Bab 5
“Udah, aku mau merantau ke Kalimantan saja.
Daripada di sini, pusing mikirin kalian semua!” teriak Bapak
pagi-pagi buta seperti ini, aku terperanjat, lalu bangun.
“Ya sudah, tapi ingat, jangan pernah sekali pun
berselingkuh dariku!” timpal Ibu.
“Bapak mau ke mana?” Aku berusaha menarik tangan
Bapak yang akan pergi meninggalkan rumah.
“Bapak mau bekerja ke Kalimantan, kamu jaga diri
baik-baik. Jaga ibumu juga. Ibu, kan, lagi hamil,” ucapnya, tak
biasanya Bapak bersikap seperti ini.
Aku mengangguk dengan menelan salivaku.
“Sudah, Bapak mungkin lagi tobat, jadi dia nekat pergi!”
ungkap Ibu.
“Ingat, ya, Sania. Aku bekerja bukan karena kamu, tapi
karena anak-anak,” timpal Bapak.
Ibu tampak tak acuh pada perkataan Bapak.
“Bapak pergi sekarang. Kalau adik-adikmu bertanya
tentang Bapak, bilang saja Bapak sedang bekerja,” ucapnya.
Aku mengangguk, lalu Bapak pergi meninggalkan kami.
Entah mengapa rasanya sakit sekali ditinggal Bapak
pergi jauh, rasanya air mataku ingin jatuh.
“Hei, Adrian, ngapain nangis begitu?!” Ibu menepuk
pundakku.
“Nggak pa-pa, Bu.”
“Bapak kayak gitu nggak perlu ditangisi, malah bagus
pergi dari sini. Nanti, kalau Bapak punya uang banyak kita bisa
kaya,” tambahnya lagi.
Aku hanya menghela napas, lantas langsung pergi ke
kamar. Terlihat kedua adikku sudah bangun.
“Bang, ada apa, kok, ribut-ribut?” tanya Asih padaku.
“Bapak pergi merantau,” jawabku singkat.
“Bapak pergi?” sahut dari Raya.
Aku mengangguk. “Ayo mandi, sekarang waktunya
sekolah.”
•••
“Bu, Adrian pulang!” Aku memasuki rumah. “Hari ini
Ibu masak apa?” tanyaku kepada Ibu yang tengah sibuk
menimang Zaki.
“Masak? Ibu nggak ada uang, mending kamu minta ke
warung Bu Inem,” ucapnya.
“Kata Ibu kita nggak boleh minta,” timpalku.
“Eh, bukan minta, tapi ngutang,” tambahnya.
“Tapi, kalau nggak boleh gimana, Bu?” tanyaku lagi.
“Pasti bolehlah. Bu Inem, kan, baik sama kamu.
Tenang, Bapak lagi kerja, nanti dapet uang pasti bisa ngelunasin
utangnya,” ungkapnya.
Aku menghela napas, karena diriku masih capek habis
pulang sekolah.
“Sudah, jangan mengeluh, cepat ganti baju dan langsung
pergi ke sana.”
Lantas, aku bergegas berganti baju dan langsung pergi.
Aku terus berjalan sendiri karena Asih belum pulang
tampaknya dia ada tambahan waktu sekolah.
Dengan terik matahari yang menyengat, aku terpaksa
berjalan dengan perut yang keroncongan. Jarak warung Bu Inem dan rumahku cukup jauh.
“Heh, Adrian,” sapa Bu Jasmin, si tukang gosip di
kompleksku.
“Kenapa, Bu?” tanyaku.
“Mau pergi ke mana kamu!”
“Bukan urusan Ibu,” lalu aku berjalan melewatinya.
“Heh, nggak sopan, ya, kamu! Ditanya jawabnya
begitu!”
Lantas, aku menoleh dan mendekat kepadanya.
“Aku mau pergi ke warung Bu Inem,” ucapku.
“Mau ngapain? Nggak mungkin, kan, kamu mau beli
makanan di sana?” seperti biasa Bu Jasmin seperti tahu
segalanya tentang keluargaku.
Aku tak menjawab, lalu pergi begitu saja. Karena hanya
akan membuat sakit hatiku saja.
Suara sandalku terdengar bak alunan nada mengiringiku
setiap ayunan langkah.
“Assalamu’alaikum, Bi .…”
“Wa’alaikumsalam. Eh, Adrian mau beli nasi?” belum
aku bicara apa-apa dia sudah bertanya perihal itu, sebenarnya.
malu berutang seperti ini.
“Anu, Bi, maaf sebelumnya. Aku di sini bukan mau beli,
tapi mau utang dulu. Boleh nggak, ya, Bi?” tanyaku sembari
menunduk.
“Ya boleh, jangan takut begitu. Ayo, duduk dulu,
Adrian.”
Kemudian aku duduk di bangku kecil, warung yang
cukup ramai menurutku banyak orang yang mampir untuk
makan di sini.
“Tumben, nggak bareng sama Asih,” ucapnya sembari
melayani pesananku.
“Asih masih di sekolah, Bi.”
Ia hanya mengangguk. “Mau pake ayam nggak atau
rendang?”
Aku menggeleng. “Nggak perlu, Bi, nasi sama orek
tempe aja.”
“Loh, kok, gitu? Ibu tambahin ayam aja, ya. Jangan
takut sama Bibi. Nanti Bibi kasih diskon, kok,” ucapnya.
“Lalapan mau nggak Adrian?” tanyanya lagi.
“Nggak usah, Bi. Itu saja sudah cukup untuk kami
berempat,” jawabku.
“Kok, berempat? Bukannya berlima?” tanyanya.
“Bapak lagi pergi kerja ke Kalimantan, Bi,” jawabku.
"Udah lama?"
“Baru pergi tadi pagi.”
Ia hanya mengangguk, kemudian memberikan nasi
lengkap dengan lauknya kepadaku.
“Em, Bi, boleh tanya sesuatu?”
“Tanyakan saja, Adrian.”
“Maaf sebelumnya, Bibi butuh orang buat kerja di sini
nggak? Aku pengin kerja,” tanyaku, sebenarnya takut mendengar .
jawaban yang tidak enak dari Bibi Inem.
“Wah, boleh. Kamu beneran mau kerja? Kebetulan
anak Bibi yang gadis, yang biasa bantu, sekarang lagi kuliah di luar kota. Jadi, Bibi biasanya kewalahan. Kalau kamu mau, boleh jadi pelayan sama cuci piring.”
Mendengar jawaban ini rasanya hatiku langsung
berdebar senang.
“Beneran, Bi?”
“Iya, asalkan kamu kerjanya rajin. Bibi mau sambil
bersedekah sama kamu,” ucapnya.
Aku mengangguk penuh semangat.
“Ya sudah, kamu pulang saja dulu, makan dulu. Nanti
balik lagi ke sini dan bilang juga ke Ibu kamu, kalau kamu mulai kerja di sini.”
“Iya, Bi.”
•••
“Bu, Bu, Bu .…” Aku berlari ke dalam rumah.
“Apa, sih, Adrian! Zaki lagi tidur, jangan teriak-teriak.”
Kemudian Ibu merebut nasi yang aku bawa tadi.
“Lauknya apa?” tanyanya.
“Orek tempe sama lalapan,” jawabku.
“Nggak ada ayam?”
“Ada sedikit, Bu, tadi aku ditawarin ayam atau rendang,
tapi aku jawab nggak usahz takutnya mahal.”
“Tinggal diiyain aja, sih. Sekali-kali makan rendang,”
ucapnya sembari berlalu lalang masuk menuju ke arah dapur.
“Bu, Bu.”
“Ada apa lagi, sih?!”
“Hari ini aku kerja di warungnya Bi Inem,” ungkapku.
“Serius? Ya udah, ayo cepet makan, habis itu kamu
langsung pergi ke sana.” Ibu menyeret tanganku dengan kasar.
“Asih, kok, belum pulang, Bu?” tanyaku sembari mengunyah makanan tadi.
“Udahlah, paling dia ada jam tambahan, nanti sore juga
pulang. Sisain dikit aja buat Asih, ya,” ucap Ibu.
Setelah makan siang dengan Ibu dan adikku, aku
bergegas menuju warung Bi Inem.
“Cepat sekali Adrian, memangnya sudah dimakan
makanan tadi?”
“Sudah, Bi.” Aku tersenyum.
“Ya sudah, kamu cuci piring saja dulu, nanti kalau
sudah beres bantu Bibi di sini, ya,” ucapnya.
Aku hanya mengangguk, lalu langsung mengerjakan apa
yang diperintah Bi Inem.
Namun, di benakku masih terselip rasa khawatir karena
Asih belum pulang juga. Kasihan kalau dia sampai belum makan siang.Aku berusaha fokus dengan pekerjaanku. Pekerjaan yang cukup berat untuk bocah seumuranku, tetapi mau bagaimana lagi, ini kesempatan untuk meringankan beban Ibu sama Bapak.
“Hei, kamu Adrian? Anaknya si Bahar, kan?” seorang
pria paruh baya terlihat seumuran Bapak.
“Iya, Pak. Ada apa, ya?” Aku yang tengah sibuk
membantu Bi Inem terpaksa berhenti.
“Itu, adikmu yang cewek tertabrak mobil, tadi saya
bantu tolong sebentar buat nganter ke rumah sakit,” ucapnya.
Degup jantungku tak karuan mendengar pertanyaan lelaki ini.
"Asih?"
“Mending kamu bilang sama bapak dan ibumu
sekarang. Kasihan, kepalanya kayaknya bocor. Di sana ada Pak Haji Kasim nemenin adikmu, di rumah sakit deket seberang
jalan deket toko bangunan.”
Aku segera berlari tanpa memedulikan Bi Inem, si
pemilik warung ini, dengan air mata yang mengalir di sepanjang jalan. Napas yang tersengal-sengal sambil sesenggukan karena tangisanku.
“Ibu, Ibu.”
Aku menggedor pintu rumah, tapi sepertinya tidak
orang di dalam. Ibu pergi entah ke mana.
“Ibu. Buka, Bu!”
“Ibu ke mana, sih?!”
“Raya! Buka, Raya!”
Tak ada sahutan dari siapa pun. Aku bergegas
meninggalkan rumah dan berniat pergi menuju rumah sakit yang lelaki itu bilang.
Aku berniat untuk naik angkot karena uangku hanya
cukup untuk ongkos angkot.
“Ibu di mana, sih? Apakah Ibu sudah di sini?”
gumamku sembari melangkah kedalam rumah sakit ini. Terlihat Pak Haji Kasim sudah menunggu kedatanganku. Raut wajahnya sangat takut dan cemas.
“Adrian.” Pak Haji Kasim mendekat padaku lalu
memelukku. Aku menangis tanpa henti.
“Asih, bagaimana Pak Haji?”
Dia menggeleng, entah apa yang dia maksud.
“Asih kenapa, Pak Haji?” Kuulangi ucapanku tadi.
“Asih ada di ruang ICU, semoga dia baik-baik saja.”
Adik yang selalu bersamaku kini terbaring sendirian di
ruangan itu. Aku tertunduk lesu, merasa bersalah mengapa aku tidak mencarinya di saat dia tak kunjung pulang.
“Ibu sama bapakmu di mana?” tanya Pak Haji.
“Aku pikir Ibu sudah di sini, Pak Haji. Tadi aku sudah
pulang, tapi tak ada sahutan, rumahnya pun dikunci,” ungkapku.
