Kulanjutkan pekerjaan mengecek barang dan melayani pembeli. Aku berharap bisa bertemu dengan Ustadzah Indah, tapi sampai sore pulang kerja, aku tidak melihatnya datang ke Minimarket tempat kerjaku.

"Semoga ketemu lagi, gimana caranya yah supaya ketemu? Ampun Ferguso, kayaknya aku sudah jatuh cinta sama dia," bisikku.

Adzan Ashar berkumandang, aku yang hendak pulang segera berjalan ke Masjid terdekat untuk melaksanakan kewajiban. Saat aku sampai di depan Masjid, aku teringat saat bertemu dengan Ustadzah Indah di depan Masjid itu pada pertemuan yang kedua. Senyuman dan bayangan wajahnya terus terbayang olehku. Suaranya yang lembut masih terngiang di telinga.

"Astaghfirullah, ya Allah, ampuni aku. Aku ingin bertaubat dan enggak ingin mencintai HambaMu dengan berlebihan. Kuserahkan semua padaMu ya Allah. Ampuni segala dosa-dosaku." Aku menguatkan hati supaya tidak semakin parah menyukai Ustadzah cantik itu.

Aku menunaikan shalat Ashar berjamaah dan saat berdoa selesai shalat, tiba-tiba air mataku menetes. Aku tanpa sadar berdoa semoga berjodoh dengan Ustadzah Indah.

"Udah, udah, orang penuh dosa dan br*ngsek kayak gue ini, mana mungkin berjodoh sama dia. Tobat gue aja belum tentu diterima sama Allah, masa udah minta dikasih jodoh kayak Ustadzah Indah. Ampuni aku ya Allah, kenapa perasaan ini semakin besar dan semakin dalam, bahkan membuatku terlena dalam mengingatMu." Aku berbicara sendiri dalam hati setelah selesai berdoa.

Tiba-tiba tetes demi tetes air mata berjatuhan tanpa bisa kucegah. Aku belum pernah sebelumnya menangis karena mencintai seseorang. Aku pun susah untuk menangis saat aku memohon ampun pada Allah. Namun, sore itu aku menangis tanpa bisa kucegah. Entah aku menangis karena teringat semua dosa-dosaku di masa lalu atau aku menangis karena mencintai seseorang. Aku terus beristighfar dan memohon ampun. Aku sudah berjanji untuk bertaubat dan rajin ibadah mendekatkan diri pada Tuhanku dan selalu berusaha berbuat baik pada sesama.

"Astaghfirullah, ampuni aku ya Allah, bila aku menangis karena seorang wanita. Demi Allah, aku ingin bertaubat dan ingin memperbaiki semua kesalahanku. Aku ingin menjadi hambaMu yang bertaqwa dan mendapat ampunan dariMu. Kenapa perasaan ini semakin dalam dan membuatku sesak? Enggak boleh berlebihan kayak gini," ucapku dalam hati sambil menangis sendiri dalam Masjid dan berusaha menguatkan diri, bahkan melawan perasaan gejolak di hati.

"Gimana tobatku mau terima, nyatanya aku kayak gini masih tergoda oleh wanita, tapi kok ini mah beda godaannya? Aku menyukainya, tapi aku enggak ingin berbuat macam-macam, malah ingin jadikannya sebagai pendamping hidup. Mungkin dia wanita pertama yang ada dalam doaku, selain ibuku sendiri. Ah, aku bingung dengan perasaanku sendiri. Astaghfirullah, ingat Firman, fokus perbaiki diri, biar selamat dunia akhirat. Baru berusaha tobat selama sebulan aja udah pengen punya pendamping hidup kayak Ustadzah Indah." Hatiku terus berbicara sendiri, bahkan seperti ada dua kubu yang berperang.

Terjadi peperangan batin dalam hatiku dan aku kembali meneteskan air mata. Pengalaman pertamaku dalam hidup meneteskan air mata karena jatuh cinta pada seorang wanita dan anehnya kami baru bertemu tiga kali. Sungguh terlalu. Aku sadar ternyata hatiku begitu rapuh dan lemah. Aku pun ternyata begitu cengeng. Berdoa dan beristighfar terus kuucapkan untuk menguatkan hati, tapi perasaanku semakin besar dan dalam. Aku benar-benar terkena Virus merah jambu.

"Belum pernah aku seperti ini, sampe keluar air mata segala," gumamku saat keluar Masjid.

Ternyata perutku keroncongan, karena aku belum makan. Kupacu motorku menuju Warteg Favoritku. Sesampainya di Warteg yang menurutku masakannya enak itu, tiba-tiba ponselku berdering.

[Lagi dimana, udah pulang apa masih di Masjid? Ustadzah Indah ada disini lagi belanja.] Kubaca pesan Wa dari Maemunah.

[Beneran, Mun?] balasku.

[Kesini cepetan.] Kubaca pesannya lagi.

Ia pun mengirim emoticon senyum. Tanpa nunggu aba-aba dan tanpa nunggu gunung meletus, aku bergegas ke tempat kerjaku dengan alasan mengambil sepatu buat dicuci.

"Mana Mun?" tanyaku setelah sampai.

Kasir yang centil dan kadang menjengkelkan itu menoleh ke arah kiri. Aku berjalan dengan pelan dan berpura-pura membereskan rak Snack dan biskuit. Jantungku berdebar saat kulihat Ustadzah Indah tengah berdiri memilih belanjaan sambil membawa keranjang yang disediakan oleh Minimarket itu. Aku tidak berani menyapa dan hanya berpura-pura membereskan pajangan biskuit.

"Ya Allah, ampuni aku yang berusaha mendekati seorang wanita," gumamku.

"Mas," serunya.

Seketika aku menoleh.

"Chit*to yang ini ada enggak yah?" tanyanya sambil menunjukkan layar ponselnya.

Aku begitu gugup dan salah tingkah. Ia kembali melemparkan senyuman mautnya, lalu menunduk.

"A-ada, na-nanti saya ambilin," jawabku benar-benar gugup.

Kuambil merek Snack yang dimaksud. Ia menerima dengan senang.

"A-ada lagi?" tanyaku masih gugup.

"Udah Mas, makasih yah," jawabnya.

Aku kembali berpura-pura membereskan Biskuit dan Snack. Muncullah ideku untuk mengajaknya mengobrol.

"Gimana waktu itu, udah bisa belanja di Alfam*rt Online?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Alhamdulillah bisa, tapi aku lupa ganti alamatnya, jadi pesanannya dikirim ke rumah, bukan ke Pondok," jawabnya sambil sedikit tertawa.

Aku pun tertawa sambil menunduk. Kurasakan kebahagiaan saat mendengar ucapannya.

"Kemarin aku kesini lagi mau nanya sama Si Mas, tapi katanya Si Mas-nya masuk siang," sambungnya.

Ia menatapku sambil tersenyum dan kembali tatapan mata kami bertemu. Getar di hatiku kurasakan semakin jelas. Aku begitu gerogi dan serba salah, bahkan salah tingkah. Ia memalingkan wajah sambil mengelus dadanya sendiri, lalu berjalan ke arah meja kasir setelah menganggukkan kepala untuk pamit. Ingin rasanya aku mengejarnya dan kembali mengajak berbicara, tapi kuurungkan. Aku tak ingin terlalu menuruti gejolak hatiku dan berusaha kutahan.

"Eh Mas, angkatin galon Le Miner*le ke motor, maaf yah." Ia meminta supaya aku membantunya saat aku lewat di depannya yang tengah membayar belanjaan di kasir.

Aku mengangguk pelan, lalu langsung berjalan ke tumpukan galon air mineral. Ia keluar Minimarket dan menghampiriku yang tengah mengelap galon air merek terkenal itu.

"Satu aja, Mas," ujarnya dengan lembut.

"Ini buat di pesantren apa buat di rumah?" tanyaku memberanikan diri.

"Buat di rumah, Mas," jawabnya.

"Eh, Ustadzah, di pesantren situ ada adik sepupuku yang juga lagi mondok, namanya Anin," ujarku sudah sedikit mulai berani.

Ia membulatkan matanya sambil menatapku dengan tatapan heran.

"Anin?" tanyanya seperti kebingungan, lalu kembali menunduk.

"Iya, namanya Anindita Putri," terangku.

Aku menunjukkan foto adik sepupuku lewat ponsel, foto yang diunggah di media sosialnya.

"Oh, iya, Si Putri," ucapnya sambil melihat layar ponselku.

Setelah aku membantunya mengangkat galon ke motor matic miliknya, ia pamit pulang dan mengucapkan terimakasih.

"Semoga dia jodohku." Aku kembali bergumam.

Saat Ustadzah Indah menghidupkan motornya, aku berjalan masuk ke Minimarket sambil menatapnya dari dalam lewat kaca.

"Kalau dia jodohku, dia pasti kembali melihat ke arahku," ucapku dalam hati sambil memandanginya dari dalam minimarket.

Ia melirik ke arahku dan mematikan motornya. Bukan hanya itu, ia pun turun dari motor, lalu berjalan masuk ke Minimarket. Aku diam mematung sambil terus melihatnya. Jantungku berdetak kencang dan salah tingkah.

"Mas, ada yang lupa, tadi mau isi pulsa," ucapnya setelah masuk dan kembali bertemu denganku.

"I-iya," jawabku semakin gugup.

Ia mengisi pulsa di kasir. Aku ingin menyimpan nomornya, tapi aku takut dikatakan tidak sopan. Sebenarnya aku ingin terus mengobrol dan mendekati gadis manis menggemaskan yang dipanggil Ustadzah itu, tapi aku bingung dan sedikit minder. Aku bingung dengan diriku sendiri yang tidak bisa berkutik sedikitpun saat bertemu dengannya.

"Makasih ya Embak, Mas," ucapnya, lalu ia kembali keluar Minimarket.

Sikapnya begitu ramah dan lembut. Aku begitu terpesona, tapi tidak berani mendekatinya lagi. Hanya doa yang kuucapkan dalam hati.

"Cie, kayaknya ada yang lagi kasmaran nih," goda Maemunah.

"Apaan sih. Eh, Si Elsa udah pulang tah? Dia belum laporan penjualan Fokus Produk tuh." Aku mengalihkan pembicaraan.

Aku berjalan keluar dan terus teringat pada Ustadzah Indah. Itu pertemuan ke empat dengan gadis lembut bernama Indah Fuji Latifah.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel